Serial
Kisruh KPK-Polri
Moh Mahfud MD ; Guru
Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN SINDO, 09 Mei 2015
Ketika Rabu, 18
Februari 2015, Presiden Jokowi memutuskan untuk mengajukan Badrodin Haiti
sebagai calon kepala Kepolisian Republik Indonesia (kapolri) dan mengumumkan
akan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
tentang Pelaksana Tugas Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
masyarakat menyambutnya dengan lega.
Keputusan itu
dipandang sebagai jalan tengah yang tepat dan bijak karena membatalkan
pencalonan Budi Gunawan sebagai kapolri, tetapi juga memberhentikan Abraham
Samad dan Bambang Widjojanto yang kemudian menggantikannya dengan pelaksana
tugas pimpinan KPK. Aspirasi dari pendukung Budi Gunawan dan pendukung
Abraham-Bambang sama-sama diperhatikan.
Meski sudah pasti
takbisa memuaskan semua orang, keputusan Presiden tersebut telah menjadi
jalan untuk mengakhiri kegaduhan yang menguntungkan para koruptor. Kebijakan
itu seharusnya mengakhiri ”perang” berseri antara KPK dan Polri sebagai fakta
yang tak bisa disembunyikan. Para pencinta negara menyambut baik keputusan
Presiden itu sebagai titik tolak untuk mengatur langkah baru yang lebih
sinergis memerangi korupsi. Namun harapan akan berakhirnya kisruh berseri
dalam lakon ”cicak-buaya” itu berlanjut.
Pasalnya Polri terus
melakukan proses hukum atas Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang kemudian diteruskan
dengan penersangkaan penyidik terbaik KPK
Novel Baswedan karena kasus penembakan pencuri sarang burung walet yang
terjadi 11 tahun yang lalu di Bengkulu. Masyarakat pun banyak yang kemudian
menganggap Polri telah melakukan balas dendam melalui kriminalisasi.
Istilah kriminalisasi
itu sendiri mungkin kurang tepat karena kriminalisasi berarti menjadikan
seseorang masuk dalam proses hukum pidana, padahal tidak ada tindak pidana
yang dilakukannya. Faktanya, polisi mempunyai kasus yang nyata ada terkait
dengan Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Novel Baswedan yang benar atau
tidaknya bisa diuji di peradilan pidana. Dengan fakta dan keyakinan Polri
itu, tentu tidak bisa dikatakan terjadi kriminalisasi.
Polri sudah melakukan
tugasnya sesuai dengan hukum. Meski demikian, jika kasus untuk ketiga orang
KPK itu dipandang secara jernih dan dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa yang
mendahului dan mengiringinya, tidaklah terlalu salah juga kalau ada yang
mengatakan Polri melakukan balas dendam politik yang kemudian ada yang
menyebut melakukan kriminalisasi.
Pasalnya kasus-kasus
yang disangkakan kepada Abraham, Bambang, dan Novel adalah kasus lama yang
tiba-tiba dimunculkan kembali. Kasusnya pun, sepertinya, dulu tak pernah dipersoalkan
atau sudah pernah ditangani dan dianggap selesai. Tapi kasus-kasus itu
dimunculkan kembali setelah terjadi kisruh antara Polri dan KPK setelah Budi
Gunawan dijadikan tersangka dalam tindak pidana korupsi oleh KPK.
Dua hari lalu (7 Mei
2015), saat memberi kuliah umum di UIN Malang, saya diminta oleh seorang
mahasiswa untuk membela KPK dari ancaman penghancuran. Ya, istilahnya memang
bikin bergidik: penghancuran. Saya
katakan selama ini saya sudah membela KPK. Bahkan sampai belasan kali saya membela
KPK ketika diserang melalui judicial
review UU KPK di Mahkamah Konstitusi dan membela melalui cara-cara lain.
Tapi untuk kasus yang terakhir saya sulit menyusun logika
dan menabrak nurani untuk membela KPK. Sebab penersangkaan terhadap Budi Gunawan yang
menjadi sumbu seri keempat kisruh ini tidak dilakukan secara profesional. Menurut pemberitaan yang tak pernah dibantah, dokumen
penersangkaannya tidak lengkap, tak jelas kapan dan siapa yang diperiksa,
siapa penyidik yang menandatangani pemeriksaan. Momentum dan nuansa
penersangkaannya pun terasa politis.
Kalau itu benar,
sungguh hal itu telah melukai proses penegakan hukum dan merusak reputasi KPK
yang selama ini kita bela mati-matian. Ini telah mengempaskan prestasi KPK
yang selama ini kita banggakan. Perang melawan korupsi mengalami kemunduran,
para koruptor pun bertepuk riang. Yang perlu dilakukan sekarang adalah
membangun kembali KPK dan memberi dukungan kepada Taufiequrachman Ruki dkk
untuk melakukan pembenahan.
Mulai sekarang harus
dibangun hubungan tata kerja yang sinergis dan saling mendukung, bukan saling
menyerang, antara KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung (Kejagung), untuk bersama-sama
memerangi korupsi. Kita perlu kembali ke latar belakang bahwa dulu KPK
dibentuk karena Polri dan kejaksaan tidak optimal dalam memerangi korupsi.
Artinya kalau Polri dan Kejagung sudah bisa mengoptimalkan fungsi dan
perannya, KPK tak perlu dibebani tugas-tugas berat dan dijadikan lembaga yang
super bodi.
Polri dan Kejagung
harus menjadikan situasi seperti sekarang ini sebagai pelajaran dan momentum
untuk mengoptimalkan fungsi dan perannya melawan korupsi dengan melakukan
peran yang dulu dilakukan KPK sehingga didukung dan disenangi rakyat. Polri
harus galak dan tegas terhadap para koruptor tanpa kolusi. Kita meyakini
kejaksaan dan kepolisian bisa galak seperti KPK.
Buktinya pada Selasa
(5/5) yang lalu Polri bisa bertindak tegas ketika menjadikan DH mantan
pejabat tinggi di Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP
Migas) sebagai tersangka kasus korupsi. DH disangka mengorupsi uang negara
sebesar sekitar Rp2 triliun. Bareskrim Polri juga dengan gagah berani
menggeledah Kantor SKK Migas dan meneliti dokumen sampai pukul 22.00 malam.
Dulu KPK disenangi
rakyat karena sering melakukan langkah-langkah seperti itu. Inilah momentum
bagi kejaksaan dan Polri untuk melakukan hal-hal demikian sebanyak mungkin
karena masalah seperti itu masih banyak. Kalau kejaksaan dan Polri bisa
mengambil peran itu, fanatisme kepada KPK bisa dihentikan. Hanya penegakan
keadilan dan perang total terhadap korupsi yang bisa menyelamatkan negara dan
bangsa kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar