Senyum,
Canda, dan Wibawa
Azrul Ananda ; Dirut Jawa Pos Koran
|
JAWA POS, 06 Mei 2015
Surat tilang bisa
menghibur. Antrean imigrasi panjang juga tidak harus menyebalkan…
***
Saya termasuk
beruntung, punya pengalaman ditilang di beberapa negara. Saya termasuk
beruntung, karena beberapa kali ditilang itu meninggalkan kesan dan cerita
yang mungkin layak dibagi.
Pada tahun pertama
saya nyetir mobil di Amerika, saya pernah dihentikan polisi karena melebihi
batas kecepatan. Masih pakai SIM Internasional, dengan tulisan ’’Indonesia’’,
sang polisi tanpa banyak basa-basi menyatakan salah saya apa, kecepatan saya
berapa, dan menulis surat tilang.
Karena baru kali itu
kena tilang di Amerika, dan masih umur 17 tahun, saya dengan polos bertanya:
’’Habis ini saya harus bagaimana?’’
Sambil menatap saya,
sang polisi yang naik motor gede itu bicara: ’’Hukumanmu empat tahun ikut
militer di Indonesia…’’
Saya terdiam. Saya
sempat bingung. Sang polisi lantas tertawa. ’’Santai, nanti kamu tinggal
bayar denda lewat pos…’’
Tegas? Iya. Tapi tidak
lupa bercanda.
Tentu saja, itu bukan
satu-satunya surat tilang yang pernah saya dapatkan…
Sekitar akhir 2006,
saya bersama beberapa rekan Jawa Pos Group sedang ke Amerika. Kami waktu itu
mengunjungi beberapa negara bagian. Salah satunya ke Indiana. Selain melihat
kantor dan percetakan koran di sana, kami juga mengunjungi konsultan
sekaligus ayah angkat saya waktu SMA, John R. Mohn (yang pindah dari Kansas
ke Indiana).
Keluar dari bandara,
kami naik shuttle bus ke kawasan sewa mobil. Dari tempat sewa mobil, saya
langsung mengemudikannya naik ke highway. Belum sampai lima menit, bunyi
sirene terdengar dari belakang. Ada polisi naik motor meminta kami berhenti.
Lagi-lagi, saya
melewati batas kecepatan. Dan waktu itu baru sadar bahwa di Indiana aturannya
jauh lebih ketat daripada negara bagian lain.
Seperti biasa, dengan
cepat dia menjelaskan kesalahan, lalu menulis surat tilang. Lalu, menjelaskan
tinggal membayar via pos menggunakan amplop yang dia serahkan bersama surat
tilang (karena saya tidak tinggal di Indiana).
Kemudian, dia
bertanya. Kami hendak ke mana? Waktu itu, GPS belum tersedia luas, dan saya
memang membawa peta.
Ketika saya jelaskan
hendak ke mana, dia lantas memberi tahu jalan tercepat ke sana. Dia bahkan
memandu mobil kami di highway itu sampai exit (jalan keluar) yang seharusnya…
Rasa sebal kena tilang
–dan kena denda USD 150– agak tertutupi oleh rasa senang…
Tegas? Iya. Tapi tidak
lupa membantu dan melayani…
***
Antrean imigrasi
termasuk yang paling ’’menantang’’ secara mental. Lelah perjalanan jauh, lalu
harus antre panjang imigrasi. Lebih sebal lagi kalau petugas imigrasinya
bermuka cemberut dan bertugas seperti orang yang membenci siapa pun yang akan
masuk ke negaranya. Termasuk terhadap warga negara sendiri.
Capek ketemu cemberut,
jelas bukan kombinasi yang baik.
Padahal, menurut saya,
jalur imigrasi ini merupakan gapura penyambut terpenting suatu negara. Kalau
ramah dan nyaman, akan menggambarkan tuan rumah yang ramah dan baik.
Ironis kalau sebuah
negara yang mengklaim sebagai bangsa yang ramah ternyata menyambut tamu dari
negara lain dengan wajah cemberut. Dan yang cemberut itu orang pertama yang
menyambut!
Pernah teman saya
mengomel: ’’Sudah mejanya tinggi, orangnya susah dilihat, cemberut dan tidak
ramah pula…’’
Soal urusan imigrasi
ini, memang agak fifty-fifty mencari negara yang menyambut tamunya dengan
keramahan hotel bintang lima.
Tapi rasanya, tidak
terlalu ramah tidak apa-apa, asal prosesnya cepat, antreannya rapi, dan
petugasnya tidak cemberut…
Amerika termasuk yang
banyak berubah belakangan ini. Setelah Serangan 11 September 2011, sempat
sangat-sangat ketat. Walau setiap tahun ke Amerika, saya termasuk yang harus
menjalani pemeriksaan secondary (lapis kedua) setiap kali masuk Negeri Paman
Sam.
Prosedurnya lebih
panjang, lebih lama, lebih melelahkan. Mau keluar Amerika pun harus lapor
lagi di kantor terpisah.
Tentu saja, beberapa
tahun lalu, prosedur itu tidak lagi seketat dulu. Namun, saat masa transisi,
petugas yang memproses saya di bandara Seattle-Tacoma sempat salah prosedur.
Ketika salah klik di layar monitor, saya batal bebas pemeriksaan secondary.
Harus melaporkan diri lagi nanti sebelum pulang ke Indonesia via San
Francisco.
Namun, petugas itu
termasuk gentleman. Dia mengakui kesalahannya, dan setelah menyatakan maaf
menyampaikan ’’kabar buruk’’ tersebut.
’’Nanti kalau Anda mau
balik lewat San Francisco, silakan bilang ke petugas di sana kalau petugas
a****e (istilah bodoh, Red) di Seattle telah membuat kesalahan. Anda
seharusnya tidak apa-apa. Sekali lagi mohon maaf,’’ ucapnya.
Sebal? Iya. Capek?
Iya. Tapi agak terhibur juga dengan komentar itu. Tidak perlu marah-marah.
Jarang-jarang kan mendengar seorang petugas mengakui kesalahannya dan
menyebut diri sendiri ’’bodoh’’? Tidak melempar kesalahan, apalagi
menutup-nutupinya…
Walau pelayanan makin
cepat makin baik, saya rasa sedikit chit chat penting juga di proses imigrasi
ini.
Ketika liburan
keluarga dan mendarat di Portugal tahun lalu, saya maju ke petugas bersama anak
pertama saya yang bernama Ayrton. Walau namanya dari pembalap Brasil, bahasa
yang dipakai di Brasil kan bahasa Portugis.
Melihat paspor anak
saya, sang petugas lalu melihat saya dan tersenyum. ’’Saya ingat betul sedang
berbuat apa ketika kejadian itu berlangsung (tabrakan yang menewaskan Ayrton
Senna, Red),’’ celetuknya lantas tersenyum.
Tidak ada komentar
lanjutan, saya juga tidak berkomentar banyak. Tapi sudah memberi kesan
’’hangat’’.
Tegas + canda +
melayani + gentleman + sedikit chit chat = Wibawa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar