Menghadapi
Beban Utang Multigenerasi
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 25 Mei 2015
Persaingan
antara Tiongkok dan Jepang sebagai kekuatan keuangan Asia setidaknya memiliki
tujuan yang sama. Kedua kekuatan ekonomi dunia asal Asia ini sama-sama
berambisi memperluas jangkauan kebijakan luar negeri dalam menghadapi
perubahan drastis geopolitik dunia yang bertumpu pada kawasan Asia Pasifik.
Dunia
sekarang menghadapi perubahan konstelasi perimbangan kekuatan ekonomi,
perdagangan, keuangan, sosial, budaya, dan militer tidak hanya antarnegara
Asia Tiongkok-Jepang-India, tetapi juga kekuatan luar kawasan, seperti AS,
Jerman, Inggris, dan Brasil.
Ketika
PM Jepang Shinzo Abe mengumumkan menambah anggaran 110 miliar dollar AS melalui
Bank Pembangunan Asia (ADB) bagi investasi infrastruktur berkualitas di Asia,
konstelasi perimbangan kekuatan mengarah pada persaingan lingkup pengaruh
negara-negara besar. Berbagai ambisi investasi digelar bersamaan peningkatan
anggaran biaya militer masing- masing kekuatan negara Asia dari Jepang,
Tiongkok, Asia Tenggara, Asia Selatan, sampai ke Timur Tengah.
Kita
sekarang berada di tengah proses pembentukan ulang lingkungan politik global
yang mengarah sangat kental pada konteks pembangunan ekonomi. Berbagai dana
investasi pembangunan, khususnya infrastruktur, menjadi tema penting pada
tingkat regionalisme dan multilateralisme.
Berbagai
negara, khususnya Asia, seperti Tiongkok dan Jepang, mengarahkan globalisasi
sebagai aktivitas konversi kapitalisme membentuk masyarakat baru keluar dari
naungan masyarakat kapitalis Amerika Utara dan Eropa. Tuntutan akan otonomi
dan penentuan nasib sendiri atas persoalan ekonomi, keuangan, dan perdagangan
tetap menjadi proliferasi bagi berbagai institusi global, dengan penekanan
tuntutan-tuntutan baru dalam mekanisme kerja sama pembangunan
berkesinambungan.
Bagi
Indonesia yang terdesak mengembangkan berbagai proyek infrastruktur, ada
beberapa pertimbangan yang perlu dilakukan. Pertama, tidak ada yang berubah
dalam struktur Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) bentukan Tiongkok
yang akan menguasai 30,85 persen saham kepemilikan sebagai entitas tunggal
mengalahkan kepemilikan saham AS dan Jepang di ADB (masing-masing 15,7 persen
dan 15,6 persen).
Pada
kenyataannya, AIIB tidak sesuai dengan apa yang diucapkan Presiden RRT Xi
Jinping di depan DPR pada Oktober 2013 tentang perlunya prinsip win-win
melalui kesetaraan dan saling menguntungkan. Ketika itu, Xi Jinping berbicara
dengan peribahasa Ji li dang ji tianxia li yang secara harfiah berarti
"berkaitan dengan keuntungan harus memperhitungkan keuntungan seluruh
dunia".
Kedua,
dalam jumlah hampir sama dana investasi bagi infrastruktur yang diajukan PM
Shinzo Abe, posisi kita lebih menguntungkan di ADB dibandingkan di AIIB.
Karena di AIIB, menurut Institut bagi Kebijakan Ekonomi Korea (KIEP), saham
Indonesia di AIIB hanya 3,99 persen, sedangkan di ADB saham Indonesia
tercatat 5,1 persen.
Tidak
disangkal, Asia memerlukan pinjaman atau hibah untuk proyek-proyek besar
sebagai cara mendukung pembangunan pembangkit listrik, sistem air, jaringan
komunikasi, kereta api, dan jalan raya. Komitmen Jepang yang berjalan paralel
dengan AIIB memberikan pilihan komparatif dalam menentukan mekanisme
multilateralisme yang ingin dikembangkan di masa mendatang.
Perbaikan
ekonomi melalui berbagai model investasi infrastruktur yang tersedia
memberikan keuntungan sangat signifikan bagi ratusan juta rakyat Asia.
Mentransformasikan pembangunan ekonomi ini akan menjadi model baru keluar
dari beban utang multigenerasi triliunan dollar AS. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar