Integritas
dalam Penegak Hukum
Sudjito ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah
Mada
|
KORAN SINDO, 18 Mei 2015
Negara
hukum Indonesia hampir berusia 70 tahun. Sudahkan bangsa ini semakin dewasa,
matang, dan arif dalam berhukum?
Sejujurnya,
masih jauh dari harapan. Lebih elegan menyatakan, ada indikasi perjalanan
bangsa ini salah kiblat, keluar dari rel perjuangan, dan menyimpang dari
cita-cita bernegara hukum. Bahkan ada benarnya pula untuk menyatakan bahwa
praktik penegakan hukum di negeri ini cenderung mengikuti paham (machtsstaat) negara berdasar atas
kekuasaan dan kekuatan.
Indikasi
dimaksud antara lain terjadinya arah tak menentu dalam penegakan hukum.
Formalitasnya untuk mewujudkan keadilan, tetapi fakta di lapangan untuk mendapatkan
kemenangan. KORAN SINDO dalam Tajuk berjudul ”Arah Penegakan Hukum” (11/5/ 15) seakan menjadi penyambung
aspirasi publik. Dengan kritis dan lugas menyorot permasalahan penegakan
hukum.
Dinyatakan:
”Betapa bahayanya jika hukum dilaksanakan sesuai
dengan kepentingan politik jangka pendek oleh elite yang berkuasa. Hukum
adalah wilayah independen, tidak bisa diintervensisi apapun baik kalangan
eksekutif, legislatif maupun individu-individu di lembaga yudikatif itu
sendiri. Bahkan, opini publik pun semestinya tidak boleh memengaruhi
objektivitas para penegak hukum. Namun hukum juga bukan hal yang bebas nilai.
Hukum tidak akan berfungsi apa-apa jika berada di ruang hampa. Hukum pun
seharusnya memiliki roh baik yang diembuskan para pemimpin yang baik dan
berintegritas tinggi.”
Integritas
pemimpin oleh KORAN SINDO dipandang sebagai faktor penting dalam penegakan
hukum. Mengapa penting dan apa maknanya?
Dalam
berbagai kesempatan, saya diminta menjadi narasumber pertemuan kerja beberapa
kementerian dengan materi tentang integritas. Ada yang dikaitkan dengan
wawasan kebangsaan, ada pula yang dikaitkan dengan upaya mewujudkan wilayah
bebas dari korupsi dan sebagainya. Saya pandang relevan, kali ini
membicarakan perihal integritas dalam penegakan hukum.
Berdasarkan
penelusuran berbagai sumber, baik pendapat para ahli ataupun literatur, dapat
dikemukakan bahwa integritas (bahasa Inggris: integrity) senantiasa berbicara tentang ”jati diri” seseorang,
mencakup kebeningan kalbu, kecerdasan akal, dan keterampilan perbuatan
sehingga dalam setiap saat terlihat konsistensinya antara pemikiran, sikap,
ucapan dan perilaku.
Sosok
penegak hukum berintegritas, olehkarenanya, dapatdilihat dari ciri-ciri
sebagai berikut: (1) berakhlak mulia, (2) amanah dalam jabatan, (3)
arif-bijaksana dalam menghadapi realitas plural, (4) konsisten antara ucapan
dan perbuatan, (5) taat pada nilai dan norma kehidupan (baik tertulis maupun
tak tertulis), (6) berorientasi pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Kualitas
negara hukum Indonesia amat ditentukan oleh integritas penegak hukum dan
pencari keadilan. Pengejawantahan integritas dapat disimak kembali melalui
sejarah perjuangan bangsa ketika membebaskan diri dari belenggu penjajahan.
Penjajahan itu bertentangan dengan perikeadilan, oleh karenanya wajib
diperangi.
Pada
saat itu, integritas manusia Indonesia dapat dibanggakan. Mereka senantiasa
tampil di depan dengan semangat tinggi, berjuang tanpa kenal lelah. Bung
Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Soepomo, Ahmad Soebardjo, dan kawankawannya
ketika itu masih berumur di bawah 30-an tahun.
Semangat
perjuangan para pendahulu mestinya menginspirasi penegak hukum generasi
sekarang. Semangat perjuangannya sepadan dengan semangat pemuda, terus
membara dan berkobar-kobar. Itulah integritas yang kita perlukan. Kata Bung
Karno:
”Kalau pemuda sudah berumur 21, 22,
sama sekali tidak berjuang, tak bercita-cita, tak giat untuk Tanah Air dan
bangsa... Pemuda yang begini baiknya digunduli saja kepalanya....”
Dinyatakan pula: ”Berikan aku 1.000
orang tua, niscaya akan kucabut gunung semeru dari akarnya, berikan aku 1
pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”
Pernyataan
itu secara tersirat memberikan dorongan, semangat, dan motivasi agar negara
hukum ini mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, maka penegak
hukum dan pencari keadilan mesti memiliki integritas tinggi.
Sinergi
dan kebersatuan antara penegak hukum dan pencari keadilan amat diperlukan.
Dalam
perspektif Philosophischegrondslag,
memosisikan Pancasila sebagai dasar membangun integritas, hemat saya, relevan
untuk saat ini dan masa depan. Dari amanat Bung Karno di depan Kongres Rakyat
Jawa Timur, 24 September 1955 di Surabaya, dapat disimak bahwa Pancasila
sebagai lima mutiara cemerlang terbenam di dalam bumi Indonesia karena
penjajahan bangsa asing selama 350 tahun. Pancasila sebagai way of life sudah ada sebelum ada Bung
Karno, sebelum ada Republik Indonesia.
Dari
dahulu, bangsa Indonesia telah mengenal Tuhan dan hidup di alam Ketuhanan
Yang Maha Esa. Dari dahulu, bangsa Indonesia telah cinta kepada Tanah Air dan
bangsa. Dari dahulu, kita sudah mengenal rasa kebangsaan dan rasa kemanusiaan.
Demikian pula rasa kedaulatan rakyat dan cita-cita keadilan sosial.
Integritas
dalam penegakan hukum akan mampu dibangun bila nilai-nilai Pancasila sebagai Philosophischegrondslag mampu
ditanamkan ke dalam hatisanubari setiap penegak hukum dan pencari keadilan
sehingga daripadanya muncul pemikiran, sikap, dan perilaku yang senantiasa
berkiblat pada keadilan sosial dan berkontribusi demi tercapainya tujuan
bernegara.
Mengapa
penegakan hukum di negara berdasarkan Pancasila miskin integritas? Karena penerimaan
Pancasila sebatas formalitas, bahkan ada pihak yang tega mengomoditaskan
Pancasila. Jadilah sistem penegakan hukum di negeri ini tidak berdasarkan
Pancasila.
Dengan
mengimpor sistem penegakan hukum dari negara asing, dibiarkan ”lubang
integritas” menganga sehingga penegak hukum yang dulunya tergolong jujur pun
tersungkur di dalam ”lubang” sistem yang korup. Isme-isme asing, utamanya
modernisme, kapitalisme, dan positivisme, mengajarkan tentang arti pentingnya
materi duniawi.
Kekuasaan,
harta benda, dan uang didewa-dewakan. Akar korupsi adalah nafsu cinta dunia.
Nafsu cinta dunia yang tak terkendali mendorong penegak hukum serakah
terhadap hak-hak orang lain. Menjadi paradoksal bila jabatan, harta benda,
dan sejenisnya diperoleh tanpa hirau terhadap integritas. Tanpa integritas,
penegakan hukum berada dalam kubangan kotor.
Nabi
Muhammad SAW bersabda: Yang kotor tidak bisa membersihkan yang kotor.
Alangkah indah dan elegan bila pemerintahan sekarang mampu melakukan
pembenahan, pembersihan sistem dan aparat penegak hukum sebagai langkah
mewujudkan integritas. Wallahu aWallahu
alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar