Mati
yang Tertunda
Putu Setia ; Pengarang, Wartawan Senior Tempo
|
KORAN TEMPO, 04 Mei 2015
Ada rasa syukur ketika
Presiden Jokowi mengambil keputusan untuk menunda eksekusi mati wanita
Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso, hanya beberapa jam sebelum pasukan Brimob
menembaknya di Nusakambangan. Telah diketahui, tekanan yang diterima Jokowi
bertubi-tubi menjelang eksekusi mati gelombang kedua ini. Tapi ia tak gentar.
Ini patut dibanggakan bahwa kedaulatan negara tak bisa diintervensi oleh tekanan,
bahkan ancaman. Proses hukum yang berliku telah ditempuh oleh terpidana mati
itu dan hasil akhirnya adalah dor.
Tapi tidak untuk Mary
Jane. Tekanan itu bukan pada nyala lilin yang dibawa demonstran di depan
Istana, bukan pula "pengakuan baru" terpidana dan pengacaranya yang
menyebutkan berbagai kejanggalan dalam proses persidangan. Ada seseorang yang
mengaku bernama Maria Kristina Sergio, yang menyerahkan diri di kepolisian
Filipina. Maria inilah yang merekrut Mary Jane dan merekayasa agar wanita
yang menjadi buruh migran itu terbang ke Yogyakarta dengan tas yang sudah ada
narkoba.
Apakah ini sekadar
alibi untuk menunda eksekusi? Kemungkinan itu bisa terjadi. Semua terpidana
mati berjuang mati-matian untuk menunda eksekusi. Mereka bahkan melakukan
langkah hukum yang sesungguhnya sudah tertutup, seperti pengajuan PK
(peninjauan kembali) untuk kedua kalinya, menggugat ke PTUN, maupun meminta
grasi ulang ke presiden. Dalam kasus Mary Jane, ada sesuatu yang harus
dibuktikan kembali, apakah dia pelaku atau teperdaya. Yakni, dengan mengusut
Maria Kristina. Untuk itulah Mary Jane perlu "ditunda kematiannya".
Inilah risiko hukuman
mati. Hukuman yang berkaitan dengan nyawa seseorang yang tak bisa
dikembalikan lagi seandainya kelak ada penerapan hukum yang salah. Vonis yang
tak bisa dikoreksi betapa pun fatalnya kesalahan itu. Mati yang diyakini hak
prerogatif Tuhan diambil alih kewenangannya oleh manusia, yang bisa saja
berbuat salah. Maka atas nama kemanusiaan dan atas nama manusia yang tak
selalu benar, banyak negara yang menghapuskan hukuman mati dari hukum positif
negaranya. Misalnya, Prancis, Swedia, Australia, juga Belanda, di mana hukum
kita banyak berkiblat.
Di negeri kita
tercinta, pro-kontra hukuman mati tak pernah selesai. Mungkin karena kita
terbiasa melihat orang mati: orang tergeletak di jalanan dan penabraknya bisa
saja bebas bersyarat kalau ayahnya berpangkat. Mati massal tertimbun tanah
longsor atau pesawat terbang nyungsep di laut. Namun tidak kah bisa kita
renungkan bahwa mati seperti itu berbeda dengan mati yang direncanakan, mati
yang didahului oleh jumpa pers sejumlah pejabat yang ingin dapat panggung,
mati setelah berpeluk-pelukan antar-kerabat, mati yang waktunya bisa dihitung
detik per detik. Untuk apa nyawa yang dihilangkan dengan perencanaan dan
kehirukpikukan itu? Membalas sebuah kejahatan atau untuk mencegah kejahatan
serupa?
Jokowi menyebut ada 33
orang mati karena narkoba setiap hari, ada penderitaan di panti rehabilitasi.
Badan Narkotika Nasional menyebutkan bahwa 75 persen peredaran narkoba
dikendalikan dari penjara. Intinya adalah eksekusi ini untuk memberi efek
jera, bayangkan sudah dipenjara saja mereka tak jera. Pernyataan yang bagus.
Akan lebih bagus lagi kalau darurat narkoba ini disertai tindakan lain,
misalnya, memecat sipir penjara dan menghukum berat yang melindungi peredaran
narkoba itu, tanpa pilih kasih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar