Evaluasi
Moratorium Hutan
Laode M Syarif ; Penasihat Senior di Kemitraan;
Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
|
KOMPAS, 13 Mei 2015
Hingga menjelang
berakhirnya masa berlaku Inpres No 6/2013 tentang Perpanjangan Penundaan
Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan
Gambut (Inpres Moratorium) 13 Mei 2015, belum ada tanda-tanda Presiden segera
memperpanjang inpres ini.
Jika Presiden Jokowi
tak segera memperpanjang inpres ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK), gubernur, serta bupati dapat menerbitkan izin pembukaan lahan dan
alih fungsi hutan primer dan lahan gambut baru karena tidak ada lagi larangan
bagi mereka untuk mengeluarkan izin sebagaimana termuat dalam Inpres
Moratorium. Oleh karena itu, sangat berbahaya bagi keselamatan hutan primer
dan lahan gambut jika Presiden terlambat memperpanjang inpres yang
dikeluarkan Presiden SBY ini.
Ketakutan ini cukup
beralasan karena Kepala Staf Kepresidenan baru saja mengeluarkan pernyataan
yang mengagetkan banyak pihak dengan mengatakan bahwa "kalau ada
kementerian yang tidak jelas menolak industri kelapa sawit, kita buldoser
saja," ( http://www.infosawit.com). Jika pernyataan tersebut benar
adanya, sangat sukar untuk mengharapkan keselamatan hutan primer dan lahan
gambut pada pemerintahan sekarang.
Untungnya Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan pernah menyampaikan di sejumlah kesempatan
bahwa inpres ini akan diperpanjang Presiden Joko Widodo sebagaimana
dikemukakan pada 5 Mei 2015 di Riau. Namun, kita baru bisa yakin jika inpres
telah ditandatangani oleh Presiden karena janji tidak dapat dijadikan dasar
hukum.
Kemitraan bersama
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan beberapa pakar kehutanan dari
IPB baru saja menyelesaikan kajian menarik berjudul "Analisis Kebijakan
Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer
dan Lahan Gambut".
Kajian menemukan bahwa
Inpres Moratorium yang dikeluarkan tahun 2011 oleh Presiden SBY belum efektif
dalam mengurangi kerusakan hutan primer dan lahan gambut. Kajian ini
menyimpulkan: (1) sejak keluarnya Inpres No 10/2011 hingga Inpres No 6/2013,
areal yang dimoratorium terus menurun dari waktu ke waktu. Hasil kajian di
empat provinsi (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Tengah)
menunjukkan, areal yang dimoratorium berkurang hingga 968.891 hektar atau
sebanding dengan wilayah Hongkong.
(2) Berdasarkan
analisis terhadap Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB)
revisi 1 hingga 7, hutan alam primer dan lahan gambut yang dimoratorium
secara aktual sangat kecil karena sebagian besar areal yang dimoratorium
justru berada di wilayah yang tak terancam penerbitan izin baru, seperti di
hutan lindung dan kawasan konservasi. Di Kalimantan Tengah, misalnya, pada
PIPPIB revisi 5, dari 3.781.090 hektar yang dimoratorium, 2.976.894 hektar
(79 persen) hutan lindung dan kawasan konservasi.
(3) Masih ada
perbedaan tafsir mengenai kategori lahan gambut antara pemda dan unit
pelaksana teknis KLHK. Hal ini mengakibatkan areal yang seharusnya
dimoratorium justru dikeluarkan pada revisi PIPPIB berikutnya, seperti
terjadi di Kabupaten Indragiri Hilir (Riau) dan Kabupaten Pulang Pisau
(Kalimantan Tengah). (4) Pengurusan izin untuk perhutanan sosial (hutan desa
dan hutan kemasyarakatan) menjadi terhambat karena areal kerja yang diusulkan
masuk wilayah yang dimoratorium. Hal ini ditemukan di Teluk Meranti,
Kabupaten Pelalawan, Riau, dan di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan
(Kemitraan dan Walhi, 2015).
Temuan di atas sangat
mengejutkan karena Inpres Moratorium yang bertujuan untuk penyempurnaan tata
kelola hutan alam primer dan lahan gambut terbukti tidak efektif mengurangi
jumlah izin baru yang keluar selama periode moratorium diberlakukan. Hal ini
dapat dibuktikan dengan tetap keluarnya izin hutan tanaman industri, izin
pinjam pakai kawasan hutan untuk tambang, dan pelepasan kawasan hutan untuk
perkebunan secara masif. Kajian ini juga menemukan bahwa pemberian izin alih
fungsi hutan yang banyak selalu berhubungan dengan pemilu nasional serta
pemilihan gubernur dan bupati. Jadi, dapat disimpulkan bahwa alih fungsi
hutan telah dijadikan "barang dagangan" oleh pejabat dan politisi
untuk membiayai syahwat politik orang-orang tertentu. Di samping itu, tidak
adanya evaluasi dan monitoring yang ketat serta tidak adanya sanksi yang
tegas dari presiden kepada bawahannya yang membangkang telah menjadikan
Inpres Moratorium sebagai macan ompong.
Usulan perbaikan
Berdasarkan
temuan-temuan tersebut, dipandang perlu memperpanjang moratorium pemberian
izin baru pada hutan primer dan lahan gambut serta kawasan hutan yang
memiliki nilai konservasi tinggi. Sebab, tujuan moratorium untuk perbaikan
tata kelola hutan yang lebih baik belum tercapai sampai dengan saat ini. Di
samping itu, mengingat upaya perlindungan hutan primer dan lahan gambut telah
diamanatkan oleh sejumlah peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan
hidup, kehutanan, dan pertanian, tak ada alasan bagi Presiden untuk tidak
melanjutkan dan menyempurnakan inpres sebelumnya.
Upaya perbaikan yang
dapat dilakukan Presiden Jokowi: (1) Inpres Moratorium yang baru harus
menegaskan kembali pentingnya perlindungan dan pencegahan "degradasi
hutan dan lahan gambut serta perbaikan tata kelola hutan" sebagai
tanggung jawab kolektif semua kementerian/lembaga terkait serta pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota. (2) Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan yang
dulunya dilakukan UKP4 harus dipindahkan ke Kantor Staf Kepresidenan agar
mendapatkan perhatian serius Presiden. (3) Semua pelanggaran atas Inpres
Moratorium serta kejahatan lingkungan dan kehutanan yang terjadi pada kawasan
moratorium harus ditindak tegas sehingga dalam Inpres Moratorium perpanjangan
harus memerintahkan kepolisian dan kejaksaan untuk bekerja sama dengan KLHK
menindak semua pelaku kejahatan lingkungan.
Di samping itu, Inpres
Moratorium juga harus memperluas kawasan moratorium dengan memasukkan hutan
yang memiliki nilai konservasi tinggi, termasuk wilayah yang telah dibebani
izin, baik dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, karena kawasan
itu memiliki nilai tak tergantikan. Pengecualian yang diberikan bagi
pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital, seperti geotermal,
minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, serta lahan untuk padi dan tebu,
harus ditambahkan klausul bahwa pengecualian hanya diberikan "selama
program-program pembangunan tersebut tak menimbulkan kerusakan lingkungan dan
ekosistem yang signifikan serta tak mengganggu kemaslahatan rakyat yang
bermukim di wilayah itu".
Akhirnya, Inpres
Moratorium yang baru harus memerintahkan dengan tegas kepada gubernur dan
bupati untuk membangun basis data transparan tentang semua perizinan atau
titel hak yang telah diterbitkan dan yang sedang dalam proses perizinan dalam
yurisdiksinya masing-masing agar tak terjadi kesimpangsiuran data perizinan
dan alih fungsi hutan di setiap daerah. Jika hal-hal di atas tak dilaksanakan
dengan segera oleh Presiden Jokowi, Presiden telah lalai dalam menjaga alam
tumpah darah Indonesia dan telah melanggar janji-janji kampanye yang tertuang
dalam Nawacita yang dia usung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar