Museum
Kota Surabaya
Nanang Purwono ; Wakil Pemimpin Redaksi JTV
|
JAWA POS, 16 April 2015
MUSEUM Kota Surabaya segera melengkapi destinasi wisata baru
yang sangat edukatif di Kota Surabaya. Tempatnya di gedung Siola, yang ada di
pojok Jalan Tunjungan dan Genteng Kali. Gedung Siola sendiri layak dihidupkan
sebagai mercusuar geliat Jalan Tunjungan yang juga sangat legendaris. Gedung
Siola sangat bersejarah, baik sebagai pertokoan di kawasan elite Kota
Surabaya pada era kolonialisme Belanda hingga terjadinya perang Surabaya pada
1945. Dalam perjalanannya, Siola jatuh bangun sebagai ikon kota di Jalan
Tunjungan hingga akhirnya pemkot harus mengurusi asetnya agar lebih
bermanfaat dan bermartabat bagi kepentingan umum.
Selain akan digunakan sebagai kantor pelayanan publik seperti
kantor pengelolaan tanah dan bangunan serta pusat seni Surabaya, gedung Siola
sudah dirancang sebagai sebuah museum kota. Surabaya sebagai kota besar yang
bertaraf internasional memang sudah selayaknya memiliki sebuah museum kota.
Menurut Profesor Johan Silas, seorang ahli tata kota, sebuah kota dapat
diakui secara internasional jika memiliki perpustakaan kota, teater kota, dan
museum kota yang mencerminkan dinamika kota. Kota Surabaya segera memiliki
museum kota itu.
Selama ini, museum-museum yang ada di Kota Surabaya bersifat
parsial. Yakni, hanya terkait dengan riwayat tempat yang digunakan. Misalnya
Museum Tugu Pahlawan yang terkait dengan sejarah 10 November dan Museum House
of Sampoerna yang terkait dengan riwayat industri rokoknya. Kalau toh pernah
ada, Museum Mpu Tantular, yang kala itu bertempat di Surabaya hingga akhirnya
pindah ke Sidoarjo, adalah milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur, yang
koleksinya bersifat regional (Jawa Timur).
Nah, Museum Kota Surabaya diharapkan dapat menjadi wahana
sejarah perjalanan Kota Pahlawan dengan berbagai dinamika yang ada di
dalamnya. Karena itu, Museum Kota Surabaya harus dikonsep dengan matang dan
profesional untuk tujuan yang panjang di masa yang akan datang. Museum Kota
Surabaya ibarat penyambung "balung pisah" atau "missing
link" agar warga kotanya, termasuk masyarakat umum, mengerti akan
perjalanan Kota Surabaya dan pada gilirannya dapat mengapresiasi masa lalunya
untuk membangun masa depan yang berjati diri.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini berkeinginan besar mewujudkan
semua itu. Itu suatu hal yang patut diapresiasi dan didukung agar dapat
terealisasi. Keinginan besar tersebut terlihat di acara silaturahmi dengan
kalangan seniman, budayawan, akademisi, serta pemerhati di Balai Kota
Surabaya pada 6 April 2015. Risma membeberkan rencananya untuk memanfaatkan
lagi gedung Siola sebagai pusat kesenian Surabaya, kantor pelayanan publik,
termasuk museum.
Menyimak prakata Risma ketika membeberkan rencana pendirian
museum, benda-benda kuno bersejarah yang ada di balai kota sudah menumpuk dan
perlu dicarikan tempat serta dirawat agar lebih bermanfaat sebagai media
edukasi, penelitian, dan pariwisata.
Pengelola Harus
Profesional
Setelah acara silaturahmi, penulis bersama beberapa rekan
seniman (Taufik Monyong dan Rangga) langsung menuju gedung Siola, khususnya
untuk melihat benda-benda bersejarah yang pernah menghuni gedung balai kota,
yang pada zamannya juga dipakai sebagai Kantor DPRD Kotamadya Surabaya.
Saat ini gedung berlantai tiga itu sudah kosong, sudah tidak
disewakan lagi. Beberapa tukang sibuk membenahi bagian-bagian interior gedung
yang rusak. Bahkan, penataan taman pada jalur pedestrian di Jalan Genteng
Kali juga sudah terlihat. Kabarnya, saat HUT Kota Surabaya pada Mei 2015,
fasilitas kota yang baru itu akan dibuka.
Sementara itu, di lantai satu gedung Siola terkumpul benda-benda
kuno bersejarah yang bakal mengisi Museum Kota Surabaya. Ada brankas buatan
Austria, mesin penghitung uang, jam almari, mesin ketik, peta Kota Surabaya,
termasuk mebeler meja-kursi yang didesain khusus sesuai dengan gaya
arsitektur gedung balai kota. Gedung balai kota, yang diarsiteki oleh C.
Citroen itu, dibangun pada 1923 dan mulai ditempati pada 1927.
Perlu diketahui, gedung balai kota beserta isinya adalah
sebagian kecil dari perjalanan panjang sejarah Kota Surabaya. Siapa pun
pengelolanya kelak, Museum Kota Surabaya tidak boleh terjebak dengan koleksi
benda-benda dari gedung balai kota semata. Pengelola harus bekerja keras
mencari, bahkan mengakuisisi, benda-benda lain yang punya kaitan erat dengan
sejarah Kota Surabaya. Benda-benda itu bisa berupa literatur, numismatik,
artefak-artefak, maupun prasasti-prasasti yang bisa jadi tidak berada di Kota
Surabaya.
Misalnya Prasasti Klagen di Tropodo, Krian, Kabupaten Sidoarjo.
Prasasti yang dibuat atas perintah Raja Airlangga pada 1037 itu perlu
diduplikat dengan ukuran satu berbanding satu (1:1) dan duplikatnya dipajang
di museum kota. Prasasti Klagen pada salah satu inskripsinya bercerita tentang
keberadaan Ujung Galuh sebagai desa penyeberangan yang ramai. Ujung Galuh
adalah nama kuno Kota Surabaya sebelum Raden Wijaya mengubahnya menjadi
Churabhaya pada 1293. Ada lagi Prasasti Trowulan I (1358) yang dengan jelas
menyebut nama Churabhaya (Surabaya) sebagai desa penting di pinggir Kali
Brantas karena fungsinya sebagai pelabuhan penyeberangan. Prasasti-prasasti
itu dapat digunakan sebagai sarana informasi awal awal dimulainya Kota
Surabaya.
Sumber yang paling dekat untuk membantu memperkaya museum adalah
Bank Escompto yang kini sudah menjelma sebagai Bank Mandiri. Bank Mandiri
Cabang Kembang Jepun, Surabaya, juga memiliki museum kecil-kecilan yang
men-display benda-benda yang terkait dengan sejarah perbankan.
Isinya luar biasa! Dari katalog itu, kita bisa melihat seperti
apa potret sosial ekonomi para nasabah Bank Escompto di Surabaya yang
beralamat di Jalan Kembang Jepun itu. Pada setiap lembar katalog, kita bisa
menyimak berapa banyak uang yang disimpan, apa pekerjaan si nasabah, di mana
dia tinggal, dan deskripsi tambahan tentang si nasabah. Dengan katalog itu,
kita bisa mengetahui bahwa para nasabahnya beragam. Ada notaris, ada dokter,
ada pedagang kelontong, ada juragan arloji, ada pemilik toko, ada juragan
perkebunan, dan lain-lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar