Arbitrase
dan Kepastian Hukum
Erman Rajagukguk ; Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Indonesia
|
KORAN SINDO, 17 April 2015
Arbitrase institusi di Indonesia sering ditunjuk oleh para pihak
dalam perjanjian mereka untuk penyelesaian sengketa yang mungkin timbul di
antara mereka.
Para pihak dapat memilih arbitrer yang mereka kehendaki sehingga
dua arbitrer ditunjuk oleh para pihak dan arbitrer ketiga ditunjuk dua
arbitrer yang sudah ada. Jika dua arbitrer tersebut gagal menunjuk arbitrer
ketiga, arbitrer ketiga ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri.
Demikian ditentukan oleh Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sehubungan dengan
penyelesaian sengketa yang diselesaikan oleh arbitrase dalam negeri.
Selainitu, berdasarkan ketentuan Pasal 34 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, penyelesaian sengketa arbitrase yang
dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional
sesuai dengan kesepakatan para pihak, hukum acara penyelesaian sengketanya
dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali
ditentukan lain oleh para pihak.
Di samping itu, dalam rangka menarik modal asing, Indonesia
telah meratifikasi Konvensi New York Tahun 1958 tentang Pengakuan dan
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri. Para pihak di Indonesia adakalanya
menyelesaikan sengketa yang timbul di antara mereka melalui arbitrase di luar
Indonesia.
Pembatalan Putusan
Arbitrase
Pasal 70 undang-undang tersebut di atas menyatakan, terhadap
putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila
putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. surat atau
dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui
palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen
yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c.
putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa.
Selanjutnya Pasal 71 menyatakan, permohonan pembatalan putusan
arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada
Panitera Pengadilan Negeri. Kemudian Pasal 72 menyatakan : (1) Permohonan
pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada ketua pengadilan negeri.
(2) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, ketua
pengadilan negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau
sebagian putusan arbitrase.
(3) Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh ketua
pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima. (4) Terhadap putusan
pengadilan negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang
memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.
(5) Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 15/PUU-XII/2014 tanggal 23 Oktober
2014 telah membatalkan penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya antara lain menyatakan
pasal tersebut sudah cukup jelas (expresis
verbis) sehingga tidak perlu ditafsirkan. Yang justru menimbulkan
multitafsir adalah penjelasan pasal tersebut. Paling tidak multi tafsirny a
adalah (i) bahwa penjelasan tersebut dapat ditafsirkan apakah alasan
pengajuan permohonan harus dibuktikan oleh pengadilan terlebih dahulu sebagai
syarat pengajuan permohonan pembatalan, atau (ii) bahwa alasan pembatalan
tersebut dibuktikan dalam sidang pengadilan mengenai permohonan pembatalan.
Dengan perkataan lain, apakah sebelum mengajukan permohonan
pembatalan, pemohon harus mengajukan salah satu alasan tersebut ke pengadilan
untuk memperoleh putusan dan dengan alasan yang
telahdiputuskanpengadilantersebut menjadikan syarat untuk pengajuan
pembatalan. Atau, syarat alasan yang masih menjadi dugaan pemohon tersebut harus
dibuktikannya dalam proses pembuktian permohonan di pengadilan tempat
diajukannya permohonan pembatalan.
Dua tafsir terhadap penjelasan tersebut jelas berimplikasi
terjadi ketidakpastian hukum sehingga menimbulkan ketidakadilan. Selain itu,
manakala tafsir yang pertama yang dipergunakan, berarti pemohon dalam
mengajukan permohonan pembatalan tersebut akan berhadapan dengan proses
pengadilan. Apabila harus menempuh dua proses pengadilan, tidak mungkin
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut dipenuhi.
Menurut Mahkamah Konstitusi RI Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 telah mengakibatkan ketidakpastian hukum dan
ketidakadilan sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Maka
itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan penjelasan Pasal 70 undang-undang
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menurut pendapat hukum saya tentang hak para pihak untuk
mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase nasional sebagaimana
diatur dalam Pasal 70 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut di atas
dapat dikesampingkan berdasarkan kesepakatan bersama para pihak. Dasarnya
adalah Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya.
Pasal 70 itu sendiri menyebutkan: Terhadap putusan arbitrase
para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut
diduga mengandung unsur-unsur beberapa unsur. Kata dapat artinya para pihak
tidak wajib mengajukan permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase yang
telah dijatuhkan. Kata dapat mengandung makna tidak memaksa (imperatif).
Dengan demikian, hak para pihak untuk mengajukan permohonan
pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 dapat dikesampingkan berdasarkan kesepakatan para pihak,
yang misalnya dituangkan dalam perjanjian arbitrase yang disepakati dan telah
ditandatangani oleh para pihak. Apabila hak tersebut sudah disepakati untuk
dikesampingkan, para pihak sudah tidak memiliki hak lagi (legal standing)
untuk mengajukan permohonan pembatalan.
Mengenai keabsahan suatu tanda tangan, terlebih lagi tanda
tangan dalam suatu perjanjian yang dilegalisir oleh notaris; tidak dapat
diingkari oleh para pihak di kemudian hari karena notaris sebelum
melegalisasi perjanjian tersebut memeriksa terlebih dahulu kartu tanda
penduduk (KTP) para pihak untuk mengetahui apakah tanda tangan dalam
perjanjian tersebut sama dengan tanda tangan di KTP para pihak.
Alasan Pembatalan Putusan
Arbitrase Limitatif
Salah satu pihak tidak dapat mengajukan permohonan pembatalan
putusan arbitrase berdasarkan sebab-sebab lain karena syarat-syarat dalam
Pasal70Undang-UndangNomor 30 Tahun 1999 adalah limitatif. Salah satu pihak
tidak dapat mengajukan permohonan pembatalan berdasarkan penjelasan umum dari
undang-undang tersebut karena ketentuan yang disebutkan dalam suatu pasal
(batang tubuh) lebih kuat dari penjelasan umum.
Dasarnya adalah butir 178 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan yang menyatakan,
penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat
perubahanterselubungterhadap ketentuan peraturan perundang- undangan. Dalam
hal ini penjelasan umum dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang
menyebutkan : “Bab VII mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase.
Ini dimungkinkan karena beberapa hal antara lain (cetak miring
dari saya): a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
putusan dijatuhkan diakuipalsuataudinyatakanpalsu; b. setelah putusan diambil
ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang sengaja disembunyikan pihak
lawan; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh
salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.” Kata antara lain itu dapat
diartikan menambah alasanalasan yang baru selain a. b. dan c.
Menurut pendapat hukum saya, kata-kata antara lain telah
mengubah secara terselubung ketentuanyangdiaturolehPasal 70 Undang-Undang
Nomor30 Tahun 1999. Karena itu, menurut pendapat hukum saya, tetap yang
berlaku adalah Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang merupakan
batang tubuh undang-undang tersebut dan bukan penjelasan umum.
Jika terdapat suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap yang materinya mengenai terbuktinya alasanalasan pembatalan putusan
arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 yaitu putusan tersebut tentang terbuktinya dokumen palsu, dokumen yang
disembunyikan, dan tipu muslihat; putusan pengadilan tersebut dapat dijadikan
alasan untuk pembatalan putusan arbitrase dimaksud.
Tetapi, apabila putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
itu materinya bertentangan dengan putusan arbitrase dan bukan tentang
terbuktinya alasanalasan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 70 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999, putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap itu tidak dapat menjadi alasan untuk mengajukan
permohonan pembatalan putusan arbitrase.
Bertentangan Dengan Ketertiban Umum tidak dapat menjadi alasan
untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase dalam negeri karena
alasan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase dalam negeri
sudah limitatif diatur dalam Pasal70Undang-UndangNomor 30 Tahun 1999.
Sebelumnya Mahkamah Agung RI juga berpendapat sama, seperti
dapat diikuti dalam perkara PT Padjadjaran Indah Prima vs PT Pembangunan
Perumahan No 729 K/Pdt.Sus/2008, Mahkamah Agung RI dalam pertimbangannya
menyatakan, antara lain berpendapat : Bahwa Judex Facti yang membatalkan
Putusan BANI a quo tanpa memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 70
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 telah salah menerapkan hukum sebab alasan
pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang- Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
tersebut telah dirinci secara limitatif sebagai berikut : a. Surat atau
dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui
palsu atau dinyatakan palsu; b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen
yang bersifat menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau c.
Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa. Bahwa alasanalasan permohonan pembatalan yang
disebut dalam Pasal 70 tersebut harus dibuktikan dengan putusan pengadilan
(dalam perkara pidana) dan diluar alasan tersebut, permohonan pembatalan
harus dinyatakan tidak dapat diterima.” .
Mahkamah Agung RI kemudian memutuskan: Membatalkan Putusan Pengadilan
Negeri Sumedang No. 10/Pdt.G/2008/PN.SMD tanggal 12 Juni 2008 dan menguatkan
Putusan BANI No. 03/2007/BANI/Bandung tanggal17Maret2008baikdalam konpensi
maupun rekonpensi.
Akhirnya, saya berpendapat bahwa dalam proses arbitrase, apabila
ada dua pihak yang mengaku bertindak sebagai termohon misalnya ada dua pihak
yang mengaku sebagai pengurus dari suatu perseroan terbatas yang sama, hal
tersebut diserahkan kepada majelis arbitrase yang dibentuk untuk
menyelesaikan sengketa itu menentukan termohon sebenarnya. Ini wewenang penuh
dari majelis arbitrase yang memeriksa dan memutus perkara arbitrase tersebut.
Kesimpulan
Menurut pendapat hukum saya, alasan Bertentangan Dengan
Ketertiban Umum tersebut hanya untuk menolak pelaksanaan (eksekuatur) putusan
arbitrase luar negeri dan dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat
(2) dan Pasal 66 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 sehingga alasan
Bertentangan Dengan Ketertiban Umum tidak dapat menjadi alasan untuk
mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase karena sudah diatur secara
limitatif dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 (huruf tebal dari saya). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar