Reformasi
dan Sampah Gelap Demokrasi
Ali Nur Sahid ; Peneliti
Pusat Studi Agama dan Demokrasi (Pusad) Paramadina
|
TEMPO, 21 Mei 2015
Bulan
Mei selalu mengingatkan sebuah tonggak gerak perubahan di Indonesia sejak
lengsernya Soeharto pada 1998. Lalu bagaimana kabarnya reformasi yang
digulirkan sejak 17 tahun lalu? Tentu ada perbaikan di sana-sini, namun
mutunya masih harus lebih gigih ditingkatkan, sekaligus dibersihkan sejumlah
sisi gelapnya.
Terdapat
berbagai model dan ukuran dalam melihat perkembangan sebuah demokrasi.
William Liddle dan Saiful Mujani (2013) melihat transisi demokrasi Indonesia
sudah tuntas sejak pemilihan presiden langsung pada 2004. Fase berikutnya
adalah konsolidasi. Sebaliknya, Marcus Mietzner (2012) melihat terjadi stagnasi
demokratik di Indonesia akibat elite konservatif leluasa mengisi ruang-ruang
demokratik yang tersedia. Terdapat peta yang cukup kompleks melihat problem
transisi demokrasi dan konsolidasinya. Meski sejumlah kemajuan luar biasa
terjadi sejak 1998, di beberapa area terjadi kemunduran.
Freedom
House 2014 menilai Indonesia anjlok dari kategori "Free" menjadi
"Partly Free". Sejak 2006 demokrasi di seluruh dunia terus
mengalami kemerosotan. Di Timur Tengah bahkan terancam mengalami resesi
demokrasi. Bagi sejumlah pengamat, Indonesia adalah pengecualian yang
menjanjikan. Namun kegagalan dalam tahapan konsolidasi juga bisa berakibat
pada negara otoriter kembali.
Dalam
melihat capaian kualitas interaksi negara dan masyarakat, dapat dilihat dalam
aspek kebebasan sipil, aspek hak-hak politik, dan aspek lembaga demokrasi.
Hingga saat ini mutu kebebasan sipil menurun. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS) atas pemantauan di 33 provinsi pada 2013, aspek kebebasan
sipil turun menjadi 79,00 dari 86,97 persen pada 2009 lalu. Variabelnya
meliputi ancaman atas kebebasan berpendapat, kebebasan berkeyakinan, dan
kebebasan dari diskriminasi.
Kriteria
umum dalam menilai konsolidasi demokrasi biasanya dikaitkan dengan interaksi
situasi masyarakat sipil (kebebasan berserikat dan berkomunikasi), masyarakat
politik (kontestasi pemilu yang bebas dan inklusif), supremasi hukum
(konstitusionalisme), aparatur negara (norma birokrasi rasional-legal), dan
masyarakat ekonomi (pasar dilembagakan).
Perlu
diperhatikan bahwa wajah transisi tidaklah tunggal. Bahkan demokrasi juga
melahirkan gerakan yang menentang demokrasi itu sendiri. Dalam catatan Pusat
Studi Agama dan Demokrasi (Pusad) Paramadina, ruang demokratis saat ini malah
dimanfaatkan (digerogoti) dengan leluasa oleh kelompok-kelompok islamis garis
keras, pendakwah intoleransi, dan ujaran kebencian. Perlindungan terhadap
hak-hak minoritas dan penegakan hukum absen.
Setiap
kebijakan ditentukan oleh sebuah konteks politik yang mengandung banyak
kesempatan sekaligus kendala. Kemandekan demokrasi bisa muncul dari keputusan
lembaga-lembaga pemerintah yang konstitusional namun anti-reformasi. Fokus
kritis mengawal konsolidasi demokrasi hendaknya lebih diarahkan terhadap
aktor-aktor pokok pejabat pemerintah pusat, daerah, pemimpin partai, hakim,
jaksa, polisi, dan anggota lembaga legislatif.
Tentu
kita tidak ingin kembali dalam situasi otoriter Orde Baru. Namun pelemahan
terhadap kebebasan sipil, hak-hak politik, dan pengerdilan lembaga demokrasi
perlu diwaspadai terus-menerus. Begitu juga munculnya sampah gelap demokrasi:
intoleransi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar