Wajib Belajar 12 Tahun
Amich Alhumami ; Antropolog-Penekun Kajian Pendidikan;
Bekerja
di Direktorat Pendidikan Kementerian PPN/Bappenas
|
MEDIA INDONESIA, 29 Juni 2015
PEMERINTAHAN Presiden Joko Widodo dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla pada 2015 ini resmi memulai pelaksanaan program Wajib
Belajar 12 Tahun. Dijelaskan dengan sangat gamblang di dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015--2019, melalui program ini
pemerintah berkomitmen untuk menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak usia
7-18 tahun sampai jenjang menengah. Karena itu, Wajib Belajar 12 Tahun harus
dimaknai sebagai upaya peningkatan layanan pendidikan mulai dari SD/MI sampai
SMA/ SMK/MA.
Program Wajib Belajar 12 Tahun merupakan upaya
perluasan dan pemerataan pendidikan. Kita tahu, bahwa program Wajib Belajar
Sembilan Tahun yang sudah dilaksanakan sejak 1994 telah berhasil meningkatkan
partisipasi pendidikan anak-anak usia 7-15 tahun. Peningkatan itu tecermin
pada angka partisipasi kasar (APK) SMP/MTs yang telah mencapai 96,9%
(Kemendikbud 2013). Dengan keberhasilan ini, cukup beralasan bila pemerintah
berinisiatif untuk memulai program Wajib Belajar 12 Tahun, terutama di
daerah-daerah yang sukses melaksanakan Wajib Belajar Sembilan Tahun.
Tujuan utama
Pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun dinilai
penting untuk memberikan layanan pendidikan bagi para lulusan SMP/MTs sesuai
dengan kebutuhan individual setiap penduduk Indonesia. Program ini bertujuan
utama untuk: (i) memperluas pemerataan pendidikan dan mewujudkan keadilan
sosial di bidang pendidikan; (ii) mengurangi kesenjangan capaian pendidikan
tingkat menengah antarkelompok masyarakat berstatus ekonomi berbeda; (iii)
meningkatkan kualitas dan daya saing bangsa melalui pengembangan pengetahuan,
keahlian, serta keterampilan bagi penduduk usia muda; dan (iv) mempersiapkan
anakanak didik dengan landasan keilmuan yang lebih baik untuk melanjutkan ke
jenjang pendidikan tinggi.
Selain itu, Wajib Belajar 12 Tahun juga
bernilai strategis, terutama untuk (i) menciptakan lapisan critical
mass-suatu kelompok masyarakat berpendidikan menengah ke atas--sebagai basis
sosial untuk membangun masyarakat demokratis, toleran, dan inklusif; dan (ii)
mempersiapkan penduduk usia produktif memasuki masa transisi antara
meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi atau langsung masuk ke pasar kerja.
Menurut Bank Dunia (2012), satu dari tiga
lulusan sekolah menengah meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi, selebihnya
memilih bekerja.Bagi anak-anak didik yang memilih untuk memasuki pasar kerja,
Wajib Belajar 12 Tahun akan membekali mereka dengan pengetahuan, keahlian,
dan keterampilan yang lebih baik sehingga diharapkan lebih produktif di dunia
kerja.
Kesenjangan
partisipasi
Wajib Belajar 12 Tahun merupakan program
strategis untuk melakukan percepatan dalam upaya meningkatkan partisipasi
pendidikan pada jenjang menengah, yang ditargetkan sekitar 92% pada 2020. Sejalan
dengan upaya perluasan dan pemerataan pendidikan menengah, sangat penting
melihat disparitas partisipasi pendidikan antar kelompok masyarakat yang
tecermin pada angka partisipasi sekolah (APS) anak-anak usia 16-18 tahun.
Data Susenas 2012 menunjukkan kesenjangan
partisipasi pendidikan antara pen duduk kaya dan miskin sangat mencolok. APS
penduduk usia 16-18 tahun pada kelompok kuantil pertama (20% termiskin) baru
mencapai 42,9%, sementara pada kelompok kuantil lima (20% terkaya) sudah
mencapai 75,3%. Fakta itu menjadi dasar yang sangat kuat bagi pelaksanaan
Wajib Belajar 12 Tahun, yang dimaksudkan untuk meningkatkan layanan
pendidikan jenjang menengah, terutama untuk siswa-siswa dari keluarga tidak
mampu sehingga kesenjangan partisipasi pendidikan dapat dikurangi.
Perlu juga dilihat kesenjangan partisipasi
pendidikan antarwilayah--antarprovinsi, dan antarkabupaten di dalam satu
provinsi. Penting dicatat, masih terdapat sebanyak sembilan provinsi dan 177
(32,5%) kabupaten dengan angka partisipasi murni (APM) jenjang pendidikan
dasar--SMP/MTs--di bawah rata-rata nasional (76,6%). Sekadar menyebut sebagian
saja, Sukabumi dan Pangandaran (Jawa Barat), yakni 54,28% dan 56,85%; Sampang
dan Bangkalan (Jawa Timur), yakni 54,56% dan 63,46%; Bangka Selatan dan
Bangka Tengah (Bangka Belitung), yakni 41,73% dan 63, 05 % ; Waropen dan
Puncak (Papua), yakni 24,87% dan 24,92% (Kemendikbud 2013). Tentu saja,
kabupaten dengan APM pendidikan dasar yang masih rendah ini harus didorong
untuk menuntaskan Wajib Belajar Sembilan Tahun, agar pada waktunya siap
melaksanakan Wajib Belajar 12 Tahun.
Kualitas dan relevansi
Upaya mengatasi kesenjangan partisipasi pendidikan-antarkelompok
sosial-ekonomi dan antarwilayah--jelas merupakan tantangan serius dalam
pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun. Namun, program ini tak akan punya
signifikansi sosial-ekonomi bila tak disertai upaya peningkatan mutu dan
relevansi. Sungguh, perluasan dan pemerataan pendidikan menengah harus
dibarengi dengan peningkatan kualitas dan relevansi agar Wajib Belajar 12
Tahun dapat memberi manfaat sosial-ekonomi yang tinggi bagi masyarakat. Hal
ini sejalan dengan berkembangnya perekonomian nasional yang tecermin pada
kegiatan usaha/industri yang terus tumbuh sehingga kebutuhan tenaga kerja
makin meningkat.
Dengan pendidikan yang lebih baik sampai
jenjang menengah diharapkan pasokan tenaga kerja menjadi lebih berkualitas.
Data Sakernas (2013) menunjukkan, sebagian besar (61,32%) tenaga kerja
Indonesia hanya berpendidikan SMP ke bawah. Itu berarti sangat minim
pengetahuan dan rendah keterampilan. Dengan perekonomian yang semakin
kompetitif, dunia usaha/ dunia industri niscaya membutuhkan tenaga kerja yang
kompeten untuk mendukung persaingan usaha. Karena itu, pendidikan menengah,
terutama SMK harus lebih mengutamakan bidang-bidang keterampilan dan keahlian
khusus yang dibutuhkan dunia usaha/dunia industri, agar lebih cepat terserap
di pasar kerja. Daya serap yang tinggi di dunia kerja bagi lulusan sekolah
menengah merupakan indikator utama relevansi pendidikan menengah terhadap
dunia usaha/dunia industri.
Strategi pelaksanaan
Agar Wajib Belajar 12 Tahun dapat dilaksanakan
dengan baik, perlu strategi implementasi yang dapat ditempuh melalui
langkah-langkah berikut, yakni (1) pemetaan kesiapan daerah--provinsi dan
kabupaten/kota--serta permintaan layanan pendidikan menengah di setiap
wilayah; (2) penyediaan sarana-prasarana dan fasilitas pendidikan (e.g.unit
sekolah baru, ruang kelas baru, perpustakaan, dan laboratorium) dengan
memanfaatkan berbagai alternatif sumber pembiayaan yang berasal dari
pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat, dan swasta (CSR).
Selain itu, (3) penyediaan guru dan tenaga
kependidikan yang bermutu tersebar merata di seluruh wilayah; (4)
pengembangan kurikulum pendidikan menengah yang sesuai dengan kebutuhan
peserta didik dan relevan dengan dinamika industri dan pasar kerja, termasuk
(5) penyediaan biaya operasional sekolah yang memadai; (6) penyediaan
beasiswa bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu, bantuan untuk daerah
tertinggal, terpencil, dan perbatasan.
(7) pengembangan sistem penjaminan mutu
pendidikan menengah untuk menjaga kualitas pendidikan; dan (8) pengembangan
sistem monitoring dan evaluasi pelaksanaan program pendidikan menengah
didasarkan pada delapan standar nasional pendidikan, sehingga semua satuan
pendidikan menengah dapat berkinerja baik dan mencapai standar kualitas yang
ditetapkan. Wajib Belajar 12 Tahun tanpa disertai jaminan mutu hanya akan
melahirkan lulusan-lulusan sekolah menengah tanpa pengetahuan dan
keterampilan yang memadai sehingga potensial memicu munculnya masalah-masalah
sosial baru di masyarakat. ●
|