Jokowi
di Antara Dua Arus Sejarah
Abdul Malik Gismar ; Associate Director Paramadina Graduate
School
|
JAWA POS, 05 Mei 2015
APA yang membedakan
bangsa yang berhasil dari yang gagal dalam membangun dan menyejahterakan
diri? Daron Acemoglu dan James A. Robinson menjawab pertanyaan besar itu
melalui studi komparatif-historis mengenai bangsa-bangsa di dunia. Dalam buku
Why Nations Fail, mereka mengurai
jawabannya, yang intinya adalah institusi, institusi, institusi –suatu bangsa
berhasil atau gagal bukan karena letak geografis ataupun budayanya, melainkan
institusi politik dan ekonomi yang mereka bangun.
Bangsa-bangsa yang
berhasil ditandai oleh adanya institusi politik yang inklusif; yang
mendistribusikan kekuasaan secara luas (tidak pada segelintir elite atau
oligarki) dan membatasi kemungkinan kekuasaan tersebut digunakan secara
semena-mena. Mereka berhasil membangun rule
of law yang sesungguhnya, bukan sekadar rule by law –di mana hukum bisa diinterpretasikan dan digunakan
semaunya oleh pemegang kuasa.
Bermula dari institusi
politik yang inklusif, muncul virtuous circle yang mengantar suatu bangsa
menuju kesejahteraan. Institusi politik yang inklusif mendukung tumbuhnya
institusi ekonomi yang inklusif pula –di mana kesempatan berusaha terbuka
lebar dan talenta-talenta bangsa dapat berkembang optimal. Hal itu membawa ke
distribusi pendapatan yang lebih merata, memberdayakan segmen populasi yang
semakin luas, dan –oleh karenanya– membuat arena kontestasi politik semakin
rata.
Sebaliknya,
bangsa-bangsa yang terpuruk dan gagal didominasi oleh institusi politik
ekstraktif yang mendistribusikan kekuasaan politik hanya di tangan segelintir
elite dan tak membatasi penggunaan kekuasaan tersebut secara berarti. Dari
sinilah, bermula vicious circle yang meluluhlantakkan bangsa-bangsa tersebut.
Segelintir elite politik mendiktekan bangunan institusi ekonomi yang
ekstraktif tanpa menemui banyak tentangan. Pada gilirannya, institusi ekonomi
yang ekstraktif memperkaya elite tersebut. Juga, dengan kekuatan ekonomi itu,
mereka semakin mengonsolidasikan dominasi politik. Di tengah lingkaran setan
itu, kepentingan rakyat menjadi korban dan bangsa pun terpuruk.
Dua Arus Sejarah
Bagaimana Indonesia
kini? Reformasi 1998 melahirkan semangat etis untuk membangun institusi
politik yang inklusif, akuntabel, dan efektif. Namun, praktik dan kebiasaan
Orde Baru yang ekstraktif dan tidak akuntabel masih tersisa. Sampai hari ini,
Indonesia berada dalam benturan antara semangat etis untuk membangun
institusi inklusif versus upaya mempertahankan institusi ekstraktif. Dua
kekuatan yang berlawanan itu hadir di semua cabang kekuasaan negara, partai
politik, serta pusat-pusat konsentrasi kekuasaan lainnya. Realitas sosial,
politik, legal, dan tata pemerintahan Indonesia hari ini merupakan produk
dari benturan dua kekuatan itu di seluruh lini institusi demokrasi. Itulah
dua arus sejarah yang sedang berbenturan untuk menentukan ke mana Indonesia
akan menuju: sebagai bangsa yang berhasil atau bangsa yang terpuruk.
Maka, kita saksikanlah
kontradiksi-kontradiksi antara legislasi dan kebijakan politik, antara
kebijakan politik dan implementasinya, antara satu institusi dan institusi
lain, antara interpretasi hukum yang satu dan yang lain, antara presiden dan
partai pendukungnya, juga seterusnya. Perseteruan antara KPK dan Polri
hanyalah salah satu rangkaian dari benturan arus besar. ”Mafia” di berbagai
sektor ekonomi, karut-marut perencanaan pembangunan daerah, dan fenomena
shadow state (pembuatan kebijakan oleh kubu oligarki di luar koridor-koridor
resmi negara) adalah indikasi lain dari betapa ekonomi dibangun di atas dasar
politik yang ekstraktif.
Dalam kehidupan
sehari-hari, akibat dari persoalan institusional tersebut sangat nyata,
sebagaimana terindikasi dari fakta-fakta berikut. Bank Dunia menempatkan
Indonesia pada urutan ke-16 dunia dalam besaran ekonomi, namun pendapatan per
kapita berada pada peringkat ke-106. Rilis-rilis Badan Pusat Statistik (BPS)
mengingatkan bahwa persoalan ketidakmerataan semakin serius. Indeks koefisien
Gini (yang mengukur tingkat kesenjangan pendapatan) pada 2013 adalah 0,41
(tertinggi sejak krisis ekonomi 1998). Di Indonesia, masih banyak orang
miskin, namun laju pengurangan kemiskinan sejak 2010 melambat. Sebanyak 40
persen penduduk Indonesia rentan terhadap kejutan-kejutan ekonomi yang setiap
saat dapat menjerumuskan mereka ke dalam kemiskinan. Talenta-talenta bangsa
juga masih berguguran dan, secara harfiah, berserakan di jalan. Sebab, di
tingkat pendidikan menengah sistem pendidikan nasional, kita masih menjadi
pabrik putus sekolah yang sangat produktif. Fakta-fakta itu jelas bukan
indikasi dari bangsa yang sedang menyongsong keberhasilan.
Posisi Presiden Jokowi
Bukan kebetulan bahwa
benturan dua arus itu muncul di permukaan secara sangat terbuka segera
setelah Joko Widodo (Jokowi) menjadi presiden. Jokowi lahir dari semangat
etis reformasi. Bahkan, lebih dari itu, bagi banyak orang, dia adalah
personifikasi dari semangat tersebut. Karena itu, pendukung Jokowi bukan
pendukung partisan, melainkan pendukung berprinsip (principled voters) yang
memilihnya karena pertimbangan etis dan percaya bahwa Jokowi dapat
merealisasikan institusi yang inklusif, akuntabel, serta efektif. Selain
bukan ”orang dalam” partai, karir pemerintahan Jokowi menunjukkan bahwa
dirinya seorang reformis.
Hal-hal tersebut
membuat Jokowi secara diametral berhadap-hadapan dengan arus counter-reform
di relung-relung kekuasaan yang mengelilinginya. Dalam berbagai kontradiksi
institusional yang berkembang, sesungguhnya tidak ada posisi netral bagi
Presiden Jokowi. Sebab, persoalannya bukan sekadar prosedur, komunikasi,
koordinasi, atau sinergi antarinstitusi trias politika, melainkan
pertentangan fundamental antara dua arus; antara reform dan counter-reform.
Di mata rakyat yang memilihnya, Presiden Jokowi seyogianya berada di posisi
terdepan barisan reformis dalam membangun institusi yang inklusif, akuntabel,
dan efektif. Itulah alasan keberadaannya (raison
d’etre) sebagai presiden Republik Indonesia; dan inilah harapan rakyat
hari ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar