Menanak
Nasi Indonesia
M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional
|
KOMPAS, 16 April 2015
Apakah kita bisa mempercepat kemajuan kondisi bangsa? Pertanyaan
ini mengingatkan Polemik Kebudayaan pada kurun 1935-1939 antara Sutan Takdir
Alisjahbana dan yang lain.
Polemik tersebut merupakan respons generasi setelah Sumpah
Pemuda, 28 Oktober 1928, terhadap persoalan-persoalan besar dalam merumuskan
cita-cita nasional di segala bidang. Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang masih berusia 27 tahun ketika polemik dimulai merumuskan
pandangan-pandangannya dengan jelas betapapun dipandang kontroversial.
Pemicu polemik adalah tulisan STA, "Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru, Indonesia dan
Pra-Indonesia", yang lantas ditanggapi Sanusi Pane dan Purbatjaraka
pada Agustus-September 1935. Dari sini, polemik terus menggelinding hingga
1939, dengan tambahan penanggap lain, seperti Soetomo, Tjindarbumi,
Adinegoro, M Amir, dan Ki Hadjar Dewantara. Tak
seperti komentar instan dan singkat di masa media sosial zaman kita, semua
pemikiran dalam polemik ditulis dengan kalimat-kalimat yang jelas, utuh, dan
terbaca luas oleh publik pada zamannya.
Tulisan-tulisan STA menegaskan, sejarah Indonesia adalah sejarah
yang dimulai pada abad ke-20, "ketika lahir generasi baru yang dengan
insaf hendak menempuh jalan baru bagi bangsa dan negerinya". Zaman baru
tersebut berbeda dengan "zaman hingga penutup abad ke-19" sebagai
zaman pra-Indonesia. STA mengajak untuk merekonstruksi sejarah baru
Indonesia, di mana zaman Indonesia bukan sambungan atau terusan masa lalu.
Indonesia yang dicita-citakan oleh generasi baru, karena itu, bukan sambungan
Mataram atau yang lain. Kebudayaan Indonesia harus dicari sesuai keperluan
kemajuan masyarakat.
STA berpendapat, tali persatuan bangsa itu kepentingan bersama.
Sebuah bangsa tidak boleh statis, tetapi harus dinamis sehingga dapat
"berlomba-lomba di lautan dunia yang luas". STA menegaskan, bangsa Indonesia harus menanak nasi karena itu
harus menghidupkan api. Ini berbeda dengan bangsa Barat yang sudah menanak
nasi, apinya sudah menyala-nyala. Bagi Barat, masalahnya ialah bagaimana
menjaga agar nasinya jangan sampai hangus, maka mengurangi api. Kalau bangsa
Indonesia justru memikirkan bagaimana mengurangi api, maka nasi Indonesia
tidak akan masak-masak karena apinya saja tak hidup.
Api yang dimaksud STA ialah intelektualisme, individualisme,
egoisme, dan materialisme, di mana tiga hal terakhir ini tidak selalu
bermakna negatif. Semua itu berkembang di Barat. Karena itu, bagi STA, budaya
Barat perlu dilihat karena tidak saja mampu mendorong kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, juga filsafat, keagamaan, dan kesusastraan. Dalam
konteks waktu itu, STA mengibaratkan Indonesia lemah seperti "pohon yang
sudah mati, dahannya tiada berdaun, tiada berkembang, dan tidak
berbuah". Kalaupun ada daun, kembang, dan buahnya, "itu sangatlah
kecil dan merana sehingga boleh dikatakan tidak berarti di mata dunia".
Karena itu, "jiwa Barat" harus diambil, dan kebalikannya, yakni
"jiwa nrimo" alias pasrah semata-mata, harus ditolak.
Apakah dengan mengusulkan agar bangsa Indonesia mengambil
"jiwa Barat" itu berarti STA sepakat dengan pembaratan atau
westernisasi? Dalam sebuah wawancaranya pada 1976, STA mengatakan "tidak
membicarakan tentang Barat", tetapi tentang "suatu
mentalitas". STA mengaku bukan "pemuja Barat". Ia sepakat
dengan Andre Malraux bahwa Barat sudah tidak mampu lagi menghasilkan suatu
karya agung seperti Michelangelo di zaman Renaisans. STA memakai istilah "jiwa
Barat" lebih merujuk pada "manusia berpikir, mengambil
keputusan, dan memegang nasib di tangannya sendiri". Pendapat demikian merupakan perkembangan penting setelah
sekian lama polemik kebudayaan. Ia melakukan obyektivikasi justru dengan
menolak mengidentikkan mengambil "jiwa Barat" dengan pembaratan.
Api Indonesia
Sebagai refleksi untuk masa kita, apakah manusia Indonesia sudah
"berpikir, mengambil keputusan, dan memegang nasib di tangan
sendiri"? Pertanyaan itu dapat diringkas dengan sedikit modifikasi
pertanyaan Kishore Mahbubani, "can't Asian think"?; dapatkah orang
Indonesia berpikir? Pertanyaan ini penting mengingat sesungguhnya ia bersifat
abadi, tidak saja berlaku di masa penjajahan, juga lazim saja di masa kini
mengingat merdeka belum tentu mandiri dalam hal kebebasan berpikir dan
pengambilan keputusan yang terkait dengan penentuan nasib bangsa.
Maka, persoalan kita adalah bagaimana api Indonesia yang sudah
menyala sejak kemerdekaan itu terkelola secara efektif sehingga penanakan
nasi Indonesia berjalan tanpa kekurangan api. Api kita masih kecil nyalanya,
belum seperti bangsa maju lain. Namun, yang jelas, menanak nasi Indonesia
berarti menjaga apinya tetap menyala abadi, dan tentu ini lebih merupakan
urusan dan ikhtiar jangka panjang. Kepemimpinan tentu aspek penting dalam
menjaga nyala api Indonesia mengingat ada fungsi motivasi. Menjadi pemimpin
bangsa yang besar seperti Indonesia tentu tak mudah. Nyala api tak berarti
identik retorika pemimpin "solidarity maker", tetapi lebih terkait
pada efektivitas dan efisiensi kebijakan yang sistemik.
Dari STA kita setidaknya memperoleh beberapa catatan penting.
Pertama, terkait internalisasi dan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila. Ini
dasar dari pembentukan karakter bangsa. STA sangat menekankan faktor nilai,
sebagaimana terbetik dalam karya monumentalnya "Values as Integrating Forces in Personality, Society, and
Culture" (1966, 1974). Nilai-nilai Pancasila sudah sangat tepat bagi
Indonesia sebagai bangsa yang religius dan majemuk. Selama nilai-nilai ini
terjaga dan tidak memudar atau tergeser, maka roh Indonesia masih tetap ada.
Kedua, perlunya mengubah cara berpikir dan bersikap secara
modern, tetapi terukur dalam kerangka kepentingan nasional. STA menekankan
soal kepentingan nasional itu sedemikian rupa sehingga ego kelompok dan
sektoral harus ditolak. Kita harus berpikir besar soal kebangsaan, bukan
kelompok dan apalagi hanya sekadar berpikir untuk kepentingan jangka pendek.
Tentu saja itu semua bermula dari ranah personalitas atau mental perorangan
yang terus bergerak ke ranah sosial kebangsaan.
Ketiga, perlunya ikhtiar melepas ketergantungan dan memantapkan
budaya mandiri. Ini tidak sekadar terkait dengan kepemimpinan bangsa, juga
bagi khalayak yang masih terpatri pada pola kepemimpinan patrimonialistik
atau neo-patrimonial. Kita perlu model kepemimpinan dan kepengikutan yang
otentik, dengan ciri tidak memangkas kemandirian, kreativitas, dan inovasi.
Ujung dari semua ini: terbangun jalan kemandirian bangsa.
Keempat, perlunya penguatan sistem dan reformasi kelembagaan.
Dua hal ini masih menjadi pekerjaan rumah sangat serius bagi bangsa kita.
Para elite politik yang punya tanggung jawab besar untuk mewujudkan sistem
kebangsaan di segala lini sayangnya masih banyak yang-meminjam istilah
Kuntowijoyo-"berkaca mata kuda", kalau tidak terjebak pada
masalah-masalah jangka pendek dan konflik yang tidak produktif. Proses
reintelektualisasi perlu dilakukan sedemikian rupa agar para elite politik
punya kesadaran dan kapasitas akademis yang baik sehingga diharapkan mampu membuat
sistem yang baik dan efektif.
Kita perlu membentuk jiwa Indonesia sebagai jiwa yang mampu
menyalakan api kemajuan itu. Meminjam retorika Bung Hatta, kita harus lebih
cepat dan selamat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar