Provokasi
Jurnalis Anti-Islam
Sumiati Anastasia ; Lulusan
University of Birmingham, untuk Relasi Islam-Kristen
|
TEMPO, 21 Mei 2015
Belakangan
ini cukup banyak media Barat dengan para jurnalisnya yang memprovokasi dunia
Islam. Misalnya, awal Mei ini, jurnalis Pamela Geller menggelar kontes
menggambar kartun Nabi Muhammad di Curtis Culwell Center, Garland, Texas,
pada 3 Mei lalu. Acara itu menjadi heboh, ketika dua orang melakukan serangan
saat kontes berlangsung. Kedua penyerang, yakni Elton Simpton dan Nadir
Soofi, ditembak mati polisi.
Tewasnya
dua penyerang dan luasnya pemberitaan merupakan keberhasilan bagi Pamela
Geller. Sejak serangan ke World Trade Center, sosok 57 tahun itu memang
diliputi kebencian terhadap Islam. Geller semula dikenal sebagai jurnalis dan
komentator konservatif di koran New York Observer. Kini, ia aktif mengelola
website-nya, yang memuat ulang 12 kartun nabi yang pernah dimuat majalah
Denmark, Jyllands-Posten.
Kebencian
Geller diungkapkan lewat lembaganya, American
Freedom Defense Initiative (AFDI), yang aktif menggelar berbagai acara
untuk menyudutkan Islam. Bahkan AFDI juga berani mengeluarkan kocek
mempromosikan iklan anti-Islam. Di New York dan Miami, ia pernah memasang
iklan yang berbunyi "Fatwa on Your Head?" (Fatwa atas kepala Anda?)
atau "Leaving Islam" (Meninggalkan Islam) guna mempromosikan
website-nya www.refugefromislam.com,
yang menyediakan bantuan bagi yang ingin keluar dari Islam.
Geller
juga mengungkapkan kontes kartun itu merupakan solidaritas untuk para awak
Charlie Hebdo, yang menjadi korban penyerangan. Dan, berbicara tentang
Charlie Hebdo, tentu tak lepas dari nama editornya, yakni Stephane
Charbonnier, yang ikut tewas bersama 11 orang lainnya setelah penyerangan
pada 7 Januari 2015. Charbonnier adalah "otak" Charlie Hebdo.
Pamela
Geller dan Stephane Charbonnier boleh jadi mengikuti jejak jurnalis Italia
Oriana Fallaci, yang anti-Islam. Dalam bukunya La Forza Ragione (Kekuatan
Akal Budi, 2004), jurnalis The New York Times, The Washington Post, dan Life
ini mencemaskan kian banyaknya imigran muslim di Eropa dan dampaknya bagi
budaya Barat yang memuja kebebasan. Jadi, singkatnya, di mata Oriana, Islam
itu membahayakan masa depan Barat dan kebebasan berekspresi. Barat memang
sangat mendewakan kebebasan berekspresi. Padahal, menurut Paus Fransiskus,
kebebasan berekspresi itu tidak boleh menghina agama, apalagi menganggap
agama sebagai lelucon.
Teringat
Paus, kita jangan gampang menyamakan Barat dengan umat kristiani. Sekularisme
Barat membuat pemisahan tegas antara agama dan negara. Gereja, paus, bahkan
Yesus juga kerap menjadi obyek olok-olok.
Yang
perlu dicemaskan justru para ekstremis kanan, baik di Eropa atau Amerika,
sebagaimana Pamela Geller, yang memang sangat anti-imigran beragama Islam.
Simak saja kasus penembakan tiga muslim asal Suriah di apartemen mereka di
dekat Universitas North Carolina 10 Februari 2015 (Tempo.co 11 Februari lalu). Pelakunya diduga ekstremis kanan
alias teroris yang anti-Islam. Kita juga ingat akan aksi ekstremis kanan Anders
Behring Breivik yang membunuh 92 orang (90-an orang lainnya terluka) di Pulau
Utoeya, Norwegia, pada Juli 2011.
Masa
depan umat manusia jelas tidak boleh jatuh kepada para ekstremis atau
radikal. Kaum moderat, termasuk para awak media kita, ditantang untuk mencari
solusi yang bijak merespons fakta di atas. Kebijaksanaan itu ada di tengah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar