Pensiun
Pongki Pamungkas ; Penulis buku
The Answer Is Love
|
KORAN
TEMPO, 11 April 2015
Ini sepenggal cerita tentang seorang senior saya yang sudah
pensiun. Ia memang jauh-jauh hari telah merencanakan untuk pensiun. Ia tak
mau lagi bekerja. Katanya, ia mau "menikmati
hidup".
Dalam perjalanan menikmati hidup itu, ia pernah bercerita. Suatu
hari ia marah besar. Ia tersinggung karena sedang asyik membaca koran di
ruang tamu rumahnya, kakinya diminta diangkat oleh sang pembantu. Lantainya
hendak disapu dan dipel. "Gua jadi
ngerasa kayak diusir!"
Seorang kawan lain, dalam kadar sensitivitas serupa, mengajukan
pemikiran dari sisi pandang sang istri bila ia pensiun nanti, ia tinggal di
rumah. "Aku bayangkan, biasanya
istriku biasa bebas di pagi hari. Nanti kalau aku sudah pensiun, aku
khawatir, begitu dia keluar kamar mandi, dia akan kaget melihat aku duduk di
ruang tamu, 'lho kok ada bapak tua ini?' Takutnya dia jadi jantungan."
Seorang senior saya pernah memberi nasihat soal pensiun ini, "to retire is to expire",
pensiun berarti meniadakan eksistensi diri. Meniadakan eksistensi diri dalam
konteks ini adalah eksistensi dalam pengertian positif. Eksistensi positif
dalam kehidupan adalah keberadaan sebagai seseorang yang bermanfaat bagi
orang lain. Dalam arti demikian, bila kita memilih pensiun, artinya kita
memilih untuk menghilangkan kemanfaatan diri kita bagi orang lain. Ini
merupakan kemubaziran. Dan kemubaziran adalah hal yang sangat tidak terpuji.
Lee Kuan Yew (almarhum), Bapak Bangsa Singapura, adalah orang
yang tak kenal kata pensiun. Sesuai dengan misi hidupnya untuk membangun
negaranya menjadi negara yang makmur dan maju, hingga akhir hayat ia terus
bekerja. Bahkan, ia berujar, "Hingga
saya sudah meninggal nanti, kalau ada sesuatu yang tidak berjalan benar, saya
akan bangkit dari liang kubur dan saya akan meluruskannya." Lee
adalah contoh kelompok orang yang memilih bekerja sepanjang hayat.
Memilih pensiun, dalam arti berhenti bekerja dalam usia pensiun,
lalu mau sekadar "menikmati hidup" adalah pilihan pribadi.
Menikmati hidup dalam hal ini bisa berarti menikmati hari tua tanpa sama
sekali beraktivitas yang berbau pekerjaan, hanya mau tinggal terus di rumah,
memomong cucu, atau sekadar bermain golf.
Namun layak dipertimbangkan suatu pilihan lain yang mulia,
sebagaimana pilihan Lee Kuan Yew, menjadi orang yang bekerja sepanjang hayat.
Saya tidak tahu persis mengapa tokoh besar itu mengambil pilihan tersebut.
Saya hanya menduga, Lee tidak mendasarkan keinginannya untuk meningkatkan
kekayaan diri maupun keluarganya. Mungkin begitu.
Lee secara tulus ingin mendedikasikan segenap hidupnya bagi kehidupan
orang lain, dalam hal ini khususnya rakyat Singapura, suatu negara yang telah
didirikan dan dibangunnya menjadi negara hebat. Mungkin Lee berpandangan sama
seperti beberapa orang berikut ini. "Saya
tak akan mengeluarkan ide bagaimana merasakan usia 70 tahun. Pensiun adalah
satu kata yang tidak bisa saya visualisasi. Saya pensiun hanya manakala saya
tidur," kata Carmen Dell'Orefice, seorang model yang terus bekerja
hingga kini, dalam usia 85 tahun.
"Saya tak pernah
berpikir untuk ikut program pensiun, karena saya bekerja untuk Tuhan Yang
Maha Kuasa," ujar George Foreman, juara
petinju kelas dunia yang terus bertinju hingga usia 46 tahun. Atau menurut
pandangan lain, "Pensiun (retire)
berasal dari kata tiring (lelah, capek), dan saya tidak lelah (i'm not
tired). Saya tidak percaya soal pensiun," kata Theodore Bikel,
seorang musikus dan komposer plus produser film asal Austria.
Secara psikologis-sosial, beberapa contoh di atas menunjukkan,
tak mudah hidup bahagia (nyaman-tenteram-damai) dengan memilih menjadi
pensiunan. Meskipun, katakanlah, kita memiliki segala daya untuk tetap bisa
bersenang-senang di kala pensiun, berpesiar ke sana-kemari, bermain-main
setiap hari, sampai kapan itu akan terasa nyaman? Sampai batas mana segenap
kesenangan itu tak akan membuat kita bosan?
Pilihan untuk bekerja sepanjang hayat adalah pilihan yang lebih
positif. Bekerja dan terus memberi manfaat bagi sesama adalah suatu
kenikmatan tiada tara. Terus bekerja dan memberi manfaat bagi sesama adalah
misi hidup yang mulia, sekaligus mengumpulkan bekal menyongsong pensiun
sesungguhnya, yakni pensiun dari kehidupan dunia.
Bahwa kekuatan dan kemampuan bekerja kita pasti menurun karena
faktor usia, itu bukanlah suatu masalah. Itu adalah hal yang tak terelakkan.
Terus bekerja dengan menurunkan volume kerja (slow-down) dalam aktivitas fisik adalah pilihan tepat. Sementara
itu, di sisi lain, dengan jam terbang yang makin tinggi, satu hal yang
berpotensi akan bertambah adalah life
wisdom (kearifan hidup). Dan kearifan hidup itu adalah hal yang mahal dan
langka. Tak mengheran kalau seorang hakim wanita Mahkamah Agung Amerika,
Sandra Day O'Connor, mengatakan, "Saya butuh pensiun dari program
pensiun." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar