Belajar
dari Konflik Rasial di AS
Nadia Egalita ; Mahasiswi Faculty of Art, Monash University
Australia, belajar tentang Media Studies and Social Behaviour
|
JAWA POS, 06 Mei 2015
BARA api konflik
rasial di Amerika Serikat (AS) tampaknya tak pernah benar-benar padam. Negara
adidaya yang sering mengklaim diri sebagai negara paling demokratis itu
kembali diguncang aksi unjuk rasa yang melibatkan ribuan orang di berbagai
kota besar di AS. Kali ini unjuk rasa pecah di Baltimore, New York, Washington,
dan Boston karena dipicu tindakan polisi yang dianggap diskriminatif terhadap
warga kulit hitam (Jawa Pos, 1 Mei 2015). Sebelumnya unjuk rasa serupa
terjadi akhir tahun lalu di Ferguson, Missouri, AS, karena dipicu
ketidakpuasan warga terhadap grand jury yang memutuskan tidak melanjutkan
kasus hukum atas polisi yang dituduh membunuh warga kulit hitam.
Unjuk rasa yang
berlangsung di sejumlah kota kali ini berlangsung damai –meski ada laporan
sempat terjadi bentrokan kecil di New York. Dalam kasus kematian warga kulit
hitam di Ferguson Desember 2014, warga kulit hitam yang kecewa dan merasa
diperlakukan tidak adil atas keputusan juri yang membebaskan polisi kulit
putih melampiaskan ketidakpuasan dengan menggelar aksi unjuk rasa dan aksi
anarkistis. Sejumlah toko, restoran, dan mobil polisi di Kota Ferguson
dibakar dan dijarah massa yang telanjur kalap. Aparat kepolisian juga tidak
luput menjadi sasaran kemarahan warga.
Akar Masalah
Aksi unjuk rasa di
Baltimore, New York, Washington, Boston, dan kerusuhan rasial seperti yang
terjadi Kota Ferguson sebetulnya bukan hal baru. Sebelum kasus konflik rasial
itu meletup di Baltimore dan Ferguson, di berbagai kota lain di AS, di
sejumlah negara di Eropa, dan di kota-kota lain di dunia, tercatat sudah
sering terjadi berbagai kasus kerusuhan rasial serupa. Posisi warga kulit
putih yang dianggap terlalu superior dan mendominasi warga kulit hitam,
ditambah lagi adanya masalah kesenjangan sosial ekonomi yang terasa mencolok
mata, mengakibatkan kapan potensi atau bara api konflik rasial yang laten itu
berubah menjadi konflik yang manifes hanyalah soal waktu.
Di AS, aksi kerusuhan
rasial yang awalnya terjadi di Baltimore dan Ferguson beberapa waktu lalu
dengan cepat merambah ke kota-kota lain. Sebab, di era digital seperti
sekarang, sebuah kejadian yang muncul di suatu tempat dalam detik yang sama
bisa diketahui orang-orang di kota atau bahkan benua lain. Mereka pun dengan
cepat akan dapat melihat dan terstimulasi untuk melakukan hal yang sama
sebagai ekspresi dari rasa solidaritas di antara mereka yang merasa menjadi
korban.
Di mana pun, aksi
kerusuhan rasial umumnya rawan pecah karena adanya prasangka dan diskriminasi
yang menarik garis tegas antara kelompok superior dan kelompok
tersubordinasi. Yang dimaksud dengan prasangka adalah sikap negatif terhadap
seseorang atau kelompok etnis tertentu atau minoritas. Prasangka terhadap
kelompok lain ini dalam kenyataan acap kali meletup dan diperkuat karena adanya
rasialisme, yakni keyakinan bahwa suatu ras lebih tinggi derajatnya daripada
ras yang lain.
Sementara itu, yang
dimaksud dengan diskriminasi adalah perlakuan yang membedakan kelompok
tertentu, baik dalam layanan, sikap, maupun hubungan sosial. Dalam kenyataan,
sering terjadi anggota kelompok subordinat akan mengalami dan menerima
prasangka, diskriminasi, serta eksploitasi dari kelompok yang dominan.
Sehingga ketika ada faktor yang memicu terjadinya konflik terbuka, dengan
cepat hal itu akan menjalar menjadi kerusuhan yang berskala masal.
Di AS, warga kulit
putih sering kali menerima berbagai perlakuan dan keistimewaan tertentu
karena adanya prasangka yang berlebihan. Ferber & Kimmel (2008)
menyatakan, white privilege (keistimewaan kulit putih) adalah hak atau
kekebalan yang diberikan kepada seseorang sebagai sebuah mandat atau dukungan
tertentu hanya karena mereka berkulit putih. Sementara itu, warga kulit hitam
justru memperoleh perlakuan sebaliknya. Alih-alih diperlakukan sama, dalam
kenyataan memang kita tidak menutup mata, masih ada perlakuan yang
diskriminatif kepada warga kulit hitam.
Walaupun berbagai
upaya selama ini telah dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi kemungkinan
terjadinya kerusuhan rasial, tetapi karena akar penyebab terjadinya konflik
tidak pernah ditangani hingga tuntas, yang terjadi kemudian adalah hubungan
sosial antar-ras yang rapuh. Di AS, sepanjang permukiman warga kulit putih
dan kulit hitam masih tersegregasi, juga berbagai perlakuan diskriminatif
masih terus dirasakan warga minoritas, sepanjang itu pula kemungkinan
terjadinya kerusuhan rasial masih akan sangat terbuka.
Diferensiasi Sosial
Seperti kerusuhan
rasial yang terjadi di Prancis, Afrika, Asia, dan berbagai negara lainnya,
kerusuhan rasial yang berkali-kali terjadi di AS sesungguhnya adalah masalah
yang bermula dari isu kesenjangan kelas, yang bersejajaran dengan isu
diferensiasi sosial atau perbedaan sosial. Lebih dari sekadar isu kesenjangan
ekonomi dan tajamnya segregasi sosial yang terbentuk, kerusuhan rasial yang
bermuara pada syak wasangka, kebencian, dendam kesumat, dan sentimen rasial
niscaya akan lebih sulit diselesaikan.
Membuka kekakuan
struktur, memperbanyak peluang-peluang yang bisa diakses warga masyarakat
yang tersubordinasi agar dapat melakukan mobilitas vertikal, di satu sisi
memang perlu untuk terus dikembangkan. Tetapi, yang tak kalah penting adalah
bagaimana memperbanyak forum-forum, ruang publik, atau zona netral yang
memungkinkan antarkelompok ras yang berbeda dapat saling menyapa dan berbicara
dari hati ke hati agar itu semua dapat menjadi fondasi atau modal sosial
budaya yang fungsional untuk dasar membangun integrasi masyarakat yang
benar-benar kuat.
Bagi Indonesia,
kerusuhan rasial yang terjadi di AS adalah sebuah pelajaran sekaligus tempat
untuk berkaca agar bangsa kita tidak mengembangkan sikap egosentrisme dan
fanatisme yang berlebihan. Bangsa yang kukuh sesungguhnya adalah bangsa yang
memiliki fondasi multikulturalisme yang kuat dan sikap toleransi yang
benar-benar demokratis. Hanya dengan cara itulah, bangsa Indonesia akan
berkembang berkelanjutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar