Problem
Pengadaan Bulog
Mochammad Maksum Machfoedz ; Ketua PB Nahdlatul Ulama
|
KOMPAS, 07 Mei 2015
Tidak aneh, ketika
kita disuguhi fakta bahwa pengadaan beras Perum Bulog ternyata mentok,
bermasalah. Begitulah kinerja Bulog dari tahun ke tahun. Tidak pernah
berubah.
Realitas 2015, dari
target pembelian beras petani yang dipatok 2,5 juta ton-2,75 juta ton,
ternyata pada caturwulan pertama yang semestinya potensi pengadaan adalah
yang terbesar, pengadaan yang berhasil dilakukan tidak lebih dari 500.000
ton, kurang dari 20 persen. Pembelian 80 persen mustahil terealisasi pada
2015.
Baru pada Maret lalu
bangsa ini dientakkan krisis beras dengan kenaikan harga tidak terkendali,
mencapai 30 persen. Kenaikan ini adalah rekor tertinggi selama era Reformasi.
Bulog pun tidak bisa berbuat apa-apa karena terbatasnya cadangan. Tidak ada
operasi pasar (OP) berarti. Harga pun kemudian kembali normal, bukan karena
OP, tetapi karena panen raya. Kegagalan pengadaan 2015 tentu menghantui
stabilitas beras, mengulang krisis Maret lalu yang oleh pemerintah disebut
sekadar sebagai ulah mafia.
Mencermati implikasi
politik yang luar biasa dari kegagalan Bulog, ada baiknya merunut persoalan
tata niaga yang diamanatkan oleh Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tertanggal
17 Maret 2015 tentang Perberasan.
Krisis akademis inpres perberasan
Sudah belasan tahun
inpres perberasan selalu menimbulkan persoalan, dan selalu diawali dengan tak
mampunya Bulog melakukan pengadaan dalam negeri, meski prognosa dibuat
sendiri. Alasannya sederhana. Harga pasar lebih tinggi dari harga pembelian
pemerintah (HPP), sebagaimana diamanatkan inpres-inpres perberasan selama
ini.
Inpres perberasan
memang selalu problematik, mulai dari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono,
yakni Inpres No 13/2005, Inpres No 3/2007, Inpres No 1/2008, Inpres No 8
/2008, Inpres No 7/2009, dan Inpres No 3/2012, sampai pemerintahan Jokowi
dengan Inpres No 5/2015. Sekurangnya, dalam diri inpres-inpres tersebut bisa
diketemukan adanya dua kesalahan fatal: (1) ketidakrasionalan lapangan, dan
(2) kesalahan akademik.
Pertama, dalam
keseluruhan inpres perberasan, nyata sekali cacat operasionalnya berupa
rendahnya HPP dibandingkan harga lapangan pada umumnya. Akibatnya, Bulog
mengharamkan dirinya untuk melakukan pembelian secara masif karena berpotensi
mengingkari inpres. Cadangan pun tidak tercapai. Bedanya, zaman SBY mudah
ditambal dengan importasi, sementara di era Jokowi dibatasi janji Jokowi
untuk tidak mengimpor dan kedaulatan pangan.
Kedua, krisis akademik
dalam proporsi harga gabah kering panen (GKP), gabah kering giling (GKG), dan
beras. Untuk Inpres terakhir, Inpres No 5/2015, proporsi harga antara beras
(Rp 7.300/kg) dan GKP (Rp 7.300/kg), dengan dengan biaya penggilingan Rp
300-Rp 500/kg, secara teknis hanya bisa terwujud ketika rendemen
penggilingannya 66-67 persen. Menjadi krisis akademik karena angka rendemen
ini tidak pernah ada, di laboratorium sekalipun.
Tidak bakal efektifnya
HPP maupun proporsinya, telah dimanfaatkan siapapun pelaku perberasan untuk
melakukan pembelian dengan keyakinan bahwa harga beras nantinya pasti
melangit selepas panen raya. Naif sekali kalau kemudian pelaku ini disebut
mafia.
Jalan keluar
Dengan tekad Jokowi
yang anti impor beras, maka jalan satu-satunya adalah menyegerakan efektifnya
pengadaan dan perbesaran cadangan, jika tidak ingin instabilitas bertubi-tubi
datang. Dalam kaitannya dengan kepentingan ini, hanya ada tiga cara yang bisa
dilakukan.
Pertama, harus bisa
disegerakan revisi Inpres No 5/2015 dengan angka-angka yang memenuhi
rasionalitas lapangan dan akademik. Tanpa revisi ini, seharusnya inpres yang
baru terbit tersebut harus dibatalkan demi hukum karena sama sekali tidak
pantas menjadi rujukan.
Kedua, dalam keadaan
mendesak seharusnya Bulog bisa melakukan pembelian di luar skema Inpres No
5/2015 mengingat fungsinya sebagai BUMN yang bisa bekerja komersial. Kalau
pengusaha dan penggilingan beras bisa melakukan pembelian beras dan gabah
jauh di atas HPP dalam skala komersialnya, tentunya Bulog harus lebih mampu.
Ketiga, dalam kondisi
mendesak, Bulog bisa diperintah presiden untuk melakukan pengadaan meski
menyimpang dari Inpres No 5/2015. Hal ini pernah dilakukan SBY dengan
menerbitkan Inpres No 8/2011 yang mengamatkan: ”Dalam hal harga pasar
gabah/beras lebih tinggi dari HPP, pembelian gabah/beras dapat dilakukan oleh
Perum Bulog pada harga yang lebih tinggi dari HPP dengan memperhatikan harga
pasar yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik”.
Tidak ada yang sulit
demi menjaga stabilitas harga beras yang senantiasa diperlukan bangsa ini
untuk melindungi konsumen, mengamankan petani produsen, menjaga inflasi, dan
sekaligus menjamin stabilitas sistem perekonomian nasional Indonesia. Tanpa
melakukan terobosan stabilitas seperti ini, niscaya telinga bangsa ini
semakin dijejali kata ”mafia-mafia”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar