Kewajiban
Kerja Sama BPJS-Rumah Sakit Swasta
M Luthfie Hakim ; Akademisi dan Praktisi Medikolegal
|
KOMPAS, 13 Mei 2015
Di Kompas online
baru-baru ini tersua berita bahwa Presiden Joko Widodo mengatakan akan
memaksa semua rumah sakit swasta bekerja sama dengan BPJS. Jika tidak, Jokowi
tak segan-segan memberikan sanksi kepada rumah sakit, seperti pencabutan izin
( http://health.kompas.com/read/2015/05).
Apakah langkah Presiden itu dapat dibenarkan secara hukum?
Pernyataan Presiden
itu tentu mengejutkan. Sepertinya Presiden kurang memperoleh informasi yang
benar tentang bagaimana kerja sama rumah sakit swasta dengan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Menurut Pasal 36 Ayat 3 Perpres Nomor 12
Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, yang merupakan salah satu aturan
pelaksana dari UU No 24/2011 tentang BPJS, fasilitas kesehatan milik swasta
yang memenuhi persyaratan dapat menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Dengan demikian, kerja sama rumah sakit swasta dengan BPJS bersifat
"dapat", bukan "wajib".
Pengertian
"dapat" tidak hanya memiliki implikasi hukum, tetapi jugs memiliki
implikasi terhadap kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Tidak
semua rumah sakit swasta, sekalipun berkeinginan bekerja sama dengan BPJS,
lalu pasti diterima keinginannya itu oleh BPJS karena BPJS perlu melakukan
verifikasi terlebih dahulu apakah rumah sakit swasta itu cukup memenuhi
syarat diajak kerja sama ataukah tidak.
Verifikasi terhadap
rumah sakit swasta dapat meliputi tipe fasilitas kesehatan yang dimilikinya
sebagai dasar penentuan tarif layanan, kelengkapan alat kesehatan yang
dimiliki, dan tenaga medis yang bekerja di fasilitas pelayanan swasta itu.
Dalam Ayat (5) dari
Pasal 36 Perpres itu bahkan disebutkan persyaratan itu akan diatur lebih
lanjut dengan peraturan menteri. Artinya, pemerintah sendirilah yang bersikap
hati-hati dan tidak mudah mau bekerja sama begitu saja dengan fasilitas
kesehatan swasta. Mengapa justru kini presiden bersikap hendak memaksa
fasilitas kesehatan swasta bekerja sama dengan BPJS?
Perlu pula
diperhatikan bahwa tanggung jawab ketersediaan fasilitas kesehatan dan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan untuk menyelenggarakan program jaminan
kesehatan ada pada pundak pemerintah dan pemerintah daerah, bukan pada
kalangan swasta.
Hal ini pun disebutkan
secara expressis verbis dalam Pasal 35 Ayat (1) perpres itu yang berbunyi,
"Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas ketersediaan
Fasilitas Kesehatan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan untuk pelaksanaan
program Jaminan Kesehatan". Upaya paksa kepada fasilitas kesehatan
swasta untuk bekerja sama dengan BPJS itu mengingkari beban tanggung jawab
pemerintah tersebut.
Ketiadaan beda tarif
Selain tidak merupakan
kewajiban, masalah utama keengganan rumah sakit swasta bekerja sama dengan
BPJS, menurut Ketua Umum Persatuan Rumah Sakit Swasta Indonesia Susi
Setiawaty, adalah ketiadaan perbedaan tarif antara rumah sakit swasta dan
rumah sakit milik pemerintah.
Menurut Susi
Setiawaty, seharusnya pemerintah memberlakukan perbedaan tarif bagi rumah
sakit swasta sehingga pihak swasta yang menjadi mitra BPJS Kesehatan tidak
terbebani dan tetap bisa mendapat untung.
"Kami keberatan dengan tidak adanya perbedaan tarif. Rumah
sakit pemerintah semua biaya dan gaji pegawai, kan, ditanggung negara. Kalau
swasta investasi alat kesehatan, gaji pekerja, itu kami tanggung sendiri,
tidak ada subsidi atau bantuan dari pihak lain," katanya seperti
dikutip Bisnis.com, Minggu (22/2/2015).
Dalam Seminar Nasional
Kajian Hukum dan Keadilan dalam BPJS di Yogyakarta pada 25 April 2015,
penulis berkesempatan tampil dalam satu sesi dengan Mantan Wakil Menteri Kesehatan
Ali Ghufron serta Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Bappenas
Nina Sardjunani. Di sana penulis menyampaikan presentasi tentang Perlindungan
Hukum Tenaga Medis dalam BPJS. Penulis mengemukakan bahwa kondisi umum
pelayanan kesehatan dalam BPJS Kesehatan adalah pasien yang dilayani (jauh)
bertambah banyak, sedangkan penghasilan tenaga medis lebih kecil dibandingkan
dengan yang didapat dalam pelayanan medis nir-BPJS.
Kualitas pelayanan
Tentulah kondisi ini
menjadi perhatian utama bagi pemilik fasilitas kesehatan swasta di mana
tenaga medis tersebut bekerja. Semua pekerjaan akan menghasilkan kelelahan
kerja, dan kelelahan kerja akan menurunkan kinerja serta menambah tingkat
kesalahan kerja (Nurmianto, 1996).
Keeratan hubungan
antara kelelahan kerja yang tinggi dan kinerja yang tidak baik sangat
signifikan, tetapi terhadap kelelahan kerja yang rendah mengalami hubungan
yang kurang berarti (Dian Kurniawati).
Situasi kerja serupa
ini dapat mendorong makin maraknya tuntutan masyarakat akibat ketidakpuasan
akan pelayanan kedokteran. Dengan demikian, pemaksaan rumah sakit swasta
untuk ikut kerja sama dengan BPJS berisiko menurunkan kualitas pelayanan
kesehatan dan mengancam profesionalitas tenaga medis dalam memberi pelayanan
kesehatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar