Rupiah,
Kebesaran, dan Kehormatan Negara
Bahlil Lahadalia ;
Ketua
Umum Hipmi
|
KORAN SINDO, 14 April 2015
Pekan lalu Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) gembira
mendengar kabar dari Bank Indonesia (BI). BI merilis aturan tentang kewajiban
penggunaan rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tak sekadar aturan, kewajiban itu terakomodasi dalam Peraturan
Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/3/PBI/2015. Pejabat BI bilang, aturan ini
merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Selama ini, masih menurut BI, banyak transaksi yang menggunakan mata uang
asing dalam wilayah NKRI. Garagara itu, rupiah mudah menjadi ”galau”.
Bagi Hipmi, aturan BI ini sejalan aspirasi yang pernah kami
sampaikan kepada Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan. Itu
sebabnya, Hipmi mengucapkan terima kasih kepada BI. Yang bikin Hipmi langsung
happy sebenarnya bukan soal rupiah
bakal tiba-tiba menguat saat itu juga setelah PBI tersebut diterapkan. Namun
pada pernyataan BI bahwa: ”dengan
undang-undang dan PBI, ke depan kita harap rupiah berdaulat dan mendukung
nilai rupiah yang stabil.” Rupiah berdaulat dan stabil.
Dua kata ini membawa implikasi besar secara geoekonomi dan
stabilitas perekonomian itu sendiri. Secara geoekonomi, mata uang asing telah
berkuasa atas negara ini. Bayangkan, transaksi dolar AS (USD) di wilayah NKRI
per bulan mencapai Rp78 triliun. Per tahun mencapai Rp936 triliun. Dolarisasi
ini merambah proses pembayaran di perusahaan migas, pelabuhan, tekstil,
plastik, hingga manufaktur.
Proses dolarisasi ke segala penjuru wilayah NKRI ini tak bisa
hanya dipandang sebagai konsekuensi dari liberalisasi yang mesti diterima
oleh negara secara mentah-mentah. Dolarisasi juga berarti terjadinya soft invasion (invasi santun) di
wilayah kedaulatan politik dan ekonomi suatu negara. Ujung-ujungnya
dolarisasi menghasilkan ”aneksasi” ekonomi terhadap ekonomi negara lain.
Konsep semacam inilah yang kerap absen dari textbook para pengamat dan
praktisi pemuja pasar bebas di negara ini. Dikiranya,uang semata-mata hanya
sebagai alat tukar yang dapat diambangkan seenaknya di pasar.
Mata uang—sejak awal suatu negara berdiri—telah ditetapkan
sebagai simbol kedaulatan ekonomi dan politik suatu negara. Kehormatan suatu
negara dipertaruhkan di sana. Konsep berpikir semacam ini sangat dipahami
oleh para penguasa di China. Tak hanya sekadar menggenjot kinerja
perekonomian, negara itu juga kemudian ”berperang” habishabisan sejak 2000-an
untuk menggeser dominasi euro dan dolar AS baik di wilayahnya sendiri maupun
sampai ke luar negeri.
Hasilnya sangat menggembirakan. Setelah berjuang keras lebih
dari satu dekade, warga China merayakan pesta kembang api menyambut tahun
baru 2014 sambil bergembira ria. Sebab yuan (renmimbi/ RMB) untuk transaksi
luar negeri) berhasil menggeser euro menjadi mata uang paling banyak
digunakan kedua dalam perdagangan internasional setelah dolar. Mata uang ini
juga semakin populer di pasar dunia.
Dalam Letter of Credit and
Collection (L/C), penggunaan RMB naik signifikan. RMB kini mendominasi
perdagangan internasional dengan porsi 81,1%. Porsi euro turun ke peringkat
ketiga dunia. Tak hanya jago kandang, RMB juga berjaya di luar negeri seperti
Hong Kong, Singapura, Jerman, dan Australia, bahkan masuk ke Indonesia. Bagi
China, persepsi pasar (apresiasi/depresiasi) bukan segalanya.
Ditopang oleh struktur industri yang kokoh, negara itu kini
justru kadang terlihat sengaja menikmati berkah dari pelemahan mata uangnya.
Bahkan dengan sengaja mereka melemahkan mata uangnya untuk menguatkan ekspor.
Kedaulatan
Bagaimana dengan kita? Kedaulatan kita ternyata masih sebatas
pada wilayah geografis semata. Itu pun kadang mudah diambil orang.
Selebihnya, kita tidak berdaulat sama sekali. Lucunya, atas nama ”pasar” para
ekonom dan pemuja pasar modal, kerap berperan besar dalam menggerus daulat
negara (baca: rupiah) di perekonomian sendiri.
Negara pelan-pelan digeser dari wilayah ini. Miris memang.
Bahkan di wilayah yang paling private yakni ideologi bangsa, bercokol
ideologi-ideologi asing yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45.
Tandanya, daulat negara di wilayah ini pun sudah hilang. Kita tidak
antiasing. Namun faktanya, kita kemudian mudah terdikte dan terombangambing
oleh situasi global. Pasar domestik kita yang besar dan menggiurkan itu,
diisi oleh barang-barang dan jasa serta uang panas (hot money) dari luar yang datang dan pergi sesuka hatinya.
Kita sama sekali tidak berdaulat atas perekonomian kita sendiri.
Berita terakhir yang bikin kita makin sedih rupiah masuk dalam daftar uang
‘sampah’ sedunia. Sebagaimana diketahui, mata uang yang diakui secara
internasional berjumlah 180 mata uang. Dari 180 mata uang, Indonesia masuk ke
dalam urutan keempat mata uang dengan nilai tukar yang paling rendah terhadap
dolar AS.
Herannya, rupiah lebih buruk dari Leone, mata uang Sierra Leone.
Terpuruknya harga diri rupiah ini berbanding terbalik dengan kapasitas
perekonomian kita yang menurut sebagian orang terbesar ketujuh dunia dan
terbesar di Asia Tenggara.
Fluktuasi Rupiah
Beberapa faktor penyebab pelemahan rupiah yakni pertama, sebagai
dampak dari lemahnya industri dalam negeri, ketergantungan kita kepada barang
impor jasa semakin meningkat. Padahal, kinerja ekspor kita juga tidak
bagusbagus amat. Di luar sana, impor mereka sedang ditekan. Tren surplus neraca
perdagangan Indonesia pun semakin hilang.
Kedua, negara kita sangat tergantung pada jasa asing, termasuk
transportasi barang dan penumpang. Pengangkutan barang ekspor dan impor kita
masih tergantung pada kapal-kapal asing, termasuk pembayaran royalti, lisensi,
sewa barang dan jasa berbasis kecakapan intelektual—seperti konsultan bisnis
dan riset—kepada penduduk asing jauh lebih tinggi dibandingkan pendapatan
Indonesia. Ketiga, dana asing yang masuk sangat besar. Namun di sisi lain,
dana itu mudah juga keluar.
Dana ini nangkring sesaat di investasi portofolio seperti saham,
obligasi dan transaksi derivatif. Tak ada regulasi yang menahan dana-dana ini
agar betah di dalam negeri. Di sisi lain instrumen investasi ini rentan
terhadap isu-isu penurunan pertumbuhan ekonomi, tingginya inflasi, dan
spekulasi. Terakhir, tingginya investasi asing dan besarnya utang luar negeri
pemerintah dan swasta membuat aliran pendapatan investasi keluar asing dan
pembayaran bunga dari Indonesia ke luar negeri jauh lebih besar dibandingkan
dengan yang masuk.
Penguatan Regulasi
Sebab itu, Hipmi mengimbau agar semua pihak perlu peduli atas
rupiah. Hipmi mendorong semua pihak baik legislatif, otoritas moneter, maupun
eksekutif untuk melakukan beberapa revisi dan penegakan undang-undang dan
regulasi yang dapat membuat rupiah dapat berdaulat di negara sendiri.
Pertama, revisi atas UU Lalu Lintas Devisa Nomor 24 Tahun 1999. UU Devisa ini
memang memberi kelonggaran yang cukup luas kepada BI untuk mengatur lalu
lintas devisa dan valuta asing melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Namun, PBI yang ada belum cukup ampuh menarik ratusan triliun
rupiah DHE (Devisa Hasil Ekspor) yang diparkir di luar negeri. Bila direvisi,
UU ini harus mampu menjaring DHE ke bank lokal dalam periode tertentu atau
yang disebut holding period. Kedua, revisi atas UU Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). BUMN harus kembali kepada khitahnya sebagai agent of development,
penopang perekonomian negara, dan pelopor bertransaksi dalam rupiah di
seluruh NKRI.
Ketiga, revisi UU Perbankan Nomor 10/1998. UU ini dulunya dibuat
untuk menarik investasi asing di sektor keuangan nasional. Begitu sektor
keuangan menjadi sehat, ternyata perbankan kita masih belum mampu
”bersahabat” dengan sektor riil. Poin penting lain, dalam revisi UU Perbankan
ini adalah penegasan fungsi Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
dalam lalu lintas pembayaran.
Tugas keduanya masih tumpang-tindih. Terakhir, penegasan
implementasi UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang penggunaan mata uang rupiah di
seluruh NKRI. Kehadiran negara di seluruh kegiatan perekonomian di NKRI
terlihat dari sejauh mana pemerintah dan warga bangsa ini menghargai dan
memakai mata uangnya sendiri. Sebab itu, Hipmi tak jengah-jengahnya mendorong
pemerintah dan BUMN-BUMN agar menggunakan mata uangnya sendiri dalam setiap
transaksi.
Kehormatan dan kebesaran suatu bangsa terlihat dari bagaimana
mata uangnya dapat berdaulat minimal di ”kampungnya” sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar