Menghindari Represi dan Politisasi Sensor Internet
Irine Yusiana Roba ; Anggota
Komisi I DPR RI
|
MEDIA
INDONESIA, 11 April 2015
TREN
peningkatan pengawasan oleh pemerintah terhadap kegiatan dan isi pembicaraan
di internet yang terjadi di berbagai negara menunjukan bahwa ada kekhawatiran
terhadap dampak internet bagi masyarakat, baik dari aspek ekonomi, sosial,
politik, maupun keamanan negara. Yang menarik untuk dicermati ialah dasar
asumsi dan bentuk regulasi negara terhadap konten internet, yakni apakah
tindakan tersebut dapat dikategorikan dalam aras demokratis atau otoritarian?
Dalam konteks Indonesia, isu ini penting untuk menakar kekhawatiran akan
munculnya kembali penyalahgunaan kekuasaan yang otoriter.
Namun,
pemblokiran situs internet oleh pemerintah juga tidak otomatis bertentangan
dengan prinsip demokrasi, selama hal tersebut dilakukan secara legal dan
transparan untuk melindungi keamanan dan keselamatan warga. Sebagai contoh,
kita bisa melihat bagaimana negara demokratis maju juga melakukan blokir,
misalnya untuk situs yang mempromosikan ISIS, pornografi anak, dan revenge pornography. Blokir ini
dilakukan tanpa perintah pengadilan karena internet sangat cepat sehingga
pengendalian kerusakannya pun juga harus cepat.
Dugaan politisasi
Dalam konteks
Indonesia, payung hukum sebagai dasar kewenangan yang dimiliki pemerintah
dalam hal pemblokiran situs ialah Peraturan Menteri Komunikasi dan
Informatika Nomor 19 Tahun 2014 yang mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dalam aturan tersebut telah
diatur mekanisme komplain, pelibatan masyarakat, serta uji publik dalam
keputusan yang diambil. Persoalan yang seringkali mengemuka ialah bagaimana
menjaga tindakan pemblokiran tidak digunakan untuk kepentingan kekuasaan pada
satu sisi, dan politisasi kepentingan pencitraan politik pengontrol kekuasaan
pada sisi yang lain.
Sinyalemen
politisasi atas kasus pemblokiran yang harus dikontrol, misalnya bagaimana
agar parlemen didorong untuk berimbang dalam penggalian informasi dan
aspirasi dari pihak yang merasa dirugikan atas pemblokiran situs. Aturan main
dalam mekanisme rapat yang digunakan harus mengedepankan prinsip yang telah
diatur dalam mekanisme rapat parlemen. Penulis menyayangkan, rapat dengar
pendapat umum yang diadakan pada 1 April 2015 seharusnya mendengarkan
aspirasi karena sifatnya audiensi yang kewenangannya bersifat mendengarkan
dan bertanya tentang persoalan yang sedang terjadi. Namun, ternyata dalam
audiensi ini dibuat kesimpulan bahwa pemerintah melakukan tindakan represif
atas dasar sentimen terhadap agama Islam.
Dalam
pandangan penulis, politisasi terhadap kasus pemblokiran memiliki dampak
negatif terhadap kebinekaan yang menjadi prinsip dasar kita dalam berbangsa
dan bernegara. Maka, kemudian ukuran pendekatan dalam penilaian konten
negatif menjadi penting untuk sama-sama kita pahami. Untuk mengeliminasi hal
tersebut saya sependapat dengan pendekatan terminologi legal atau ilegal.
Konten negatif dinyatakan ilegal ketika berisikan ajakan yang membahayakan,
sedangkan untuk konten negatif yang isinya tidak sampai membahayakan
keselamatan umum, prosedur hukum normal masih bisa digunakan. Sepanjang
prinsip-prinsip tersebut diperhatikan, dalam pandangan penulisan hal tersebut
masih dalam koridor pendekatan demokratis.
Punya mekanisme
Mekanisme dan
praktik pengawasan dan pengaturan yang ada selama ini memang belum sempurna.
Menurut hemat penulis, paling tidak ada beberapa hal yang dapat diperhatikan
dalam memperbaiki tata aturan akses internet ke depan. Semisal, penggunaan
istilah terminologi dalam surat perintah pemblokiran, situs-situs tersebut
diblokir karena memuat isi yang membahayakan masyarakat (pertimbangan
keamanan), bukan karena radikal, karena pengertian radikal belum tentu memuat
isi yang membahayakan. Kemudian jika dalam suatu situs hanya memuat beberapa
halaman yang membahayakan, cukup diblokir beberapa halaman tersebut saja,
tidak perlu seluruh situs/domain.
Kemenkominfo
harus memiliki mekanisme pengaduan dan normalisasi situs sehingga pengelola
situs yang diblokir bisa membuat pengaduan dengan prosedur yang jelas.
Apabila ternyata situs itu kemudian dinilai tidak berbahaya, bisa dilakukan
normalisasi terhadap situs tersebut. Transparansi ini juga termasuk kriteria
apa saja yang dipakai sebagai pertimbangan untuk menilai sebuah konten
internet itu membahayakan masyarakat.
Pemanfaatan
teknologi untuk melemahkan akses pada situs konten negatif bisa menjadi
tindakan alternatif dalam kerangka pencegahan. Selain itu, upaya pelibatan masyarakat
lebih luas dalam menajamkan ukuran keselamatan umum. Dalam konteks itu saya
mengapresiasi langkah pemerintah dengan melibatkan tokoh agama dan masyarakat
sehingga meningkatkan kualitas pemahaman dalam dimensi sosial keagamaan
terkait perumusan keputusan dalam menyikapi keberadaan konten berbahaya di
dunia maya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar