Minggu, 24 Mei 2015

Havana, Menjelang Fajar

Havana, Menjelang Fajar

Trias Kuncahyono  ;  Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
KOMPAS, 24 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                
Saya seorang Marxis-Leninis, dan akan tetap seperti itu hingga mati. Itu kata pemimpin Kuba, Fidel Castro (89), beberapa puluh tahun silam. Sejak Castro berkuasa, menjadi perdana menteri mulai tahun 1959, secara resmi Kuba adalah negara ateis.

Castro yang "memakan dan meminum" karya-karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin, memang menjelma menjadi seorang Marxist-Leninist. Ia juga menghayati kredo yang pernah diteriakkan oleh Karl Marx (1818-1883), bahwa agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. Ia adalah candu masyarakat.

Karena itu, Castro melarang agama hidup di Kuba, menutup gereja-gereja, mengambil alih lebih dari 400 sekolah Katolik, mengusir 100-an pastor, dan mengirim para pastor ke "kamp-kamp pendidikan." Tetapi, setelah Uni Soviet-yang menjadi sandaran Kuba-jatuh dan bubar yang menandai kebangkrutan komunisme (1991), Kuba pun mulai berpikir ulang tentang masa depannya.

Runtuhnya Uni Soviet itu menandai pula perubahan di Kuba. Pada tahun 1991, Castro mengubah status Kuba dari negara "ateis" menjadi "sekular" dan setahun kemudian mengamandemen konstitusi. Pada November 1996, Castro pergi ke Vatikan dan bertemu Paus Yohanes Paulus II. Hasil pertemuan itu, Paus berkunjung ke Kuba pada 21-25 Januari 1998.

Setelah bertemu Paus, Castro mulai kembali bicara soal Tuhan. Ia mengaku mulai "memikirkan" Tuhan. Ketika ditanya, apakah ia percaya pada Tuhan, Castro menjawab, "Kalau mengatakan, 'Saya tidak percaya (Tuhan),' saya menyakiti hati orang lain yang percaya. Dan, jika mengatakan, 'Saya percaya,' saya menyakiti hati orang yang tidak percaya dan menjadikan dirinya sebagai seorang pengkhotbah. Saya hormati semua orang yang percaya (Tuhan), dan saya juga menghormati mereka yang tidak percaya. Ini merupakan tugas seorang politisi."

Keputusan pemerintah Castro menerima kunjungan Paus oleh banyak orang dan rakyat Kuba dianggap sebagai sebuah awal perubahan. Tahun 2012, Kuba menerima kunjungan Paus Benediktus XVI. Tak lama setelah Castro ke Vatikan, majalah The Economist (6 Desember 1997) menulis angin kesejukan beragama mulai pelan-pelan berembus semilir di Kuba.

Seperti Revolusi "Arab Spring" yang oleh banyak kalangan dinilai "mendadak" menyapu Afrika Utara dan Timur Tengah, demikian pula perubahan yang terjadi di Kuba, termasuk mulai mencairnya hubungan Havana dan Washington. Apa yang mendorong baik Amerika Serikat dan Kuba mencairkan hubungan mereka yang membeku hampir 60 tahun?

Kedua negara menyadari zaman telah berubah. Dari sudut pandang AS, sanksi ekonomi yang dijatuhkan terhadap Kuba selama hampir 60 tahun tak banyak artinya: tak dapat menjatuhkan Castro, juga tidak mengubah sifat dasar masyarakat Kuba. Karena itu, bila AS membuka pintu bagi Kuba, maka perubahan diharapkan lebih cepat terjadi di Kuba. Kuba pun ingin bergabung dengan dunia yang berderap dalam pawai modernisasi. Hal yang sama juga dilakukan AS terhadap Iran.

Dalam konteks hubungan internasional, mencairnya hubungan kedua negara pun memiliki dasar kuat. Di masa lalu, menurut Kishore Mahbubani dalam The Great Convergence, Asia, The West, and The Logic of One World (2013) persaingan geopolitik adalah zero-sum game. Tetapi kini, zero-sum game sudah digantikan oleh kerja sama antar-bangsa dalam kerangka kerja sama global yang lebih luas. Persaingan geopolitik bisa menjadi win-win game. Dalam konteks inilah, keduanya, baik AS maupun Kuba, sama-sama memerlukan perlunya kerja sama meski dalam derajat yang berbeda.

Di tangan Raul Castro-lah perubahan itu mulai terlihat dan terasa, meski Fidel Castro yang mengawali "pertobatan". Dan, kedatangan Raul ke Vatikan 10 Mei lalu adalah untuk mengucapkan terima kasih kepada Paus Fransiskus, yang menjadi perantara terbukanya jendela dan pintu Kuba bagi AS, dan sebaliknya, terbukanya pintu dan jendela AS bagi Kuba.

Sama seperti kakaknya, Fidel Castro, setelah bertemu Paus, Raul Castro mengatakan, pertemuannya dengan Paus telah menginspirasinya kembali beragama. Kini, Raul tidak lagi merasakan agama bagaikan candu, melainkan madu. Meskipun, agama memang sering tampil dalam dua wajah yang berbeda: tersenyum memberikan kekuatan dan kedamaian serta harapan hidup; dan garang serta memberikan landasan ideologi kekerasan.

Dunia kini seperti menyaksikan ufuk timur langit Havana sudah mulai memerah, sebentar lagi matahari terbit di saat Fidel Castro menghitung hari di masa tuanya; dan jiwanya disandera keringkihan badani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar