Relasi
Indonesia-Australia Pasca Hukuman Mati
Dinna Wisnu ; Co-founder dan Direktur Program
Pascasarjana
Universitas Paramadina, Jakarta, sejak 2008
|
DETIKNEWS, 06 Mei 2015
Eksekusi
tahap kedua dengan delapan terpidana mati kasus narkoba sudah terjadi. Kita
masih menunggu dua orang terpidana lain, Mary Jane (Filipina) dan Serge
Areski Atlaoui (Prancis), yang tertunda karena proses hukum mereka masih
berjalan. Penundaan eksekusi itu berarti juga tertundanya reaksi diplomatik
dari dua negara tersebut.
Dalam
kasus Mary Jane, kita melihat, upaya pemerintah Filipina meminta pengampunan
terbilang relatif lembut. Presiden Filipina Benigno Aquino menyampaikannya
dalam pertemuan tingkat tinggi ASEAN. Waktunya relatif dekat sekali dengan
jadwal eksekusi. Desakan dari Aquino tersebut mungkin terjadi karena tekanan
yang kuat dari Aliansi Buruh Migran di negeri itu.
Sikap
lembut Filipina dapat dipahami karena negeri itu bagian dari keluarga ASEAN.
Di ASEAN, ada agenda-agenda strategis yang perlu tercapai, termasuk dalam
kasus sengketa wilayah di Laut Cina Selatan. Filipina membutuhkan dukungan
dari Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN dalam menghadapi klaim
Tiongkok.
Filipina
mungkin sudah menghitung untung-ruginya dalam bereaksi atas putusan hukuman
mati ini. Apabila mereka bersikap frontal seperti Australia, tentu akan
terganggu pula suasana "saling menjaga perasaan" yang selama ini
menjadi karakter ASEAN. Negara-negara ASEAN lainnya yang warganya terancam
eksekusi mati karena kasus narkoba (Vietnam, Thailand, dan Malaysia) juga
memilih tidak terlalu mendesak-desak Presiden Joko Widodo. Khusus untuk
Malaysia, bisa jadi mereka bersikap demikian karena di negerinya juga
dilakukan hukuman mati terhadap terpidana narkoba.
Terkait
protes keras dari Australia, ini akan menjadi pekerjaan rumah diplomat dalam
beberapa bulan, bahkan beberapa tahun, mendatang, khususnya selama Tony
Abbott masih berkuasa sebagai perdana menteri. Dalam pakem diplomasi, protes
keras semacam itu biasanya diikuti dengan upaya meningkatkan intensitas
komunikasi agar hubungan tidak memburuk.
Hubungan
bilateral Indonesia dan Australia sebetulnya relatif sering mengalami
pasang-surut yang dramatis. Namun pada akhirnya sama-sama menyadari perlunya
tetap menjaga komunikasi dan kerja sama, terutama pada tataran people-to-people. Selain itu, ada
faktor Amerika Serikat, yang terbukti masih menjadi rujukan arah politik luar
negeri Australia. Dalam sejarah, apa pun yang dilakukan Australia terhadap
Indonesia tak mungkin tidak dikonsultasikan terlebih dulu dengan Amerika
Serikat.
Hal ini
bisa dikonfirmasi melalui sejarah berpisahnya Timor Leste (dulu Timor Timur)
dari Indonesia. Sejak 1975, gerakan perlawanan rakyat Timor Leste memiliki
basis dan kantor yang kuat di Australia. Mereka juga melakukan advokasi
kepada publik Australia untuk mendukung kemerdekaan mereka. Masyarakat
Australia juga sebagian besar mendukung perlawanan rakyat Timor Leste.
Meski
demikian, tekanan publik kepada pemerintah Australia tidak melahirkan sebuah
aksi konfrontasi yang keras terhadap pemerintah Indonesia karena Amerika
Serikat masih membutuhkan Indonesia sebagai kawan dalam memerangi bahaya
ideologi Komunisme di Asia Tenggara. Tekanan baru betul-betul keras ketika
bahaya komunisme sudah tidak relevan seiring dengan usainya Perang Dingin.
Hal itu ditandai dengan tekanan kepada Indonesia untuk segera melakukan
referendum di Timor Leste pada 1999.
Dalam
kasus hukuman mati ini, Amerika Serikat memilih pasif, bahkan cenderung
mendukung keputusan Presiden Joko Widodo. Duta Besar Amerika Serikat Robert
Blake bahkan pernah mengatakan di Solo bahwa hukuman mati merupakan masalah
yang harus diputuskan oleh pemerintah Indonesia sendiri. Ia mengakui hukuman
mati juga diberlakukan di Amerika, terutama terhadap pelaku kejahatan berat
atau serius.
Dari
pernyataan tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Amerika berada di
belakang Indonesia dalam masalah hukuman mati. Itu juga berarti ancaman keras
dari Australia mungkin juga tidak akan sampai membawa hubungan kedua negara
menjadi semakin memburuk. Kesimpulan itu sendiri bisa saja gugur apabila ada
faktor-faktor lain yang berjalan di luar kebiasaan hubungan Australia dan
Amerika selama ini.
Sejauh
yang saya amati, faktor lain tersebut antara lain bergabungnya Australia dengan
Bank Infrastruktur Asia, yang dimotori oleh Tiongkok. Tindakan Australia ini
telah menimbulkan kegeraman dari Amerika yang telah mulai kehilangan
“pendukung”-nya karena beberapa negara Eropa, juga Jepang dan Korea Selatan,
juga bergabung dengan Bank Infrastruktur Asia.
Apabila
kita interpretasikan bergabungnya Australia sebagai perlawanan atau bentuk
baru hubungan Australia terhadap “sang Paman”, ada kemungkinan juga Australia
akan memiliki kebijakan yang relatif lebih otonom dalam soal hukuman mati
ini. Namun sejauh-jauhnya otonom, pertimbangan ekonomi tetap utama.
Hingga
saat ini, hubungan perdagangan Australia-Indonesia masih cukup kuat. Salah
satu komoditas yang menjadi andalan Australia adalah sapi. Sapi dan bentuk
olahannya, seperti susu dan keju, masih diperlukan oleh Indonesia. Beberapa
komoditas lain, seperti tambang dan mineral, juga mendominasi struktur
perdagangan Indonesia-Australia.
Bagaimana
dengan Prancis. Selama ini negeri itu punya hubungan baik dengan Indonesia
meski tidak punya kepentingan kerja sama ekonomi langsung yang cukup
signifikan. Tapi Prancis keras memprotes keputusan Presiden Joko Widodo.
Apakah dia terinspirasi oleh Australia? Apakah Prancis serius akan membangun
solidaritas antarnegara Eropa untuk menekan Indonesia dari sisi penegakan hak
asasi manusia?
Jika ya,
Indonesia perlu memikirkan cara untuk menangkalnya. Apalagi Indonesia punya
agenda-agenda besar di tingkat regional dan global yang membutuhkan pula
dukungan dari negara-negara Eropa, termasuk Prancis. Misalnya untuk
memperbaiki tata kelola ekonomi global dan mereformasi Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Jadi
kita boleh saja menilai tekanan dari negara-negara lain merupakan bagian dari
agenda politik dalam negeri mereka, namun perlu juga kita ingat bahwa Indonesia
punya keinginan menjadi pemain global yang dihormati. Karena itulah hendaknya
pemerintah Indonesia dan segenap pejuang kepentingan nasional jeli menjaga
agar batu-batu fondasi pendukung agenda kita agar tetap pada tempatnya. Tidak
goyah karena gelombang protes yang saat ini sedang menghujani Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar