”Piye
Kabare”
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 18 April 2015
Hendaklah berjasa, kepada
yang sebangsa
Hendaklah jadi kepala,
buang perangai yang cela
Hendaklah memegang amanat,
buanglah khianat
(Raja Ali Haji, 1847;
penggalan Gurindam XII Pasal 11)
Kita selalu mengutuk komunisme sebagai hantu menakutkan yang
anti kemanusiaan dan anti Tuhan. Namun, Tiongkok yang komunis justru keras
memberantas korupsi. Kasus terkini, bekas Wali Kota Nanjing, Ji Jianye,
dihukum 15 tahun penjara, Selasa (7/4), dengan tuduhan suap 11,32 juta yuan
atau sekitar Rp 23 triliun. Pada hari sama, Senator Perancis Jean Germain
bunuh diri beberapa jam sebelum diadili. Ia dituduh mengambil keuntungan dari
turis-turis Tiongkok saat ia menjabat Wali Kota Tours. Di Brasil, beberapa
hari sebelumnya, dengan bukti Blackberry Messenger, 100 orang ditangkap
dengan tuduhan korupsi di perusahaan minyak negara Petrobras. Dari 100 orang
itu, 50 orang di antaranya adalah politisi.
Negara maju memperlakukan koruptor secara keras. Tidak ada
ampun. Perancis jelas negara maju dengan peradaban yang melahirkan
prinsip-prinsip liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, dan
persaudaraan). Bunuh diri bisa jadi bentuk pertanggungjawaban rasa bersalah
atau rasa malu. Tiongkok dan Brasil juga negara bersinar sebagai the emerging
national economies dalam BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika
Selatan). Negara maju bersikap tegas terhadap korupsi karena korupsi merusak
sendi serta pilar negara dan bangsa.
Kita bangga dengan negeri tercinta Indonesia yang Pancasilais,
yang sarat dengan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, keadilan. Namun, negeri
ini malah lunak terhadap koruptor. Meskipun KPK terus bertindak, koruptor
juga tak kapok-kapok. Benar-benar tidak terbayangkan ketika Adriansyah,
politisi DPR dari PDI-P, dicokok dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK,
bahkan bersamaan dengan Kongres IV PDI-P di Sanur, Bali, awal April 2015.
Kalau saja bukan OTT, kemungkinan besar nada-nada pembelaan akan menyesakkan
ruang telinga kita. Kemungkinan ada suara yang menyatakan PDI-P tengah
dikerjai. Tak terbayangkan komentar Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin
bahwa penangkapan itu tidak boleh digeneralisasi institusi DPR, tetapi hanya
oknum. Memang benar, tetapi reaksi defensif dengan mereduksi ”oknum”
sesungguhnya warisan Orde Baru yang sudah usang.
Pemimpin politik bukan menjadi motor penggerak untuk membawa
negeri ini bersih. Menyaksikan tingkah polah di DPR kerap membuat rakyat
termangu-mangu. Pekan lalu, DPR heboh ketika terjadi pemukulan sesama
anggotanya saat rapat kerja. Mulyadi, anggota Fraksi Partai Demokrat,
akhirnya melaporkan ke polisi anggota F-PPP, Mustofa Assegaf, yang
menjotosnya. Gara-garanya sangat sederhana karena saling sindir. Runyamnya,
Wakil Ketua DPR Fadli Zon bilang bahwa hal itu biasa dan di negara lain juga
terjadi. Masak perilaku tak terpuji yang dilakukan ”anggota terhormat” di
”ruang terhormat” dalam ”acara terhormat” dianggap hal lazim? Pikiran sehat
rasanya sulit mencerna tingkah polah politisi kita. Pantas saja KH
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menyebut DPR seperti taman kanak-kanak.
Ketika politisi di Senayan tampaknya sepakat mencalonkan
Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Wakil Kapolri, tak bisa dibayangkan
apa yang ada di benak anggota DPR itu. Padahal, saat Presiden Joko Widodo
membatalkan pencalonan Komjen BG sebagai Kapolri, tidak lagi karena kasus
hukum, tetapi pencalonannya yang menimbulkan kontroversi di masyarakat. Inti
persoalan adalah menyangkut rekening mencurigakan yang dimiliki pejabat,
termasuk BG, wajarkah? Kalau mau jujur semestinya urusan rekening ini mesti
diperjelas dulu agar tidak menjadi beban politik. Bagaimana pula peluang
jenderal lain yang pantas mendampingi Komjen Badrodin Haiti yang Jumat (17/4)
kemarin dilantik sebagai Kapolri (definitif)?
Setelah 17 tahun reformasi, negeri ini masih saja morat-marit,
bahkan lama-lama malah membusuk. Mengikuti Samuel Huntington (Political Development and Political Decay,
1965), pembusukan politik tak terbendung ketika negara tidak mampu
mengelola secara efektif akan tuntutan kelompok sosial yang memiliki
kekuasaan. Pilar-pilar kokoh negeri ini pun makin keropos. Mantan murid
Huntington, Francis Fukuyama (Political
Order and Political Decay, 2014), menyatakan, pola perilaku politik di
Indonesia mengarah pada neopatrimonial, ketika pemimpin politik mengadopsi
bentuk lahiriah negara modern—birokrasi, sistem hukum, pemilu, dan
sejenisnya—tetapi kenyataannya masih dipenuhi kepentingan pribadi dan
bagi-bagi keuntungan ke jaringan pendukung.
Tiba-tiba negeri ini terasa seperti pesawat Germanwings 9525
rute Barcelona-Dusseldorf yang ditengarai diterbangkan jatuh oleh ”pemegang
kuasa” di pesawat itu, kopilot Andreas Lubitz (27). Baling-baling penggerak
negeri ini mulai melemah dan sayap-sayapnya mulai patah, sulit dikepakkan.
Tiba-tiba pada Jumat siang, di sekitaran Tanah Kusir, Jakarta Selatan,
melintas sebuah mobil boks yang di bagian belakangnya tertempel stiker
bergambar mantan Presiden Soeharto dengan tulisan: Piye Kabare, uenak dijamanku to…. Kita bertahan agar tak tergoda
kembali ke sistem sentralistik yang otoriter di era Orde Baru. Namun, jengah
juga dengan kondisi ruwet sekarang ini.
Lalu, saya teringat bait-bait puisi didaktik Raja Ali Haji
(1808-1873), saat menziarahinya di tempat nan sunyi di Pulau Penyengat,
Bintan, awal April lalu. Nasihat pujangga besar dan pahlawan nasional itu,
seperti terpampang di awal tulisan ini, semestinya menjadi pegangan bagi para
pemimpin saat ini. Jika tidak, haruskah bagian-bagian yang membusuk itu diamputasi?
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar