Tiongkok
Atasi Kendala Ekonomi Global
Anonim ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS, 17 Mei 2015
Kemajuan
ekonomi Tiongkok tidak saja membuat negara itu menjadi makmur sendirian.
Tiongkok juga membangun dunia dengan skala investasi yang tak pernah terjadi
sebelumnya.
Pada era
keemasan ekonomi Barat, hanya sekutu atau negara yang dianggap sahabat yang
dibantu. Kini, banyak negara yang ditolong Tiongkok. Bahkan, banyak negara
ingin memanfaatkan kekuatan ekonomi Tiongkok, termasuk sekutu-sekutu Amerika
Serikat. Hal ini terlihat dari keikutsertaan sekutu AS, yakni Inggris,
Jerman, dan Perancis, dalam pendirian Bank Investasi Infrastruktur Asia
(AIIB).
Hal
paling memukau, walaupun luput dari pemberitaan dunia, adalah pembangunan
infrastruktur global yang dilakukan Tiongkok. Pakistan, sekutu tradisional AS
yang miskin, menjadi negara terbaru yang menyambut investasi Tiongkok.
Eksekutif
tiga korporasi ternama Tiongkok, yaitu Huaneng Group, ICBC Corporation, dan
Zonergy Corporation datang ke rumah PM Pakistan Nawaz Sharif, April silam,
membahas pembangunan koridor darat Tiongkok-Pakistan.
Tiongkok
membangun Gwadar Port di Pakistan yang dekat dengan Selat Hormuz sejak 2002.
Hal ini bisa mengatasi dilema Selat Malaka, jalur 80 persen ekspor-impor
Tiongkok. Michael Kugelman, peneliti dari South
and Southeast Asia at the Woodrow Wilson International Center,
mengatakan, Gwadar Port memberi Pakistan manfaat besar dan akses transportasi
bagi Tiongkok.
Tiongkok
juga membangun Port of Colombo di Sri Lanka, pelabuhan Maday Island di
Kyaukphyu, Myanmar, untuk fasilitasi jaringan gas dan minyak ke Provinsi
Yunnan. Bersama Perancis, AS, Jerman, dan Jepang, Pemerintah Tiongkok
membangun pula basis angkatan laut di negara Djibouti. Pelabuhan di negara
Seychelles dibangun sebagai tempat pengisian bahan bakar perkapalan jalur
Madagaskar dan Maladewa.
Tiongkok
akan membangun terusan yang membelah danau di Nikaragua. Terusan ini akan
menyaingi Terusan Panama yang dikuasai AS.
Pelabuhan-pelabuhan
itu dinamakan sebagai String of Pearls atau Untaian Mutiara, menyamai Silk
Road atau Jalur Sutra di daratan. Jaringan pelabuhan semacam ini pernah
menandai kebesaran Inggris serta Belanda pada masa silam.
Dalam
satu dekade terakhir, Tiongkok juga gencar membangun infrastruktur di Afrika
dan Amerika Latin. Rusia dan Tiongkok tak kalah giat membuka lebar jalur
perbatasan mereka.
Pembangunan
infrastruktur mendorong kenaikan permintaan bahan-bahan bangunan, jasa
konstruksi, keuangan, dan konsultan. Setelah jadi, infrastruktur menaikkan mobilitas
dan produktivitas.
Dunia
tertolong investasi Tiongkok di sektor infrastruktur. Bank Dunia tak pernah
melakukannya dalam skala yang dilakukan Tiongkok. Bank Dunia juga tidak
memasuki daerah-daerah pelosok.
Sebaliknya,
Tiongkok menerobos sekat-sekat pembangunan, yang tidak dilakukan Jepang dan
AS. Tiongkok membuka kantong-kantong kemiskinan di banyak negara.
Tiongkok
tidak saja mendorong ekspor dan menjadi basis produksi global. Tiongkok
memfasilitasi pula pembangunan global lewat rangkaian pengembangan
infrastruktur itu.
Kegelisahan AS
Beberapa
pakar menilai semua itu dari sisi geopolitik dengan kecenderungan negatif, di
samping mengakui sedikitnya sisi positif. Christopher J Pehrson, analis dari
Strategic Studies Institute of the US Army, mengatakan, sejumlah pelabuhan
ini penting demi kesinambungan kehidupan Tiongkok.
Kegelisahan
AS jauh lebih kompleks. Akademisi pakar kekuatan laut, Seth Cropsey dari
Hudson Institute serta Arthur Milikh dari Heritage Foundation mengingatkan,
kebangkitan Tiongkok akan menantang pengaruh AS di samudra. Menurut mereka,
AS bisa mengalami kerugian ekonomi seperti terjadi pada Belanda saat
kehilangan status sebagai kekuatan laut dunia pada akhir abad ke-18.
Philipp
Missfelder, anggota parlemen Jerman, menyatakan, pandangan prejudis terhadap
Tiongkok sebaiknya dihilangkan. ”Jerman tertolong secara ekonomi berkat
kebangkitan Tiongkok”, tulis Missfelder di situs Huffington Post edisi 20
April.
Mantan
Menteri Keuangan AS Hank Paulson menyatakan, saatnya AS menjadi mitra, di
samping pesaing bagi Tiongkok. Hal serupa dinyatakan mantan PM Australia
Kevin Rudd. Menurut dia, Tiongkok bukan ancaman yang menakutkan.
Minxin
Pei, profesor pemerintahan di Claremont McKenna College dan peneliti di
German Marshall Fund of the United States, mengatakan, sebaiknya Tiongkok
jangan berambisi menjadi pesaing yang menantang kekuatan lain, tetapi menjadi
katalisator untuk kerja sama.
PM Li
Keqiang menyampaikan, Tiongkok ingin bekerja sama mendorong perekonomian
global. Hal ini senada dengan ”Visi Kerja Sama internasional Tiongkok” yang
dimunculkan pada 28 Maret oleh Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional.
Laporan mereka disusun bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri,
Kementerian Perdagangan, dengan persetujuan Dewan Negara Tiongkok.
Isinya
menegaskan Tiongkok tidak mengejar hegemoni, tetapi harmoni. Namun, dalam
penjelasannya, tersirat kejengkelan Tiongkok terhadap hegemoni yang
menyebabkan bias dalam tatanan dunia dan Tiongkok ingin hal itu dihilangkan.
Lalu
kepentingan siapa yang harus didahulukan? Kepentingan lebih dari semiliar
orang miskin atau kepentingan AS, India, dan Jepang yang mencurigai Tiongkok?
Negara
berkembang yang tergabung dalam kelompok G-20 saat pertemuan Bank Dunia/IMF,
April silam, menyatakan tidak menginginkan penguasaan AS secara sepihak dalam
berbagai badan dunia, yang selama ini mengatur tatanan secara sepihak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar