Rakyat
Belajar Berdaulat
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga
Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN SINDO, 11 Mei 2015
Kami tidak butuh mantra/Jampi-jampi/Atau janji/Atau sekarung
beras/Dari gudang makanan kaum majikan /Tak bisa menghapus kemelaratan.
Itu penggalan puisi
Wiji Thukul. Judulnya Aku Menuntut Perubahan, ditulis pada 9 April tahun
1992. Itu zaman yang secara politik begitu mengerikan. Tapi Thukul berani
bersuara seperti tak tahumenahu akan risiko bersuara. Apakah dia tidak tahu
bahwa risiko itu ada?
Dia tahu persis. Zaman
itu sebentar-sebentar rakyat diculik. Sebentar-sebentar mereka yang gigih
berbicara dibawaorangberseragam, berwajah seram, menerobos kegelapan entah ke
mana. Kemudian ketika pulang, mereka sudah kusut. Entah diapakan. Orang
bilang, beruntunglah yang masih diberi kesempatan pulang. Yang lain-lain
hilang entah di mana tak pernah lagi pulang. Tapi Thukul tetap menulis sajak.
Dengan segenap
keberanian yang terasa, kadang-kadang seperti begitu polos, apa adanya, dan
tak dibuat-buat. Tapi apa yang polos dan punya keberanian menyatakan sikap
politik dan pendirian yang tegas itu tak disukai. Thukul pun menyadari bahwa
dirinya tak disukai.
Dia menulis puisi yang
lain, dengan judul Bunga dan Tembok: Seumpama bunga/kami adalah bunga yang
tak/kau kehendaki tumbuh/ seumpama bunga/ kami adalah bunga yang/ dirontokkan
di bumi kami sendiri/jika kami bunga/engkautembok. Kita tahu, bunga itu
mungkin keharuman, mungkin kesegaran, mungkin harapan, dan siapa bilang tak
mungkin bila bunga di dalam puisi ini maksudnya bunga bangsa yang kelak akan
menjadi buah dan bukan buah sekadar buah?
Dia bilang lagi dalam
bait berikutnya: tapi di tubuh tembok itu/telah kami sebar biji-biji/ suatu
saat kami akan tumbuh bersama-sama. Thukul, penyair ini, bukan hanya orang
berani, tetapi orang yang mengerti bahwa dia wajib bersuara dan menyatakan
pendapat mengenai apa saja yang wajib diberi komentar atau kritik. Ketika
orang harus berbicara, baginya, maka dia harus berbicara.
Dia mengejek orang
pintar yang hanya membaca buku. Dalam puisinya yang berjudul Di Bawah Selimut
Kedamaian Palsu, dia menyindir keras dan blak-blakan: apa gunanya baca
buku/kalau mulut kau bungkam melulu. Orang yang membaca buku demi membaca
buku itu sendiri dan mulutnya dibungkam dengan tertib oleh kemauan sendiri,
oleh ketakutan sendiri, tak peduli bahwa ketakutan itu diselimuti dengan baik
sehingga menjadi kebijaksanaan, itu hanya kepalsuan.
Bijaksana tapi palsu,
bukan lagi bijaksana. Orang seperti itu apa namanya bila bukan orang atau
warga negara atau rakyat yang tak berdaulat. Dia orang, warga negara atau
rakyat, yang hidupnya terinjak- injak. Mungkin oleh ketakutan sendiri.
Mungkin pula oleh sepatu sepasukan orang tertatih. Mereka terlatih menginjak
orang lain, membungkam orang lain, dan menghilangkan kedaulatan orang lain.
Tapi mereka pun orang
yang jelas terlatih menjalankan perintah tanpa harus bertanya. Dengan kata
lain, mereka terlatih ditindas. Jadi jelaslah, mereka juga tak punya
kedaulatan yang agak utuh. Kedaulatan mereka sudah mereka titipkan pada
atasan yang merasa anak buahnya tak memerlukan kedaulatan apa pun. Thukul
lain. Dua potret orang, warga negara, rakyat, yang berdaulat dan memahami
untuk apa kedaulatannya.
Thukul menyadarkan
kita akan perlunya kita paham bahwa kita berdaulat dan cara menggunakan
kedaulatan itu. Jika kedaulatan kita terinjak, kita memperjuangkannya dengan
sepenuh jiwa raga kita, karena kedaulatan memang jiwa dan raga kita. Warga negara
atau rakyat yang tak punya kedaulatan, warga negara apa dia dan rakyat macam
apa dia? Thukul sendiri sudah hilang dari keluarganya, dari masyarakatnya,
dari kerumunan komunitasnya.
Dia hilang karena
memperjuangkan kedaulatan yang direnggut dari tangannya. Dia tak pernah mau
menyerah. Kedaulatan itu miliknya. Tak boleh direnggut siapa pun. Kedaulatan
itu hadiah langit, satu paket dengan hidupnya sendiri. Hidupmu dan
kedaulatanmu itu satu pasang. Lepas satu, yang lain tak berarti. Hilang satu,
yang lain apalah gunanya.
Thukul hilang tapi
terbilang. Banyak orang yang ada, tapi adanya sama dengan tidak adanya.
Banyak orang yang tidak hilang, tapi dia hakikatnya sudah hilang dari diri
sendiri karena takut menyatakan apa yang wajib dinyatakan. Banyak orang yang
tidak hilang karena tidak berharga untuk dibikin hilang. Pemerintah yang
menakutkan sedang membikin hilang orang yang layak dibikin hilang.
Tapi mereka malas dan
merasa tak berarti untuk menghilangkan manusia-manusia yang tak berharga
untuk dihilangkan. Thukul itu orang yang berdaulat dan paham akan arti
kedaulatannya. Dia hilang tapi tidak hilang karena tiap saat dia terbilang.
Dia menjadi pahlawan bagi jiwa-jiwa yang merdeka dan menyadari kedaulatan di
tangannya.
Di zaman keterbukaan
seperti ini, rakyat gigih untuk belajar berdaulat. Pemerintah tunduk dan
patuh pada kepentingan asing. PP No 109 Tahun 2012, yang mencekik petani
tembakau itu, lahir di dalam situasi psikologi politik yang memalukan seperti
itu.
Pemerintah yang
berdaulat telah berhasil dengan gilang gemilang menggadaikan kedaulatannya
kepada bangsa asing. Tapi rakyat tidak begitu. Rakyat tetap belajar
berdaulat. Sampai kapan pun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar