Reaksi
menyangkal, menghindar
Agustine Dwiputri ; Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas
Minggu
|
KOMPAS, 17 Mei 2015
Menghadapi
situasi yang mengagetkan, seperti didiagnosis kanker atau pasangan meninggal
dunia tiba-tiba, acap kali menimbulkan berbagai reaksi. Salah satunya, tidak
mau menerima, menolak, dan menyangkal bahwa apa yang dialami memang benar
terjadi.
Apakah
reaksi ini selalu merupakan sesuatu yang negatif, seperti apa tampilan dari
reaksi tersebut, dan apa yang dapat dilakukan kemudian?
Barlow
dan Durand (2012) menekankan pentingnya seseorang mengonfrontasi dan
mengatasi perasaannya, terutama setelah menghadapi peristiwa traumatik yang
penuh stres. Para ahli kesehatan mental telah mengakui pentingnya mengenang
kembali atau memproses pengalaman emosional yang kuat untuk menempatkannya di
"belakang" kita dan mengembangkan respons yang lebih baik dalam
mengatasi persoalan.
Sebagai
contoh, seseorang yang optimistis dalam menjalani operasi jantung akan pulih
lebih cepat, akan mudah kembali ke kegiatan sehari-hari, dan melaporkan
kualitas hidup yang lebih baik 6 bulan setelah operasi daripada mereka yang
tak optimistis.
Orang
yang optimistis cenderung kurang menggunakan "penyangkalan" sebagai
sarana untuk mengatasi stresor berat seperti operasi. Individu yang cenderung
pesimistis tidak berani secara langsung menerima dan mengonfrontasi
perasaannya. Misalnya, remaja dengan nyeri perut berulang yang sering
melakukan penyangkalan, penghindaran, dan suka berangan-angan memiliki kadar
kecemasan dan keluhan somatik yang lebih tinggi daripada orang lain yang
berusaha untuk mengatasi rasa nyerinya secara lebih langsung.
Sebagian
besar ahli kesehatan mental bertugas untuk menghilangkan reaksi penyangkalan
karena memiliki banyak efek negatif. Seseorang yang menyangkal bahwa kondisi
nyerinya yang parah berkaitan dengan suatu penyakit mungkin tidak
memperhatikan berbagai detail penting pada gejala yang muncul, yang mungkin
dapat membahayakan dan mereka biasanya menghindari pengobatan atau program
rehabilitasi.
Menyangkal kadang diperlukan
Apakah
penyangkalan selalu membahayakan? Psikolog kesehatan Shelley Taylor (2009)
menunjukkan bahwa sebagian besar individu yang berfungsi secara baik
menyangkal dampak dari suatu kondisi yang berpotensi serius, paling tidak
pada awalnya. Reaksi yang biasa tampil adalah berasumsi bahwa apa yang mereka
miliki tidak serius atau akan cepat menghilang. Kebanyakan orang dengan
penyakit serius bereaksi dengan cara ini, termasuk mereka yang mengalami
kanker.
Beberapa
kelompok peneliti telah menemukan bahwa selama periode sangat stres, yaitu
ketika seseorang pertama kali didiagnosis, penyangkalan dapat membantu pasien
bertahan terhadap rasa syok secara lebih mudah. Mereka kemudian lebih mampu
mengembangkan respons untuk mengatasi masalah dengan lebih baik. Jadi, nilai
penyangkalan sebagai "mekanisme coping" mungkin lebih bergantung
pada "waktu" (timing)
daripada hal lain.
Menurut
Herbert & Wetmore (2010), mati rasa (emotional
numbing) merupakan suatu bentuk perilaku menghindar/menyangkal yang sulit
untuk diidentifikasi dan dipahami, suatu rasa kekosongan atau berada di ruang
kosong. Orang yang trauma mungkin merasa seolah-olah bagian perasaan mereka
telah terhapus atau mati dan mereka mengalami suatu rasa dihentikan, tanpa
kemampuan untuk terhubung ke dunia melalui perasaan. Hal ini dapat
memengaruhi kemampuan untuk tertawa, merasa bahagia atau bahkan kemampuan
untuk menangis walaupun dia mungkin masih merasa sangat sedih. Terkadang dia
mungkin merasa bahwa kemampuannya untuk mencintai telah terpengaruh, dan
kondisi ini bisa sangat mencemaskan.
Langkah penanganan
Adalah
penting bagi Anda untuk mengambil berbagai hal secara perlahan dan tidak
berlebihan karena mungkin bisa menyebabkan kemunduran. Berhati-hatilah terhadap
situasi emosional yang sangat kuat. Bekerjalah dengan perlahan dan secara
pribadi, bisa dilakukan sendiri atau dibantu seorang ahli kesehatan mental.
Anda harus mulai mengakui bagian-bagian dari pengalaman Anda yang sedang Anda
coba untuk tidak dihadapi:
Apa arti
trauma ini untuk Anda? Apakah Anda menarik kesimpulan dari kejadian yang
cenderung menimbulkan kepahitan atau sikap sinis dan membuat Anda secara
emosional tertutup? Apakah Anda pernah mencoba untuk membenarkan perilaku ini
pada diri sendiri?
Berikut
latihan untuk menemukan kembali dan membentuk rasa identitas pribadi:
Tanyakan
kepada diri Anda beberapa pertanyaan berikut dan tulis jawabannya:
1.
Siapakah saya sekarang, setelah peristiwa ini?
2.
Bagaimana cara saya mengartikan diri sendiri?
3.
Bagaimana saya membandingkan diri dengan orang lain?
4.
Apakah saya telah memperlakukan diri seperti "orang yang rusak"?
5. Apa
yang saya takuti untuk dilihat orang lain?
6. Apa
yang saya takuti untuk saya akui pada diri sendiri?
Kemudian
renungkan kembali jawaban-jawaban Anda, dan perlahan terimalah diri Anda apa
adanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar