Hukum
yang Tidak Adil Bukanlah Hukum
Noor Fauzi Rachman ; Peneliti
Utama Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi-Studi Agraria, Pengajar
Politik dan Gerakan Agraria di Program Studi Sosiologi Pedesaan, Institut
Pertanian Bogor
|
KORAN SINDO, 09 Mei 2015
Pada Kamis, 23 April
2015, Nenek Asyani, 63, dan tiga terdakwa yang terkait, diputuskan bersalah
oleh Hakim Pengadilan Negeri Situbondo dengan hukuman satu tahun penjara,
dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan, denda 500 juta dengan subsider satu
hari kurungan.
Mereka dinyatakan
bersalah memiliki dan menguasai kayu hasil hutan tanpa izin. Hakim menyatakan
bahwa terdakwa Asyani dkk terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan
perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf (d) UU Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).
Pasal itu berbunyi ”Setiap orang dilarang memuat, membongkar,
mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di
kawasan hutan tanpa izin”. Selanjutnya, hakim juga menganggap perbuatan
Nenek Asyani dkk terkena Pasal 83 ayat 1 UU P3H itu, yang memidanakan:
”Orang perseorangan yang dengan sengaja (a) memuat, membongkar,
mengeluarkan, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan
tanpa izin; (b) mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan kayu yang
tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan, dan (c)
memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan
liar.”
Nenek Asyani dkk menolak
diperlakukan sebagai pencuri. Karena itu, mereka menolak vonis itu, dan naik
banding. Nenek Asyani meyakini 7 potong kayu jati ukuran 1,5 meter diameter
5-6 cm tersebut dipanen suaminya dari lahan milik mereka sendiri sekitar enam
tahun lalu, dan disimpan di rumahnya. Ia meminta keponakannya untuk menyewa
mobil dan membawa potongan kayunya ke rumah tukang kayu untuk membuat kursi
dan dipan untuk kerja memijat bayi dan anak-anak.
Nenek Asyani dkk
dilaporkan oleh empat petugas Perhutani yang tidak melihat secara langsung
bagaimana kayu tersebut diambil dari pohonnya. Para saksi pelapor hanya
melihat potongan-potongan kayu jati tersebut di rumah tukang kayu, dan
diketahui berada di sana karena diangkut oleh keponakannya dan sopir mobil.
Ketiganya ikut dilaporkan sebagai pelaku kejahatan.
Para saksi melaporkan
bahwa satu pohon jati hilang dari lahan Perum Perhutani RPH Bondowoso di
kebun Coto, Desa Kerangstal, Desa Jati Batang, dan mereka menduga kayu jati
yang berada di rumah tukang kayu itu merupakan kayu yang hilang itu. Atas
laporan tersebut, Nenek Asyani dkk itu pun ditahan polisi, yang kemudian
memprosesnya.
Jaksa bekerja atas
dasar berkas dari polisi, dan pengadilan pun digelar. Nenek Asyani dkk
ditahan polisi dan jaksa serta pengadilan selama 100 hari. Mereka diizinkan
menjalani tahanan luar setelah kasus ini memperoleh perhatian luas, termasuk
dari media massa, Bupati Situbondo Dadang Wigiyanto dan Menteri Lingkungan
dan Kehutanan Siti Nurbaya.
Mengkriminalisasi Rakyat
Para peneliti politik
agraria atas penguasaan hutan oleh negara di Jawa telah mafhum bahwa
penguasaan dan pengendalian atas lahan, spesies kayu jati, dan rakyat sekitar
hutan merupakan bagian dari ciri utama politik agraria kehutanan di Jawa masa
pascakolonial yang berakar pada praktik penguasa kolonial Belanda yang
dimulai di abad ke-19 (Peluso 1992,
Santoso 2005, Mary dkk 2007).
Selain politik tanam
paksa (cultuurstelsel) 1830-1870,
sejak akhir abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda menerapkan teritorialisasi
negara terhadap hutan (Vandergeest dan Peluso 1995). Langkah pertama dari
teritorialisasi negara itu adalah pembentukan perundang-undangan yang secara
khusus mengatur pengendalian negara terhadap lahan, spesies kayu jati, dan
rakyat sekitar hutan.
Yang pertama adalah Peraturan
Pemerintah mengenai Kehutanan di Jawa dan Madura pada 1865. Langkah
berikutnya adalah pemberlakuan undang-undang yang dikenal dengan ‘Domeinverklaring’ pada 1870 yang
menganggap semua tanah hutan adalah tanah milik negara, kecuali tanah-tanah
yang eigendom, pemilikan pribadi (Peluso
1992, Vandergeest dan Peluso 2001, Simon 2001).
Langkah kedua dalam
hal pengendalian negara atas hutan pada masa kolonial Indonesia terjadi
ketika Dinas Kehutanan Kolonial (Boschwezen)
melakukan proses pembuatan dan kemudian penetapan batas-batas antara wilayah
”kawasan hutan” dengan wilayah nonhutan (pertanian, perkebunan, permukiman,
dsb).
Penetapan batas ini
adalah bagian dari proses politik (makanya Vandergeest dan Peluso 2001 menyebutnya sebagai political forest). Kebijakan kehutanan
di zaman Gubernur Jenderal Daendels, telah teguh dengan prinsip bahwa
pengelolaan hutan paling baik dijamin oleh pengelolaan negara atas tanah
hutan, dipimpin oleh satu dinas kehutanan pemerintah, dan dijalankan oleh
ahli kehutanan profesional.
Ini adalah
prinsip-prinsip ”kehutanan ilmiah”. Tanggung jawabnya Boschwezen itu termasuk menguasai tanah hutan, menanami kembali
hutan-hutan yang gundul, pengembangan spesies pohon jati, memperbaiki praktik-praktik
pengelolaan hutan, serta memobilisasi dan mengendalikan penduduk pekerja dan
rakyat miskin sekitar hutan (Peluso
1992).
Langkah ketiga adalah
”teritorialisasi fungsional”, yang terjadi ketika Dinas Kehutanan Kolonial
Belanda menentukan wilayah hutan menjadi berdasar fungsi-fungsi seperti hutan
produksi, hutan lindung, cagar alam. Bisa penulis tambahkan, langkah keempat
adalah penetapan legalitas dan ilegalitas dalam akses/pemanfaatan atas hutan.
Mereka yang mempunyai
lisensi (surat izin) dinyatakan sebagai akses legal, sementara akses rakyat
dinyatakan ilegal karena tidak memiliki izin formal. Ujungnya adalah
kriminalisasi rakyat, dalam rangka memberikan hukuman pada praktik ilegal
rakyat miskin sekitar ”kawasan hutan negara”, dan kemudian penghukuman
tersebut disosialisasikan dalam rangka meneguhkan pengendalian negara atas
lahan, spesies kayu jati, dan rakyat sekitar hutan itu.
Masih Cara Kolonial
Kasus kriminalisasi
terhadap rakyat sekitar hutan, seperti yang dialami oleh Nenek Asyani dkk,
bukanlah suatu gejala yang berdiri sendiri dan terlepas dari politik agraria
yang melingkupinya. Dalam kasus ini, yang terjadi adalah instrumentasi hukum
sebagai taktik untuk pelanggengan penguasaan dan pengendalian Perhutani atas
lahan, spesies, dan rakyat.
Dari perspektif
politik agraria, kriminalisasi atas Asyani dkk berfungsi sebagai suatu
pengumuman pada rakyat miskin sekitar hutan: bahwa hukuman demikian itu dapat
mengenai siapa pun yang berani menantang kuasa Perhutani mengendalikan lahan,
spesies kayu jati, dan rakyat sekitar hutan. Lebih dari itu, cara negara
hadir dalam pengalaman rakyat yang lemah, masih serupa dengan yang dilakukan
penguasa kolonial terdahulu.
Menurut penulis,
penggunaan UUP3H Pasal 12 huruf (d) dan Pasal 83 ayat 1 untuk kasus Nenek
Asyani dkk adalah salah sasaran, karena UUP3H ditujukan memberantas kejahatan
terorganisasi (pasal 1 ayat 4). Sangat jelas bahwa yang dilakukan mereka sama
sekali bukan kejahatan terorganisasi.
Dari pandangan Nenek
Asyani sendiri, hadirnya negara dengan cara demikian itu merupakan suatu
tindakan aparatus negara menzalimi diri dan kawan-kawannya. Ketika hukum
negara tidak lagi menyediakan keadilan, ia menolak mematuhinya, dan merujuk
ke cara penyelesaian yang lain. Setelah hakim memutuskan menutup persidangan,
Nenek Asyani menyampaikan kalimat berikut dengan lantang:
”Abbeh mak nyingla. Mara tojuk Pak Hakim. Berarti Hakim tak e jhek engkok tak ngecok. Mara a
sompah pocong bik engkok. (Kenapa kok keluar. Mari duduk di sini Pak
Hakim. Berarti Hakim tidak percaya kalau saya tidak mencuri. Mari sumpah
pocong saja sama saya).” Nenek Asyani bertindak lebih jauh dari pada yang
dimaksud oleh pepatah hukum yang bersumber dari filsuf Thomas Aquinas (1225-
1274) bahwa ”hukum yang tidak adil
bukanlah hukum”, malah ia menunjukkan lanjutannya, mencari rujukan lain
untuk menyelesaikan pertentangan antara hukum dan rasa keadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar