Menjadi
Penonton Jokowi
Tumbo Tinarbuko ; Pemerhati Budaya Visual;
Dosen Komunikasi Visual ISI Yogyakarta
|
KOMPAS, 25 Mei 2015
Melihat
Jokowi yang terpilih menjadi Presiden RI, bagaikan melihat tontonan
pertandingan sepak bola Piala Dunia. Pertandingan tersebut melibatkan negara
peserta dan klub sepak bola terkenal.
Selain
itu, aspek keterlibatan penonton. Mereka
terkadang suka menaikkan kasta dirinya menjadi komentator atau
pengamat laga sepak bola. Realitas
sosialnya: keberadaan mereka lebih heboh dibandingkan dengan permainan para
pesepak bola profesional di lapangan hijau.
Keseriusan
penonton menjadi hal sangat serius. Kenapa? Karena mereka menganggap dirinya
lebih paham a-z dunia persepakbolaan. Bahkan, mereka mampu meramalkan gol yang
akan tercipta, meski laga belum berlangsung.
Di sudut
lainnya, para penonton menjadi sangat agresif saat menorehkan pengamatan dan
komentar di media sosial. Mereka seakan menjadi pemain profesional yang
berlaga di lapangan hijau. Mereka mencemooh gaya permainan salah satu pesepak
bola yang hasilnya tidak selaras
dengan harapan.
Sumpah
seranah berwujud kata-kata kasar sering keluar dari mulut mereka saat
tendangan pemain idolanya melenceng atau membentur tiang gawang. Kekecewaan
tersebut diekspresikan dengan berteriak sambil memaki manakala umpan bola
yang semestinya dapat bersarang dengan mulus di dalam gawang dapat digagalkan
pemain lawan.
Harapan penonton
Pada
konteks ini, penonton yang menonton laga sepak bola Piala Dunia, sama
sebangun dengan penonton yang sedang
menonton kinerja Presiden Jokowi, beserta rombongan para menteri pembantu
presiden.
Sebagai
penonton yang hidup di era budaya layar,
mereka menginginkan aspirasi dan keinginannya dapat terwujud sempurna.
Kenyataannya jauh panggang dari api. Artinya, berdasarkan realitas
sosial, program kerja Kabinet Kerja
yang digawangi para menteri kurang berkenan di hati penonton Presiden Jokowi.
Mereka
menginginkan Jokowi menjadi tokoh superhero yang dalam waktu
sesingkat-singkatnya mengejawantahkan keinginan para penonton itu. Mereka
menjadi tidak sabar melihat gerak langkah pemerintahan Jokowi yang terkesan
lambat. Mereka mengibaratkan stamina kerja Kabinet Kerja di bawah komando
Presiden Jokowi bagaikan batu baterai
kekurangan setrum. Padahal, dukungan setrum dari para penonton (baca:
dukungan rakyat) sudah tidak diragukan lagi.
Di sisi
lainnya, para penonton Jokowi berharap Presiden Jokowi menjamin ketersediaan
bahan kebutuhan pokok dengan harga
stabil dan terjangkau. Mereka mengharapkan fasilitas kesehatan bagi
rakyat miskin benar-benar diselenggarakan, bukan sekadar diwacanakan dalam
bentuk seremonial kenegaraan.
Mereka
mengharapkan fakir miskin dan anak telantar benar-benar ditanggung oleh
negara, bukan malah ditelantarkan oleh negara. Mereka mengharapkan Jokowi
menyediakan lapangan pekerjaan guna memupus penganggur masyarakat terdidik
yang jumlahnya membengkak. Mereka juga mengharapkan Jokowi menjamin serta
mewujudkan keamanan dan pengamanan di seluruh wilayah Indonesia, sehingga
para penonton Jokowi dapat bekerja dan beraktivitas di ruang publik dengan
tenteram, nyaman, dan aman.
Para
penonton Jokowi menginginkan pemerintah, pejabat publik, dan anggota Dewan
tidak menunjukkan sifat dan sikap adigang, adigung, dan adiguna. Pertunjukan
kekerasan sosial semacam itu berujung
pada pamer kekuasaan di antara para pihak yang berseteru.
Dampak
sosialnya menyebabkan rakyat menjadi tidak tenang dalam beraktivitas. Dampak
politiknya, kondisi suhu perpolitikan di Indonesia menjadi panas tidak
menentu.
Kenapa
belakangan ini penonton Jokowi menjadi semakin kritis? Juga ceriwis dan mudah
marah? Cepat tersinggung, nyinyir, dan galak saat menuliskan statusnya di
akun media sosial? Malah terkesan tidak sabar menanti hasil kerja Kabinet
Kerja Jokowi?
Pelayan masyarakat
Hal itu
terjadi karena rakyat yang sebagian besar adalah penonton Jokowi mempunyai
harapan besar pada sosok Jokowi. Mereka yang galak, kritis, ceriwis, dan
antagonis itu menginginkan Jokowi memberikan angin segar yang membawa
pengharapan bugar. Mereka ingin agar hidup dan kehidupan rakyat Indonesia
menjadi jauh lebih baik daripada sebelumnya. Mereka pun ingin harga sandang,
pangan, dan papan murah. Biaya kesehatan dan pendidikan terjangkau. Mudah
mencari makan dan pekerjaan. Keamanan pun terjamin.
Atas
pengharapan penonton Jokowi itulah sudah saatnya pemerintah dan segenap
pejabat publik mendekonstruksi dirinya menjadi pelayan masyarakat.
Bermetamorfosis menjadi sosok pemerintah dan pejabat publik yang amanah.
Mengedepankan ideologi pelayanan masyarakat lewat cara melayani rakyatnya
dengan merealisasikan realitas sosial bukan realitas media, apalagi realitas
politik.
Sebagai
pelayanan masyarakat sudah saatnya mengedepankan asas komunikasi cinta. Hal
itu perlu dilakukan demi menjamin tersampaikannya pesan pemerintah kepada
rakyat secara egaliter. Pesan pemerintah dikemas dalam sebuah proses
komunikasi cinta yang sejuk dan tidak memunculkan miskomunikasi di antara
kedua belah pihak.
Bagi
rakyat, ketika pemerintah mengedepankan realitas sosial, hal itu jauh
memenuhi hak rakyat atas harkat dan martabatnya. Sebaliknya, ketika
pemerintah dalam setiap derap langkahnya lebih mengutamakan realitas politik,
pemerintah berikut jajarannya memang tidak meniatkan diri menjadi pelayanan
masyarakat yang mengutamakan kesejahteraan dan perlindungan jiwa raga bagi
rakyatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar