Diaspora
dari Kampung Sendiri
I Wayan Westa ; ( Tanpa Penjelasan )
|
KOMPAS, 24 Mei 2015
Saat
dunia dikondisikan makin datar oleh teknologi nirkabel, di mana manusia dari
penjuru dunia saling terhubung dalam hitungan detik, nun di pojok dusun kecil,
di tengah-tengah kebun salak, di Desa Sibetan, tak jauh dari kaki Gunung
Agung, Karangasem, Bali, kita masih sempat membaca karya sastra Jawa Kuna
terbaru karya pujangga gunung bernama Guru Made Degung. Di awal milenium ini,
tepatnya tahun 1998,dia menyelesaikan dengan sempurna Kakawin Ekadasasiwa.
Degung
menganggit cerita indah tentang berlapis ritus untuk pemujaan pada 11 Rudra,
personifikasi Siwa dari 11 penjuru dunia untuk harmoni semesta. Dari segi bahasa
dan konvensi, apa yang ditulis Made Degung tidak beda dengan kisah para
”leluhurnya” di Jawa, saat mana di abad ke-9, tepatnya di bulan Agustus 1084
Masehi, Mpu Yogiswara menulis Kakawin Ramayana dengan amat memukau. Ramayana
yang dibangun dengan prosedi persajakan Jawa Kuna merupakan karya sastra
terpanjang yang ditulis pujangga Nusantara. Dijalin dalam 26 sargah, 2.778
bait.
Dari
karya Made Degung kitamembaca benang merah tentang geokultur Jawa klasik,
dari era-era kerajaan Hindu Jawa, yang sampai saat ini tetap menjadi oase
kebijaksanaan klasik di Bali. Begitu pula saat sahabat kami,sastrawan Cok
Sawitri, mengadaptasi Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular menjadi novelenak
dibaca. Karya yang ditulis dari era puncak Prabhu Hayam Wurukdari Kerajaan
Majapahit ini mendapat makna penting dalam membangun fondasi dasar perjalanan
bangsa. Di titik ini ”tantularisme” telah merangkai semangat pluralisme
menjadi mosaiknan indah.
Dari
pikiran sinkritik Mpu Tantularlah payung bhinneka tunggal ika itu dirajut,
untuk seterusnya memberi setiap ruang batin bangsa ini bertumbuh dalam
diaspora salingbertemali, terhubung dalam ruang-ruang lebih agung memuliakan
manusia sejagat, bahwa di puncak kebinekaan itu tiada kebenaran mendua, semua
tunggal adanya.
Dan di
saatpenghargaan pada pluralismemakin mengering, didesak pikiran-pikiran
monolitik, novel Sutasoma, adaptasi Cok Sawitri, menjadi penting. Penting
karena ia sanggup menjadi jembatan untuk generasinya,di mana mereka takbisa
lagi mengaksessemangatitu dari bahasasumber: bahasa Jawa Kuna.
Cok
Sawitri telah mendekatkan suara Tantular kembali, di ranah-ranah hidup lebih
urban, dalam diaspora kebangsaan yang senantiasa berdinamika, saling
berkelindan, dalam ego saling menafikan. Dan novel ini merangkai
kembalisebuah semangat,untuk menemukanmakna batin yang hilang dari bumi
Nusantara. Dan Bali, hinggadetik ini, masih menjadi mosaik Nusantara kecil,
di mana semangat multikultur itu masih dirawat, dijaga dengan magnitude cukup besar.
Benteng terbuka
Sejak
keran turis dibuka lebar-lebar, Bali tak cuma menunjukkan diri sebagai ”desa
dunia”, ia sekaligus menunjukkan sebuah pulau dengan benteng terbuka. Arus
barang, arus modal, arus orang, dan percampuran kultur silang dunia tak
terhindarkan, nyaris tanpa screening. Danarus itu pun berdiaspora menjadi
kultur urban, di manatradisi dan lokalitas itu kianmerundung, rapuh. Dandi
situ Bali tak cuma menunjukkan warna kian buram, tapi dengan nyata
menunjukkan juga warna-warna dunia dari segala penjuru. Bagi saya itulah
dunia urban. Saat mana semua ras, ideologi, pasar, kepentingan teramu di
tanah Bali.
Bagaimana
sastra menangkap diaspora itu? Bagaimana pengarang menyuarakan suara urban di
tengah-tengahtradisi dan lokalitas yang kian buram, di tengah desa turis yang
tak cuma dikunjungi para pelancong, orang suci, para pialang, tapi juga para
bandit? Karena bom pun akhirnya meledak di tengah hiruk-pikukritual,
hedonisme, dan semangat memanjakan tubuh.
Hari ini
kita perlu membaca lebih dekat suara lokal dari duniadisebut ”Bali”, terlebih
dalam dunia sastra modern. Tentu ada ribuan puisi, ratusan cerpen, dan
puluhan novel yang mengambil setting dan temaBali, baik dalam bahasa asing,
bahasa Bali, maupun bahasa Indonesia. Harus diakui, para penulis itu, ada
yang menulisdari jarakdekat. Ada yang menulis dari jarak yang jauh.
Pengertian jarakbukanlah sesuatu yang bisa diukur. Setiap pengarangterpaut
jarak dari obyek yang hendak ditulis. Jarak itu meliputi jarak waktu,
sejarah, kultur, sosiologi, psikologi, tradisi, lokalitas, bahasa,teks, dan
beragam jarak lain.
Untuk
jarak yang teramat dekat ini,di zamannya, AA Pandji Tisna adalah
penyuarapaling sublim dari duniabernama Bali. Ia menulis dan berbicara
tentang kampung halaman sendiri. Siapa saja sempat membaca novel Ni Rawit
Ceti Penjual Orang (1935),Sukreni Gadis Bali (1936), I Swasta Setahun di
Bedahulu (1938), dan I Made Widiadi(Kembali Kepada Tuhan) (1978). Tiga novel
tersebut adalah novel-novel sebelum perang.Pandji Tisna teramat gamblang
menghadirkanpsiko-sosial orang-orang Bali, ketika turisme belum menjadi ”raja”
di Bali. Dari situ kita menemukan potret sosial masyarakat Bali sebelum
perang. Pertarungan ego, libido kuasa, perang ilmu hitam, intrik kotor,
karmapala adalah sisi yang paling sering dikemas dalam penulisan novel itu.
Di titik ini, Pandji Tisna berhasil membahasakan lokalitas itu sebagai suara
kemanusiaan bersama walau sebagaimana pengakuannya,iahanya bisa menulissaat
iaberhadapanlangsung dengan realitas. Pendek katanovel-novel Pandji Tisna
bertutur perihal jiwa zaman.
Pandji
Tisna makin meredup manakala iadigojlok seabrek kesibukan sosial dan politik,
dipaksa menggantikan ayahnya sebagai raja, untuk seterusnya di tahun 1946 ia
melepas jabatan itu karena memeluk nasrani. Di tahun 1955 ia mengarangromanI
Made Widiadi (Kembali Kepada Tuhan) yang bercerita tentang pengembaraan
spiritual ke lintas agama, lintas keyakinan, dan lintas budaya. MadeWidiadi,
orang Bali, tokoh utama roman ini,saat itu telah menjadi perantaulintas
benua, lintas budaya, dan lintas keyakinan. Made Widiadi bolehjadi
sosokPandji Tisna sendiri,hal manadi zaman sebelum perangdia telah
berdiaspora ke lintas kebudayaan, dengan bacaanlumayan luas.
Pandji
Tisna adalah sebuah wajah dunia Bali sebelum perang, di zaman raja-raja Bali
sedang diadu domba pemerintah kolonial. Namun di ujung kini, di awal milenium
dunia baru, saat keran turisme dibuka lebar-lebar, di kala tanah-tanah Bali
menjadi rebutan pemilik modal, investasi demi investasi bergulir, Bali tentu
menjadi dunia lain. Dunia urban di mana banyak sisi hidup orang Balimengalami
keterpinggiran, sekaligus wajah perubahan yang belum tentu konstruktif.
Patologi sosial, upacara yang jor-joran, kemacetan,sampah, krisis air bersih,
adalah problem yang segera menjadi kerak jika tidak cepat dicarikan solusi.
Residu
dan patologi sosial seperti ini dicatat dengan jujur cerpenis Gde Aryantha
Soethama. Gambaran dunia lokal dan tradisi yang dirundung kering di
tengah-tengah dunia urban Pulau Bali adalah sketsa buram, babak drama pedih
yang ditampilkanhampir di setiap karya prosa Gde Aryantha Soethama.
Karya-karya Gde Aryantha Soethama, sebagaimana diakui Dr I Nyoman Darma
Putra, pengajar sastra Universitas Udayana, mengungkap dengan lembut
kompleksitas konflik antara nilai-nilai tradisi dan modern di Bali. Citra Bali
yang demikian luas dikenal sebagai pulau kahyangan tak tercela, acap
menampilkan ironi dan kisah-kisah memilukan.
Kita
bisa membaca gambaran buram inidari bukukumpulan cerpen bertajuk Mandi Api,
yang meraih Khatulistiwa Literary Award 2006. Di sini, setelah membaca cerpen
”Kubur Wayan Tanggu”, ”Terompong Beruk”, ”Sekarang Dia Bangsawan”, ”Ibu
GuruAnakku”,atau 21 cerpen yang termuat dalam buku Mandi Api menyiratkan
ironijungkir balik bahwa pariwisata tak cuma diupayakan sebagai
mesinpendulang dollar, tetapi juga menyisakan segunung persoalan pelik,
semisal kesenjangan sosial, perdagangan seks, pencemaran lingkungan,
keterpinggiran, seni yang dijual murah, perubahan gaya hidup, munculnya
feodalisme baru, dan ironi kemanusiaan lainnya. Dan amatlah jelas, cerpen-cerpen
Aryantha Soethama adalah karya yang lahir dari dunia urban, dunia yang tidak
lagi monolitik atau satu warna.
Cerpen-cerpen
Aryantha Soethama adalah dunia simpang jalan, manakala nilai-nilai tradisi,
keluguan orang Bali, kesantunan kultur agraris berbenturan dengan modernitas,
dunia yang secara perlahan membentuk diaspora baru, diaspora yang sampai kini
terus menggelinding, yang mungkin akan melahirkan garis tegas tentang ”Bali
Kini”, ”Bali Lain”, dan ”Bali Dulu”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar