Pergaulan
Tanpa Perjumpaan
Damhuri Muhammad ; Sastrawan; Tinggal di Depok
|
KOMPAS, 18 April 2015
Sepuluh tahun lalu, warung kopi barangkali masih lazim jadi
tempat berkumpul, ruang yang lapang untuk bertemu-muka, dan bercengkerama
dengan kawan-kawan sebaya.
Namun, pada era digital ini, kedai kopi-di kota-kota besar
dimodernkan jadi kafe-telah beralih rupa jadi tempat paling layak guna
mengasingkan diri. Saban petang selepas jam kerja, dua orang yang selama
berminggu-minggu duduk berdampingan meja di kafe yang sama bisa tidak saling
sapa, apalagi berkenalan.
Masing-masing sibuk dan asyik memencet keypad telepon pintar,
tanpa peduli kanan-kiri. Keganjilan itu lumrah dan mungkin bisa dimaklumi
karena hampir semua pengunjung di kafe itu datang dengan itikad yang serupa:
mencari kesendirian.
Ini pula yang terjadi saban pagi di gerbong-gerbong kereta api
listrik (commuterline) di Jakarta.
Dalam situasi keberimpitan, ketika lutut nyaris tak bisa digerakkan dan kuduk
hampir beradu dengan siku penumpang lain, setiap orang masih nyaman dan
tampak lincah memainkan tombol-tombol telepon pintar dengan sebelah tangan,
sementara tangan satu lagi tetap kuat berpegangan.
Orang-orang yang bahu dan lengan mereka setiap hari saling
bersentuhan di gerbong yang sama boleh jadi tak pernah saling menyapa,
apalagi berbincang dengan saling bertatapan. Bahkan, agar terhindar dari
percakapan, banyak yang sengaja memasang perangkat handsfree di telinga
masing-masing.
Beberapa sahabat lama yang bertemu setelah belasan tahun
terpisah oleh jarak dan waktu kecewa karena reuni singkat itu jauh dari
harapan. Betapa tidak? Setelah berbasa-basi sekadarnya, lantas sedikit
bernostalgia tentang masa-masa bersama di sebuah restoran, satu per satu
kemudian sibuk dengan gawai sendiri-sendiri. Meja pertemuan yang semula
dibayangkan bakal riuh dan riang tiba-tiba sunyi dari obrolan dan canda-tawa.
Kerinduan yang meluap-meluap itu tak terlunaskan. Rencana pertemuan
selanjutnya mungkin tak layak dilanjutkan. Reuni itu dingin dan tak bermutu.
Begitulah kemarau kehangatan yang sedang melanda karena kita
gandrung bersembunyi di rumah virtual dalam telepon pintar. Hubungan
persahabatan yang secara manusiawi direkat oleh ekspresi muka yang
berseri-seri kini sekadar angka-angka jumlah teman di Facebook, jumlah
follower di Twitter dan Instagram. Lalu, di mana wajah yang dalam gagasan
filsuf Emmanuel Levinas (1906-1995) dipandang sebagai syarat utama
perjumpaan? Bagi Levinas, hidup bersama adalah hidup yang terus berdenyut
dengan pertemuan antarwajah. Demikian pula dengan keseharian kita. Kekariban
sesungguhnya hanya terwujud atas dasar muka bertemu muka. Ekspresi dan emosi
yang terpancar di raut wajah adalah bagian paling inti dalam relasi
persahabatan.
Gamang
Pada tingkat yang lebih janggal, telepon pintar telah sukses
membuat banyak orang gamang pada perjumpaan. Banyak yang hampir percaya,
bukan hanya muka dan segenap anggota tubuh, melainkan perasaan juga bisa
di-online-kan.
Pada masa lalu, jika kita hendak mencari sebuah alamat, ada
peribahasa lama yang selalu memandu: malu bertanya sesat di jalan. Maka,
sebelum tiba di tujuan, kita bisa dua-tiga kali bertanya kepada warga
sekitar. Bukan bertanya kepada aplikasi global positioning system (GPS) di
perangkat telepon pintar, sebagaimana kini banyak dilakukan. GPS mungkin tak
pernah salah dalam menunjuk arah, tetapi ia mengasingkan para penggunanya
dari relasi sosial yang lumrah, menjauhkan kita dari keramahan yang sejak
lama telah menjadi basis kebudayaan kita.
Demam gawai tidak mungkin dibendung. Harganya kian terjangkau.
Selain karena iming- iming cicilan ringan, kita memang gemar berbelanja
barang-barang yang sebenarnya tak dibutuhkan. "Jangankan anak- anak
sekolah, tukang beruk pun kini punya ha-pe," begitu sinisme seorang petani
di kampung saya, saat anak perempuannya-kelas III SMP-merengek minta
dibelikan telepon genggam layar sentuh.
Di pelosok-pelosok, dalam jarak hanya 4-5 rumah, seorang ibu
rumah tangga yang hendak meminjam wajan dan rupa-rupa perkakas makan untuk
hajatan tak perlu berjalan kaki menyampaikan maksudnya. Cukup menelepon dan
beres persoalan. Namun, bagaimana dengan kekerabatan bertetangga yang dulu
berpijak pada hubungan antarmuka? Bagaimana dengan etos keguyuban yang tak
mungkin ada tanpa bertemu muka?
Rumah virtual yang kita pancangkan di telepon genggam telah
merenggutnya sedemikian rupa hingga kita merasa tidak lagi butuh perjumpaan
ragawi. Dunia cyberspace memang telah melipat ruang spasial, tetapi-pada saat
yang sama-ia juga menggali jurang sosial yang nyaris tak terjembatani. Inilah
etos pergaulan tanpa perjumpaan di era digital. Alih-alih memperkokoh relasi
sosial, ia justru melahirkan personalitas yang asosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar