Ingin
Menang Besar, KPU Diintervensi
Bambang Soesatyo ; Sekretaris Fraksi Partai Golkar; Anggota
Komisi III DPR RI
|
KORAN SINDO, 18 Mei 2015
Ada
benih kartel politik yang ingin melanggengkan konflik internal partai politik
(parpol). Kartel itu menargetkan kemenangan besar pada pemilihan kepala
daerah (pilkada) serentak tahun 2015.
Itu
sebabnya, menjelang diundangkannya seluruh peraturan Komisi Pemilihan Umum
(PKPU) yang menjadi landasan dan acuan teknis penyelenggaraan pilkada tahun
ini, intervensi penguasa terhadap KPU semakin intens. Langkah intervensi terbaru dari penguasa ditandai oleh desakan
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto
Kristiyanto.
Ketika
menyambangi kantor KPU baru-baru ini, Hasto mendesak KPU agar tetap berpegang
pada Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham)
untuk parpol peserta pilkada yang sedang dilanda konflik internal. Dalam
hitungan hari setelah desakan Hasto itu, KPU mengumumkan bahwa seluruh PKPU
untuk penyelenggaraan Pilkada 2015 telah selesai diundangkan Kemenkumham.
Semua
PKPU itu otomatis menjadi pedoman atau acuan bagi penyelenggara maupun calon
peserta pilkada di daerah. Empat PKPU baru diundangkan 12 Mei 2015, meliputi
PKPU 8/2015 tentang Dana Kampanye, PKPU 9/2015 tentang Pencalonan, PKPU
10/2015 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara, serta PKPU 11/2015 tentang
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Penetapan Calon Terpilih.
Sampai
di situ, terlihat bahwa KPU sama sekali tidak akomodatif sehingga muncul
kesan penyelesaian semua PKPU itu dipercepat tanpa memperhitungkan kondisi
perpolitikan dalam negeri.
Seperti
diketahui, saat ini terjadi dualisme kepengurusan di Partai Golkar dan Partai
Persatuan Pembangunan (PPP). Faktor ini seharusnya juga diperhitungkan KPU,
utamanya karena kedua partai memiliki basis massa yang besar dan tersebar
merata di seluruh penjuru Tanah Air. Kalau semua PKPU itu dinilai merugikan
Golkar dan PPP, patut dikhawatirkan munculnya perlawanan dari basis massa
kedua partai.
Sayangnya,
KPU menyederhanakan potensi masalah itu. “Jika
ada pihak yang keberatan dengan PKPU, dan menilai PKPU bertentangan dengan
norma hukum yang lebih tinggi, ada ruang untuk meminta akuntabilitas melalui
uji materi ke MA (Mahkamah Agung). Jika itu terjadi, KPU berkewajiban
memberikan penjelasan alasan PKPU itu keluar,” kata Anggota KPU Ida
Budhiati, Kamis (14/5).
Intervensi
Hasto ke KPU menunjukkan keberpihakan partai pemerintah terhadap salah satu
dari para pihak yang tengah berkonflik di internal Partai Golkar dan PPP.
Dalam konteks Partai Golkar, Hasto jelas-jelas ingin memaksa KPU mengakui
Partai Golkar kubu Munas Ancol pimpinan Agung Laksono. Sebab, Menkumham telah
menerbitkan SK tentang pengakuan pemerintah terhadap kepengurusan Partai
Golkar produk Munas Ancol.
Hasto
pura-pura lupa bahwa SK Menkumham tentang kepengurusan Partai Golkar itu
bermasalah. Pemberlakuan SK Menkumham itu sudah ditunda oleh putusan sela
pengadilan. Karena bermasalah itulah persoalannya pun harus dibawa ke
pengadilan negeri. Kalau faktanya seperti itu, desakan Hasto jelas sangat
kental bernuansa intervensi. Mereka yang melakukan intervensi memang sering
kali bertindak ceroboh.
Legalitas
Partai Golkar kubu Munas Ancol tentunya harus dipersoalkan karena kasus
mandat palsu sudah naik ke tingkat penyidikan di Bareskrim Mabes Polri. Sudah
ada tersangka, alat bukti, dan ada peristiwanya. Tak lama lagi, berkasnya
bakal berstatus P-21. Bahkan, pekan lalu, Direktorat Tindak Pidana Umum
Bareskrim Polri menetapkan dua tersangka baru kasus pemalsuan mandat itu.
Dengan
tambahan dua tersangka baru ini, berarti total ada empat tersangka. Dua
tersangka baru itu, berinisial MJ dan S, dikenakan Pasal 263 KUHP tentang
Pemalsuan Dokumen, dan diperiksa pertama kali pada Jumat (15/5) lalu.
Apa
jadinya Pilkada 2015 kalau KPU menuruti tekanan Hasto mengakui kubu Munas
Ancol untuk menjadi peserta? Pilkada 2015 tidak hanya tercoreng, tetapi juga
cacat hukum karena ada peserta yang tidak punya legalitas untuk menjadi konstetan di pesta demokrasi rakyat itu.
Target Kemenangan
Situasi
perpolitikan dalam negeri terkini jauh dari sehat. Tangan-tangan kotor
kekuasaan terus bekerja memecah-belah kekuatan-kekuatan politik. Prosesnya
seperti mengarah pada terbentuknya kartel politik yang berambisi
mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara yang sama sekali tidak fair.
Pada
kasus Partai Golkar dan PPP, penguasa memperlihatkan kecenderungan ingin
melanggengkan konflik internal atau dualisme kepengurusan. Penyelesaian
konflik internal Partai Golkar dan PPP benar-benar sarat ketidakpastian
karena adanya intervensi dan keberpihakan penguasa. Konflik internal Partai
Golkar dan PPP harus diselesaikan melalui proses hukum.
Untuk
mencapai keputusan berstatus inkrah, kedua partai diperkirakan akan butuh
waktu relatif lama karena harus melalui proses hukum berjenjang (banding).
Seperti apa pun putusan pengadilan dalam kasus Partai Golkar, pihak yang
merasa dirugikan hampir bisa dipastikan bakal mengajukan banding.
Dalam
kasus PPP, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta membatalkan SK Menkumham yang
mengakui kepengurusan PPP pimpinan Romahurmuziy. Namun, proses itu belum
tuntas karena Menkumham dan Romahurmuziy dkk mengajukan banding. Kalau
intervensi penguasa berkelanjutan dan proses hukum menjadi berlarut-larut,
kedua partai sama sekali tidak diuntungkan dalam konteks pelaksanaan pilkada
serentak tahun ini.
Golkar
dan PPP akan dihadang PKPU 9/2015 tentang Pencalonan. Pasal 36 PKPU itu
menetapkan, jika kepengurusan parpol tingkat pusat masih proses sengketa di
pengadilan dan terdapat penetapan pengadilan mengenai penundaan pemberlakuan
keputusan menteri, KPU daerah tak dapat menerima pendaftaran pasangan calon
sampai adanya putusan berkekuatan hukum tetap, dan ditindaklanjuti penerbitan
keputusan menteri tentang penetapan kepengurusan parpol.
Masih
menurut PKPU 9/2015 Pasal 36, jika penyelesaian sengketa belum ada putusan
berkekuatan hukum tetap, tetapi kepengurusan partai yang bersengketa sepakat
berdamai untuk membentuk satu kepengurusan partai, KPU daerah dapat menerima
pendaftaran pasangan calon berdasarkan keputusan menteri tentang penetapan
kepengurusan partai hasil kesepakatan perdamaian.
Artinya,
menurut ketetapan PKPU 9/2015 Pasal 36 itu, jika parpol yang bersengketa
gagal islah atau tidak menggenggam keputusan hukum berkekuatan tetap hingga
masa pendaftaran calon peserta pada 26-28 Juli 205, parpol bersangkutan tidak
bisa mengusung calonnya di Pilkada 2015.
Kalau
Partai Golkar dan PPP harus menghadapi kenyataan seperti itu, siapa yang
paling diuntungkan dari pelaksanaan pilkada serentak tahun ini? Sudah barang
tentu parpol yang paling solid dan matang persiapannya. PDIP pasti ingin
mengeskalasi penguasaannya lewat pilkada tahun ini dengan cara mencatat
kemenangan di banyak provinsi.
Rekan-rekan
PDIP dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH), yang infrastrukturnya belum
selengkap PDIP, sudah pasti akan berkonsolidasi untuk bisa menjadi pendamping
caloncalon dari PDIP. Bahkan, untuk memperkuat penguasaannya, bukan tidak
mungkin PDIP juga akan menggoda parpol lain anggota Koalisi Merah Putih (KMP)
untuk berkoalisi memenangi pilkada di provinsi-provinsi tertentu.
Inilah
yang menjadi target antara partai penguasa melanggengkan konflik internal
ditubuh Golkar dan PPP. Namun partai politik lain tidak akan tinggal diam.
Mayoritas fraksi di DPR sudah menandatangani kesepakatan untuk melakukan
revisi terbatas UU Pilkada. Revisi penting demi terwujudnya pilkada yang
damai. Karena itu, pilkada serentak tahun ini tak boleh cacat hukum dan juga
tidak boleh cacat politik.
Maka,
semua aturan main, payung hukum, dan institusi penyelenggara harus disiapkan
dengan baik dan benar. Itulah urgensi dari revisi terbatas terhadap UU Nomor
2/2015 tentang Pilkada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar