Perburuan
Rente BPJS Naker
Juliaman W Saragih ; SaragihKetua/Pendiri
Nation and Character Building Institute (NCBI); Pemerhati Masalah Sosial
Ketenagakerjaan
|
KOMPAS, 06 Mei 2015
Di tengah hiruk-pikuk
politik kekuasaan, penggambaran intensif media terkait hak-hak istimewa dan
tanggung jawab konstitusional Badan Hukum Publik BPJS Ketenagakerjaan
(Naker), hasil transformasi PT Jamsostek (Persero), menarik dikaji lebih
spesifik.
Pertama, bandingkan
langsung Jaminan Pensiun (JP) berdasar UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (UU SJSN) dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsos TK)
berdasar UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri (PPTKI). Faktanya, secara progresif BPJS
Naker-didukung penuh Menaker M Hanif Dhakiri-mempertunjukkan sumber daya
politik konstitusionalnya dengan menetapkan sepihak iuran JP (8 persen dari
total gaji bersih diterima/take home pay) untuk pekerja formal, efektif 1
Juli 2015. Anehnya, manfaat pensiun diterima setelah karyawan-peserta
memenuhi syarat wajib masa iur 15 tahun.
Penjelasan Pasal 42
Ayat 2 UU SJSN menyatakan, ketentuan 15 tahun diperlukan agar ada kecukupan
dan akumulasi dana untuk memberi jaminan pensiun sampai jangka waktu yang
ditetapkan UU. Makna penjelas lain, manfaat jaminan pensiun diterima peserta
pada ulang tahun program ke-16. Mengutip Direktur Utama BPJS Naker Elvyn G
Masassya, "Apabila ada pekerja yang akan pensiun dalam waktu dekat, tak
akan bisa memperoleh manfaat program JP jika belum masuk sebagai peserta.
Meski sudah jadi peserta pada saat program JP berjalan, hak pensiun pekerja
akan diberikan setelah memberikan iuran selama 15 tahun".
Apa benar dugaan
selama ini, syarat wajib masa iur 15 tahun-aturan penjelasan Pasal 41 Ayat 5
UU SJSN menyatakan karena belum memenuhi syarat masa iur, iuran jaminan
pensiun diberlakukan sebagai tabungan wajib-adalah kompensasi atau alat tukar
politik akibat hilangnya jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) Jamsostek?
Apakah syarat pemblokiran iuran sangat dibutuhkan BPJS Naker demi kecukupan
pembiayaan program dan operasional sehingga dihalalkan menabrak aturan baku
sistem pengelolaan program, bahkan menutup mata atas duplikasi manfaat
program jaminan hari tua (Pasal 35-38 UU SJSN). Normatifnya, manfaat pensiun adalah
pembayaran berkala selama seumur hidup terhitung sejak setoran iuran pertama.
Pembuktian lain, tak ada pembayaran manfaat pensiun berkala selama 15 tahun
sehingga penetapan iuran 8 persen dari take home pay dinilai sangat
berlebihan dan tak rasional.
Lalu, bukankah
perilaku program di atas dapat dipandang sebagai kegiatan ekonomi perburuan
rente yang dikemas dalam program negara JP BPJS Naker? Konklusi sederhananya,
apa pun argumentasi pemerintah atau operator BPJS Naker, inilah risiko
pemusatan kekuasaan penyelenggaraan dan pengelolaan program jaminan sosial
tenaga kerja, yang menempatkan karyawan-peserta dalam posisi tidak berdaya
dan tersingkirkan.
Gagal melaksanakan amanat
Potret buram lain,
BPJS Naker dinilai gagal melaksanakan amanat konstitusi untuk kesejahteraan
sosial-ekonomi buruh migran. Terhadap JP terlihat BPJS Naker sangat ofensif,
tetapi sangat tak peduli perlindungan jaminan sosial jutaan buruh migran.
Bahkan ada dugaan kuat BPJS Naker sengaja mendelegasikan hak dan tanggung
jawab konstitusionalnya dikelola tiga konsorsium asuransi (Jasindo, Astindo,
dan Mitra TKI), beroperasi menggantikan konsorsium asuransi proteksi TKI, per
1 Agustus 2013. Menurut catatan BNP2TKI dan Asosiasi Pengusaha Jasa Tenaga
Kerja Indonesia (Apjati), ada 80 TKI meninggal yang belum dicairkan klaimnya
oleh konsorsium asuransi proteksi TKI (Kepmenakertrans No KEP.209/
MEN/IX/2010) hingga saat ini.
Saat ini jaminan
perlindungan dasar TKI hanya mencakup asuransi jiwa (jaminan kematian) dan
asuransi kerugian. Bukankah TKI adalah warga negara Indonesia yang memenuhi
syarat bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu
tertentu dengan menerima upah. Di mana pemerintah cq Menaker dan BPJS
Ketenagakerjaan? Perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi
kepentingan TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai
peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja.
Saat ini tak jelas apakah jutaan TKI yang bekerja di luar negeri ikut jaminan
sosial tenaga kerja atau tidak, baik sewaktu kerja maupun setelah kembali.
Kedua, ketentuan umum
UU SJSN, Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang
layak. Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling
singkat enam bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran. Program jaminan
kecelakaan kerja (JKK), jaminan hari tua (JHT), jaminan kematian (JK), dan
menyusul jaminan pensiun (JP) adalah program wajib negara. BPJS Naker
pemegang tunggal amanat konstitusi (UUD 1945, Bab X-A, Hak Asasi Manusia,
Pasal 28-A; Pasal 28-D, Ayat 2; Pasal 28-H, Ayat 3 dan BAB II, Asas, Tujuan
dan Prinsip Penyelenggaraan, Pasal 2 UU SJSN). Artinya, BPJS Naker wajib
merancang skema perlindungan sosial-ekonomi bagi seluruh rakyat.
Sejatinya, BPJS Naker
tak hanya progresif untuk pekerja formal (penerima upah) dan pekerja asing
tapi mengabaikan bahkan menutup ruang partisipasi buruh migran (TKI) dan
pekerja mandiri atau informal. Ekstremnya, pekerja asing kita urusi, tetapi
TKI dan pekerja mandiri atau informal tidak. Sangat mengenaskan! Mengutip
Elvyn, "Pekerja informal dan profesi bisa mengikuti program jaminan
pensiun, namun BPJS Ketenagakerjaan pada tahap awal fokus membidik pekerja
swasta. Untuk besaran iuran, dalam usulan awal rencananya dikenai 8-12 persen
dari take home pay setiap bulan". Meski begitu, ia mempersilakan jika
ada yang ingin mengajukan program JP secara informal atau voluntary. Namun,
pengajuan harus sesuai ketentuan, setelah 2016.
Sebaliknya, Kepala
Badan Penelitian, Pengembangan, dan Informasi Kemenaker Sugianto Sumas
menegaskan pekerja mandiri sebagai bagian dari pekerja informal, perlu
jaminan sosial ketenagakerjaan yang merupakan hak dan perlindungan mereka.
Dari 110,80 juta penduduk berstatus pekerja, 37.370.705 orang (33,73 persen)
pekerja mandiri. Saat ini, peserta bukan penerima upah yang terdaftar di BPJS
Naker 847.232 orang.
Urgensi 1 Juli 2015
Seturut uraian cacat
yuridis moral di atas, apa urgensi Menaker memaksakan realisasi program JP
per 1 Juli 2015, padahal berpotensi menimbulkan gerakan massa aksi dari
aliansi serikat buruh dan penolakan kelompok pengusaha, yang akhirnya
berujung ketidakstabilan politik dan pembangunan ekonomi Nawacita Jokowi-JK?
Jika target politik anggaran melalui mobilisasi dana JP ditujukan untuk
membiayai program 1 juta rumah rakyat, apa tak lebih bijak pemerintah cq
Menaker mengintensifkan perluasan kepesertaan JHT melalui akuntabilitas
penegakan hukum dan transparansi pelaporan gaji perusahaan? Termasuk
membatalkan keterlibatan konsorsium asuransi melalui amandemen Pasal 26 Ayat
2 Huruf e dan Pasal 68 Ayat 1 UU PPTKI.
Dalam waktu tersisa,
harus dilakukan langkah untuk menjamin bahwa proses berkaitan dengan
peraturan pemerintah JP BPJS Naker tak hanya benar secara administratif,
tetapi juga memenuhi persyaratan bahwa keadilan program ditegakkan. Semoga
birokrasi kekuasaan dan elite politik tak mengulang kesalahan sama,
terkoreksi menuju jalur yang benar mengantarkan rakyat dan bangsa Indonesia
berdaulat, mandiri, berkepribadian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar