Nawa Cita dan Manifesto Politik Kebangkitan Desa
Joko Wahyono ; Analis Studi
Politik di Lembaga Pengkajian Teknologi dan Informasi (LPTI) Pelataran
Mataram, Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 11 April 2015
KEGADUHAN
politik tiga bulan belakangan ini menyeret perbincangan publik ke dalam
persoalan seputar istana dan kekisruhan partai politik di tingkat elite. Setiap
perbincangan seolah melupakan masyarakat bawah, meminggirkan hal-hal yang
bersifat publik atau ‘civic’. Kita bertanya, apa kabar dana desa? Sejauh mana
persiapan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan kesiapan perangkat desa?
Padahal, harapan masyarakat bawah (desa) untuk maju, berdaya, dan sejahtera
tinggal menunggu waktu.
April 2015
ini, pemerintah akan mengucurkan dana desa untuk tahap pertama. Secara
keseluruhan, nilai dana desa mencapai Rp56,3 triliun untuk 74.093 desa di
seluruh Indonesia. Merujuk UU No 6 Tahun 2014 (UU Desa), jumlah tersebut
berasal dari APBN yang meliputi dana desa dan alokasi dana desa yang
ditransfer melalui pemerintah kabupaten/kota dan dari APBD. Untuk dana desa
sendiri, sesuai dengan APBN Perubahan 2015, pemerintah menganggarkan Rp20
triliun sehingga setiap desa akan mendapat jatah Rp250 juta–Rp280 juta.
Ini merupakan
wujud dari komitmen Presiden Jokowi. Dokumen Nawa Cita merepresentasikan
semangat pemihakan desa, pemerintahan prorakyat.
Lahirnya UU Desa
diproyeksikan untuk menggairahkan desa agar memiliki semangat maju. Barang
kali tidak berlebihan jika ini disebut manifesto politik kebangkitan desa.
Selama ini, desa masih terstigma dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Desa
lebih banyak ditempatkan sebagai objek dari pilot project kebijakan, sumber dukungan politik, sumber
legitimasi penguasa, dan eksploitasi pengusaha. Akhirnya, desa masih bergelut
dengan masalah-masalah mendasar, yaitu pendidikan, kesehatan, infrastruktur,
dan lapangan kerja.
Madu atau racun
Padahal, desa
memiliki ‘segalanya’, seperti sumber daya manusia, potensi alam, kearifan lokal,
semangat kebersamaan, kekerabatan, gotong royong, dan jiwa toleransi.
Kesemuanya itu menjadi modal sosial yang potensial bagi pembangunan sekaligus
daya untuk menggerakkan emansipasi lokal. Dengan UU Desa, desa menjadi subjek
untuk mengatur dirinya sendiri, mengelola sumber daya yang dimiliki, sebagai
hak yang melekat berdasarkan konstitusi. Dana desa yang dikucurkan negara
akan menjadi supporting instrument bagi gerak pembaruan desa. Ruang bagi desa
untuk menyusun perencanaan pembangunan sesuai dengan kebutuhan terbuka lebar.
Membangun desa
dalam alur bottom up ialah cara
bagi negara untuk memperlakukan desa secara manusiawi dan berdaya. Tanpa alur
demikian, tampaknya mustahil bagi perwujudan lahirnya desa mandiri,
sejahtera, dan demokratis. Kendati demikian, agenda besar membangun Indonesia
dari pinggiran dengan memperkuat desa sebagai lumbung kekuatan bukanlah tanpa
persoalan. UU Desa dan guyuran dana yang begitu besar akan menjadi ‘racun’
jika tanpa disertai perangkat implementasi di lapangan yang kredibel, seperti
road-map yang jelas, regulasi
turunan yang koheren, instrumentasi kebijakan, pola operasional yang tepat,
serta peningkatan sumber daya manusia (SDM).
Orientasi
uang, selain berbahaya lantaran rentan menjadi incaran kepentingan poli tik
dan perburuan rente, juga membawa implikasi teknokratik yang rumit. Dana desa
berpotensi menggiring agenda pemberdayaan kepada kalkulasi kepentingan
politik parpol dan birokrasi. Semangat mengelola perubahan desa akhirnya
senyap dalam aksi nyata di lapangan, sebab yang tampak justru kehendak untuk
memperluas jangkauan penetrasi politik kementerian bersama para birokratnya.
Rakyat desa kian terjauhkan dari ruang pembelajaran dan pemberdayaan sebagai
subjek pembangunan.
Selain itu,
kekagetan menerima dana besar bisa menjadi jebakan yang menggoda suasana
mental aparat desa untuk menyalahgunakannya demi memperkaya pundi pundi
pribadi. Alokasi serta pengelolaan yang tidak adil, diskriminatif berdasar
kepentingan sektoral, kelompok, agama, adat atau suku tertentu pasti akan
memicu konflik horizontal. Konflik akibat rebutan dana desa itu juga mungkin
bakal terjadi saat momentum pemilihan kepala desa secara langsung. Dana desa
rawan untuk dikapitalisasi para kandidat, terutama kandidat petahana, untuk
meraup dukungan suara lewat politik uang. Jika demikian, dana desa bukan lagi
menjadi `madu' bagi perubahan, melainkan `racun' yang akan membunuh gerak
perubahan.
Mindset pemberdayaan
Sebagian orang
berpandangan bahwa tanpa anggaran yang memadai, mustahil bagi desa untuk
bergerak maju, mandiri, berdaya, dan sejahtera. Persoalan anggaran dianggap
sebagai masalah utama pembangunan desa.
Namun, tanpa
kapasitas manajemen pengelolaan yang kredibel dan akuntabel, itu akan menjadi
`bom waktu' bagi pembangunan. Dana desa akan memperluas sentra-sentra baru
korupsi. Terlebih, mekanisme sosial masyarakat desa pada umumnya masih
cenderung patronistis, menaruh kepercayaan besar kepada tokoh-tokoh utama
setempat. Sikap itulah yang membuka kans bagi praktik-praktik manipulasi
anggaran dana desa.
Karena itu,
implementasi UU Desa lewat alokasi anggaran dana desa harus ditempatkan pada
mindset pemberdayaan. Maka di sinilah revolusi mental yang diusung Presiden
Jokowi penting untuk mengubah mentalitas birokrasi dan elite-elite pengelola
dana desa dari mental koruptif ke antikoruptif. Mental koruptif hanya akan
menimbulkan moral hazard baru untuk menjadikan dana desa sebagai ajang
bancakan, bukan untuk pemberdayaan potensi ekonomi lokal. Pengelolaan dana
desa harus mencerminkan hak desa, arus aspirasi, dan kebutuhan desa sesuai
dengan corak lokalitas dan keragaman tradisi.
Nalar
membangun desa harus dijangkarkan pada kesediaan untuk membuka ruang
deliberasi dan partisipasi aktif warga sebagai agen perubahan sesuai dengan
mandat UU. Komitmen membangun desa harus pula dibarengi dengan upaya
peningkatan kapasitas aparat desa dalam merencanakan pembangunan yang tepat
sasaran dan menata-kelola keuangan yang akuntabel. Agenda besar desa ini
harus kita kawal bersama dengan harapan agar anggaran benar-benar digunakan
untuk mengembangkan kualitas hidup masyarakat desa. Masyarakat desa yang
berkualitas akan menjadi penggerak yang akan membawa Indonesia meraih
kejayaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar