Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi,Apa yang Salah?
Latif Adam ; Peneliti Pusat Penelitian
Ekonomi (P2E)-LIPI, Jakarta
|
KORAN SINDO, 11 Mei 2015
Ketika Jokowi resmi
dilantik sebagai presiden Indonesia ketujuh pada 20 Oktober 2014, terdapat
ekspektasi yang sangat tinggi dari masyarakat bahwa pemerintahannya akan
mampu memperbaiki lanskap perekonomian Indonesia ke arah yang lebih maju dan
berkeadilan.
Ide-ide cemerlang
bagaimana mengelola perekonomian (seperti tambahan alokasi anggaran
infrastruktur menjadi Rp290,3 triliun) dan gebrakan beberapa menteri menjadi
lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya ekspektasi masyarakat. Namun,
paling tidak sampai dengan triwulan I-2015, masyarakat tampaknya masih harus
menunggu jawaban pemerintah terhadap ekspektasi mereka.
Alih-alih membaik,
beberapa indikator ekonomi justru mengalami pembusukan. Pertumbuhan ekonomi
misalnya, secara year on year (YoY), pada triwulan I- 2015 hanya 4,71%, lebih
rendah dari kuartal I-2014 (5,14%). Perlambatan pertumbuhan ekonomi kemudian
mengurangi kemampuan perekonomian dalam menciptakan kesempatan kerja.
Selama setahun jumlah
penganggur bertambah 300.000 orang, dari 7,15 juta (Februari 2014) menjadi
7,45 juta(Februari 2015). Dengan demikian, selama setahun, tingkat
pengangguran meningkat dari 5,70% menjadi 5,81%, semakin menjauh dari target
yang ditetapkan dalam APBN-P 2015 (5,6%).
Dunia Usaha yang Kurang Darah
Terjadinya perlambatan
pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2015 tidak terlalu sulit diprediksi
dikaitkan dengan semakin lesunya dunia usaha. BPS mencatat ITB (indeks
tendensi bisnis) triwulan I-2015 sebesar 96,3%, tidak hanya menurun dari
triwulan IV-2014 (104,07%), tetapi juga merupakan yang terendah sejak
triwulan- I 2006 (95,12%).
ITB yang menurun jauh
sampai ke level di bawah 100% mengindikasikan bahwa dunia usaha sedang berada
di titik nadir, sulit bergerak, dan terhimpit beraneka ragam permasalahan.
Dari sisi suplai, permasalahan mendasar yang dihadapi dunia usaha adalah
naiknya komponen biaya karena berlanjutnya pelemahan nilai tukar rupiah.
Dunia usaha masih sangat tergantung terhadap bahan baku dan barang modal
impor.
Karena itu, ketika
rupiah terdepresiasi, secara otomatis biaya impor bahan baku dan barang modal
akan terdongkrak naik. Beberapa kebijakan pemerintah, seperti kenaikan TDL,
upah buruh, dan iuran BPJS (kesehatan dan ketenagakerjaan), juga memaksa
dunia usaha mengalokasikan tambahan biaya.
Demikian halnya
agresivitas pemerintah untuk mencari sumber penerimaan melalui perpajakan dan
cukai memberikan konsekuensi negatif terhadap struktur biaya dunia usaha.
Dunia usaha juga dihadapkan dengan semakin mahalnya biaya kredit (cost of fund) dari perbankan.
Kebijakan moneter ketat, khususnya SBI yang tetap pada tingkat yang relatif
tinggi (7,5%), menjadi akar dari tingginya biaya kredit.
Cukup logis jika dunia
usaha mengerem minatnya meminjam ke perbankan. Akibatnya, pertumbuhan kredit
pada triwulan I-2015 hanya 11,1%, jauh dari target yang ditetapkan dalam
rencana bisnis bank, sebesar 18%. Dari sisi demand, dunia usaha masih
dihadapkan dengan lesunya pasar global dan lokal.
Di pasar global, masih
lemah dan menurunnya kinerja perekonomian beberapa negara partner dagang,
seperti Kawasan Eropa, China, dan Jepang, menurunkan permintaan mereka
terhadap komoditas ekspor Indonesia. Bersamaan dengan turunnya harga berbagai
komoditas ekspor, penurunan permintaan ini kemudian menekan penerimaan
ekspor.
Akibatnya, secara YoY,
pada triwulan I-2015, ekspor tetap menjadi salah satu titik lemah pertumbuhan
ekonomi, terkontraksi 0,53%. Di pasar lokal, dampak dari kebijakan menaikkan
harga BBM, LPG 12 kg dan TDL menekan daya beli masyarakat. Konsumsi
masyarakat tetap dominan, berkontribusi 56,12% terhadap pertumbuhan ekonomi
triwulan I-2015.
Tapi kemungkinan besar
konsumsi masyarakat itu lebih banyak untuk berbelanja kebutuhan pokok yang
bersifat price inelastic. Penurunan
daya beli terindikasi dari berkurangnya permintaan masyarakat terhadap barang
yang sifatnya tahan lama seperti pakaian, barang elektronik, dan bahan
bangunan.
Berkelindannya
permasalahan suplai dan demand memaksa dunia usaha
tidak terlalu ekspansif, tetapi justru mengurangi kapasitas produksinya.
Secara sektoral, hal ini terpotret dari terkontraksinya pertumbuhan banyak
sektor, kecualipertanian, informasi dan komunikasi, dan jasa keuangan.
Transfusi dari Pemerintah
Ketika dunia usaha
kekurangan darah, pemerintah berkewajiban memompakan darah segar ke dalam
perekonomian. Selain harus lebih berhati- hati meluncurkan kebijakan yang
bisa berdampak kontraproduktif terhadap kinerja dunia usaha, pemerintah juga
harus lebih taktismenggunakan belanjanya.
Sampai dengan triwulan
I- 2015, manajemen belanja pemerintahan Jokowi tidak jauh berbeda dari
pemerintahan sebelumnya. Sampai dengan triwulan I-2015, realisasi belanja
pemerintah baru sekitar 18,5% dari total belanja Rp1.984,1 triliun. Itu pun
lebih banyak yang terserap untuk belanja rutin dan transfer dana ke daerah.
Hasilnya, belanja pemerintah hanya berkontribusi 6,55% terhadap pertumbuhan
ekonomi triwulan I-2015.
Tingkat penyerapan
belanja infrastruktur lebih rendah lagi. Misalnya, dari total belanja
infrastruktur Kementerian PU dan Perumahan Rakyat Rp94,57 triliun, yang
terserap baru Rp4,8 triliun (5,1%). Alasan di balik rendahnya penyerapan
belanja infrastruktur itu-itu saja karena masalah pembebasan lahan ataupun
terlambat melakukan proses lelang.
Belanja pemerintah,
terutama untuk infrastruktur, dengan multiplier effect -nya bisa dijadikan
sebagai penggerak dunia usaha dan penopang pertumbuhan ekonomi. Karenanya
upaya untuk mengakselerasi penyerapan belanja infrastruktur menjadi pekerjaan
rumah yang utama. Dalam kaitan ini ada baiknya pemerintah membentuk dan
memperkuat kelembagaan untuk mengawasi serapan belanja infrastruktur.
Tugas utama lembaga
ini adalah mengidentifikasi dan memberikan solusi terhadap beberapa masalah
yang mengganggu penyerapan belanja infrastruktur. Lembaga ini juga
berkewajiban menyederhanakan proses lelang, terlibat aktif dalam proses
pembebasan lahan, dan meminimalkan risiko munculnya penyalahgunaan belanja (mark-up). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar