Peningkatan
Kualitas Demokrasi Lokal
Masykurudin Hafidz ; Koordinator Nasional
Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)
|
KORAN TEMPO, 11 Mei 2015
Sepuluh tahun sudah
kita menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada). Saatnya seleksi
kepemimpinan tingkat lokal ditingkatkan menjadi lebih substansial.
Sejak 2005, proses
seleksi kepemimpinan di tingkat daerah terus mengalami kemajuan dengan segala
tantangannya. Penyelenggaraan pilkada relatif berjalan damai dan memberikan
kesempatan memilih kepala daerah secara langsung, meskipun masih menyisakan
persoalan yang memerlukan perbaikan di berbagai segi.
Jaminan "hak
pilih" masih terhambat seiring dengan kualitas data kependudukan yang
kurang valid dan mutakhir; proses seleksi pasangan calon masih berputar-putar
di kalangan elite partai tingkat pusat; penggunaan isu suku, agama, ras dan
antargolongan (SARA) dalam kampanye dengan kepentingan jangka pendek; serta
pelayanan petugas yang kurang nyaman pada pemilih saat pemungutan suara hingga
proses rekapitulasi yang sering kali memunculkan gugatan (JPPR, 2014).
Tantangan utama proses
penyelenggaraan pilkada selama ini adalah minimnya ruang komunikasi antara
partai politik dan masyarakat, terutama dalam merumuskan dan menentukan calon
pemimpin daerah. Ketentuan pendaftaran pasangan calon dalam pilkada yang
memerlukan surat rekomendasi dari pengurus partai politik tingkat pusat juga
memperlebar aspek elitisme ini.
Menghadapi pilkada
serentak 2015, upaya mewujudkan penyelenggaraan seleksi kepala daerah
berlangsung lebih demokratis menjadi harapan bersama. Keberhasilan mengusung
pilkada supaya tetap dilaksanakan secara langsung juga perlu disertai
tanggung jawab untuk memastikannya berjalan semakin berkualitas.
Sejatinya, pemilik
inti demokrasi negeri ini adalah masyarakat. Makna mendalam "dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat" dalam demokrasi berarti
menempatkan pemilih sebagai pihak utama pada proses penyelenggaraan
pemerintah daerah. Pilkada seharusnya menjadi pintu masuk dalam menjaga
kedaulatan pemilih dan mengawal akuntabilitas kebijakan daerah.
Dengan perspektif ini,
basis penyelenggaraan seleksi kepemimpinan daerah diubah dari yang bersifat
elitis menjadi populis. Kehendak-kehendak individual masyarakat harus menjadi
wadah aspirasi yang dipertimbangkan oleh partai politik sebagai kehendak
bersama. Sehingga, apa yang selama ini beredar dalam perbincangan warga,
seharusnya menjadi titik pijak dalam mengusahakan proses demokratisasi yang
populis.
Forum-forum
perbincangan warga yang ringan, lahiriah, dan berlangsung alami ini merupakan
suara-suara yang bebas tanpa dominasi. Apa pun latar belakangnya, setiap
warga dapat secara mandiri, bebas, dan setara menyampaikan pendapat dan
keinginannya. Inilah sesungguhnya modal besar untuk mengawali pelaksanaan
pilkada sebagai wujud legitimasi rakyat yang sebenarnya. Komunikasi terbuka
dalam forum warga seharusnya menjadi sarana untuk mendiskusikan persoalan
daerah bersama para calon pemimpinnya.
Dalam konteks
pelaksanaan pilkada, penyelenggara pemilu dan partai politik haruslah menjadi
fasilitator dalam melayani warga untuk menentukan siapa yang dipilih menjadi
petugas rakyat yang menjadi kehendak bersama.
Bagi KPU, suara publik
ini menjadi bahan materi untuk membuat kebijakan dan menjaga pemilih agar
semakin cerdas dan rasional. Di samping itu, penyusunan metode bagaimana
strategi menyampaikan materi sosialisasi pilkada dapat dinikmati sepanjang
tahapan berlangsung.
Dan bagi partai
politik, aspirasi forum-forum warga di wilayah publik ini tidak hanya penting
dalam penyusunan visi, misi, dan program sebagai syarat pencalonan, tapi juga
berkaitan dengan aspek elektabilitas pasangan calon itu sendiri. Semakin
partai politik memperhatikan kehendak publik secara intensif dalam menyusun
visi, misi, dan program, maka semakin tinggi elektabilitas calonnya untuk
terpilih.
Sudah saatnya
menjadikan pilkada serentak 2015 sebagai bagian dari perbincangan publik yang
bebas dari dominasi. Setiap warga dapat mempertimbangkan dan mendiskusikan
persoalan bersama di tingkat lokal secara mudah dalam lingkungan yang
demokratis.
Deliberasi pilkada
akan nyata apabila KPU menjadikan perbincangan publik sebagai salah satu
dasar dalam menyusun tema dan strategi pendidikan pemilih. Di sisi lain,
partai politik membuka ruang yang luas terhadap aspirasi publik terkait
dengan dukungan dalam proses pencalonan kepala daerah, sekaligus membuka
ruang interaksi seintensif mungkin dengan masyarakat.
Kebutuhan asupan
pemilih supaya cerdas dan rasional searah dengan strategi yang dikembangkan
oleh KPU dan partai politik. Strategi ini membantu warga bertanggung jawab
terhadap pilihannya dan secara kritis melakukan koreksi terhadap calon
terpilih nantinya.
Pada akhirnya,
meningkatkan kualitas demokrasi lokal dengan menjadikan pilkada serentak
sebagai perbincangan di forum-forum publik secara deliberatif (secara
konsultasi ke publik) menjadi tanggung jawab bersama. Tujuan penyelenggaraan
pilkada serentak mendatang adalah "demokratis prosesnya, berkualitas
hasilnya". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar