Kepemimpinan
Perempuan dalam Monarki Jogja
Puji Laksono ; Alumnus Pascasarjana Sosiologi Universitas
Sebelas Maret Solo; Menulis buku “Pribadi dan Masyarakat Jawa Masa Kini”
|
JAWA POS, 09 Mei 2015
EDISI Jawa Pos 8 Mei
2015 mengangkat berita tentang sabda dan dawuh Raja Jogja Sri Sultan Hamengku
Buwono (HB) X yang menimbulkan polemik di masyarakat Jogja. Salah satu poin
yang menjadi polemik adalah pengangkatan Gusti Pembayun sebagai putri mahkota
Keraton Jogjakarta. Terlepas dari kepentingan Sultan HB X di balik penobatan
tersebut, peristiwa itu menyisakan satu pertanyaan yang menarik untuk
dibahas. Yakni, pantaskah seorang perempuan menjadi pemimpin di keraton?
Patriarki dalam Budaya Jawa
Sistem budaya
patriarki adalah sistem budaya masyarakat yang seringnya menempatkan
laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang lebih dominan bila dibandingkan
dengan perempuan. Laki-laki dipandang lebih superior, sedangkan perempuan
lebih inferior. Hal itulah yang membentuk karakter dari budaya patriarki, yang
menempatkan laki-laki di sektor publik, sedangkan perempuan di sektor
domestik.
Masyarakat Jawa adalah
salah satu masyarakat yang menganut sistem tersebut. Pada zaman dahulu,
budaya Jawa menganggap perempuan sebagai konco
wingking yang memiliki fungsi 3M, yakni macak (berdandan), masak (memasak
makanan), dan manak (melahirkan anak). Kaum perempuan ditempatkan sebagai
kelompok yang dipingit di dalam rumah, tidak boleh bekerja di luar rumah.
Pandangan tersebut sedikit banyak masih tersisa dalam nilai-nilai sosial
masyarakat Jawa saat ini.
Sistem patriarki
tersebut masih terlihat dalam sistem kepemimpinan Jawa di Keraton Jogjakarta.
Aturan paugeran hanya memperbolehkan laki-laki menjadi sultan. Gelar yang
disandang sultan, yakni Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng
Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama
Khalifatullah, mengonotasikan suatu rentetan kata-kata yang bersifat
maskulin. Terdapat bias gender dalam gelar tersebut, yang berarti gelar
semacam itu hanya pantas disandang oleh seorang laki-laki. Penetapan gelar
tersebut dalam paugeran berarti secara struktural menutup peluang perempuan
untuk menjadi pemimpin Keraton Jogjakarta. Di sinilah sistem budaya patriarki
bekerja, di mana sistem itu cenderung menempatkan laki-laki pada sektor
publik.
Pemimpin Perempuan?
Secara sosiologis,
struktur sosial masyarakat bisa diklasifikasikan berdasar stratifikasi
sosial. Yakni, masyarakat diklasifikasikan secara vertikal. Seperti jabatan
dan pendidikan. Kemudian, juga bisa secara diferensiasi sosial. Yakni,
masyarakat diklasifikasikan secara horizontal. Artinya, masyarakat
terklasifikasi ke dalam kelompok-kelompok sosial yang bersifat setara dan
sederajat. Wujud diferensiasi sosial tersebut antara lain ras, etnis, agama,
dan jenis kelamin. Dari konsep kedua itu, kita tidak bisa menilai mana
kelompok yang tinggi dan mana yang rendah (vertikal).
Jenis kelamin termasuk
dalam konsep diferensiasi sosial. Namun, sering dalam masyarakat yang
menganut budaya patriarki, jenis kelamin dipandang secara vertikal. Laki-laki
dianggap berkedudukan lebih tinggi jika dibandingkan dengan perempuan.
Berbicara soal perbedaan kedudukan laki-laki dan perempuan secara sosial,
tentu kita harus memahami apa yang disebut dengan seks dan gender.
Seks dapat dipahami
sebagai perbedaan antara laki-laki dan perempuan berdasar ciri-ciri biologis
yang bersifat kodrati dan tidak bisa dipertukarkan. Misalnya, perempuan
memiliki rahim dan bisa hamil, sedangkan laki-laki tidak bisa. Perempuan
punya buah dada, sedangkan laki-laki tidak punya. Berbeda halnya dengan
konsep gender, yang bisa dipahami sebagai perbedaan peran antara laki-laki
dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan bisa dipertukarkan.
Misalnya, perempuan bisa menggantikan peran laki-laki sebagai montir dan
peran lain yang secara sosial identik dengan laki-laki.
Kepemimpinan merupakan
sesuatu yang bersifat gender, peran yang dikonstruksi secara sosial, dan
bukan takdir atau kodrat dari Tuhan yang tidak dapat diubah. Artinya, peran
sosial sebagai pemimpin bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan.
Sejarah mencatat, Kerajaan Majapahit pernah dipimpin oleh ratu yang bernama
Tribhuwanatunggadewi. Pada masa Indonesia modern, kita juga pernah memiliki
presiden perempuan pertama, yakni Megawati Soekarnoputri. Dalam sejarah
Islam, kita mengenal istri Nabi Muhammad seperti Siti Khadijah sebagai
perempuan saudagar yang memegang fungsi ekonomi keluarga. Dalam konteks Islam
di tanah air, Faiqoh (2003) dalam penelitiannya yang mengangkat tema Nyai
sebagai Agen Perubahan di Pesantren menemukan bahwa Nyai Nafisah, istri KH
Sahal Mahfudz dari Pesantren Al Badi’yyah, memimpin pesantren dan telah
melakukan proses transformasi budaya pesantren yang berkesetaraan gender.
****
Kepemimpinan perempuan
memang menjadi polemik tersendiri dalam masyarakat kita yang masih mewarisi
budaya patriarki. Seperti yang terjadi saat ini di Keraton Jogjakarta, yang
menobatkan Gusti Pembayun sebagai putri mahkota. Penobatan tersebut ditentang
sebagian masyarakat dan kerabat keraton karena dirasa melanggar aturan adat
paugeran. Di satu sisi, kita memang harus menghormati adat istiadat leluhur
kita. Namun, di sisi lain, kita tidak dapat menghindar dari proses perubahan
sosial. Sebab, sifat masyarakat tidak statis, melainkan dinamis –yang akan
berubah mengikuti perkembangan zaman. Cepat atau lambat, nilai-nilai sosial
adat tradisional dalam masyarakat akan mengalami proses sosial tersebut.
Karena itu, agar ”eksistensi keraton” sebagai bagian dari pranata sosial
masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Jogja, tetap ada, ia juga harus peka
terhadap zaman. Termasuk peka terhadap isu gender yang sedang berkembang di
era demokrasi saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar