Aktor
Samuel Mulia ; Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 07 Juni 2015
Sudah lama saya punya
kesenangan menonton film. Mau di layar lebar atau layar yang tidak lebar. Mau
di dalam pesawat, di laptop, di bioskop, atau di rumah. Selama ini, saya
berpikir kalau para aktor yang bermain dengan mengagumkan itu hanya karena
mereka memiliki bakat yang luar biasa.
Tetapi tiba-tiba saja,
entah datangnya dari mana, tebersit pemikiran lain kalau tak hanya bakat
semata yang membuat mereka berakting dengan dahsyat, tetapi apa yang
diperankan itu memang seperti sifat asli mereka. Sehingga hasil akhirnya
mampu membuat saya berdecak kagum atau menjadi jengkel setengah mati.
Bakat dan tabiat
Saya berpikir yang
paling jago dalam hal ini adalah casting director-nya. Mungkin mereka itu
bukan hanya membaca jalan cerita, kemudian mencari pemeran yang sesuai,
tetapi mereka memang sangat mengenal para pemain itu dalam kehidupan setiap
hari.
Para casting director itu mengenal
bagaimana perilaku para aktor ketika adegan dibuat, ketika waktu rehat
diberikan, ketika mereka mau menandatangani kontrak, ketika menit pertama
mereka menghubungi manajer para aktor itu. Selain itu, bisa jadi, mereka juga
mendengar cerita dari sumber lain, bagaimana perilaku mereka yang
sesungguhnya.
Bisa jadi ada aktor
yang begitu rendah hati, ada yang bertingkah seperti dewa, atau ada yang
memiliki tabiat di antara keduanya. Kadang bisa rendah hati, kadang bisa
menjerit seperti manusia yang seolah memiliki jagat raya ini.
Dari tabiat keseharian
itu, plus bakat yang diberikan Tuhan kepada mereka, para aktor menjadi begitu
memesona di setiap layar yang saya saksikan. Apalagi kalau bertepatan
menyaksikan penghargaan tertinggi di dunia film, di mana ada banyak kategori
yang dikompetisikan, terutama kategori pemeran utama terbaik.
Saya teringat beberapa
tahun lalu, saya ditawari untuk bermain film, menjadi seorang guru tari.
Waktu saya bertanya mengapa mereka memilih saya untuk peran itu, salah satu
orang yang dekat dengan saya mengatakan: "Mulut elo yang bawel dan gak
sekolahan itu langsung hadir di kepala gue pas lagi baca jalan ceritanya.
Udah dehh... elo yang paling passss banget sama peran ini."
Demikianlah
saudara-saudari sebangsa dan setanah air. Mereka tak perlu bersusah payah
mencari pemerannya karena mereka bisa melihat dari dekat bagaimana saya
mengelola tabiat dalam melakoni kehidupan ini. "Gue yakin elo bisa
memerankan dengan sepenuh jiwa karena itu emang elo banget," komentar
teman yang dekat itu.
Pemeran utama terbaik
Setiap kali saya
menyaksikan acara penghargaan insan film di layar televisi, saya membayangkan
kalau saya yang memenangkan kategori pemeran utama. Penghargaan itu pasti
bukan hanya untuk bakat yang saya miliki, tetapi secara tidak langsung juga
sebuah penghargaan terhadap tabiat saya yang sesungguhnya.
Dan setiap kali saya
melihat mereka memberikan kata sambutan di saat mereka memenangkan salah satu
kategori, saya membayangkan menjadi pasangan hidup mereka. Apa rasanya
memiliki pasangan pemain watak yang piawai, yang kawakan, selain secara fisik
mereka begitu memesona?
Apakah hubungan asmara
kami itu bisa berlangsung wajar atau kadang disisipkan sebuah adegan
sandiwara dari sebuah cerita yang pernah mereka lakoni di layar lebar? Apakah
pernikahan kami itu buatnya adalah sebuah panggung sandiwara?
Sehingga karena saking
jagonya berakting, saya akan bingung apakah kalau pasangan saya itu bahagia
atau kesal, ia benar-benar bahagia dan benar-benar kesal. Dan yang terutama,
apakah cinta yang diberikannya kepada saya itu benar tulus dari hati, dan
bukan dari sebuah skrip yang sedang ia hafalkan di luar kepala dan di luar
hatinya?
Itu mengapa salah satu
kegemaran saya adalah mengamati perilaku manusia. Karena saking senangnya
mengamati, bukan hanya melihat saja, acapkali saya bisa "membaca"
siapa mereka sesungguhnya.
Biasanya, saya
memperhatikan bola matanya, kemudian merasakan gelombang yang dipancarkan
dari dua bola mata itu. Perilaku bisa saja mengecoh, tetapi pancaran sinar
bola mata itu sungguh pasti, seperti ketika satu ditambah satu, itu pasti
menjadi dua.
Maka benarlah kalau
mata itu dikatakan jendela hati. Sebuah jendela yang sama seperti cermin
menampilkan hal yang terdalam, yang tak bisa disembunyikan seseorang. Maka
mungkin saya tak perlu khawatir kalau seandainya di suatu hari saya
berpasangan dengan seorang pemain watak. Saya akan melihat ke jendela hatinya
yang terbuka dan dapat dibaca, dan bukan pada perilakunya yang terbuka tetapi
susah untuk dimengerti.
Nah, sekarang saya
bertanya pada Anda semua. Kira-kira peran dan tabiat macam apa yang paling
pas untuk Anda mainkan agar hasil tayangan film di layar kehidupan Anda ini
bisa begitu memukau?
Sehingga di suatu hari
kelak, ketika Anda hadir pada sebuah penganugerahan tertinggi di akhir sebuah
perjalanan hidup, Anda akan membawa pulang sebuah penghargaan bernama pemeran
utama terbaik. Dan di saat Anda menerimanya, dunia dan surga bisa berkata
dengan sorak sorai: "Ia memang
pantas menerimanya." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar