Keberlanjutan
Ilmu Pengetahuan
Iwan Pranoto ; Guru Besar Matematika ITB
|
KOMPAS, 16 April 2015
Pengembangan ilmu pengetahuan pada masa mendatang sama
pentingnya dengan upaya pengembangannya pada masa sekarang. Terjaminnya
peningkatan penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan pada generasi
mendatang tentu harus dirancang strateginya hari ini. Ini juga yang akan
menjamin kuatnya ekonomi bangsa pada hari esok.
Namun, kecenderungan keadaan penguasaan ilmu pengetahuan oleh
anak-anak kita sejak lebih dari 14 tahun lalu belum menampakkan peningkatan
berarti. Walau belum tentu benar mutlak dan pasti mengandung galat,
berdasarkan tes terstandardisasi internasional, kenyataannya anak-anak kita
berada di peringkat hampir terbawah. Misalnya keadaan ini dapat disimak dari
tes internasional Programme for International Student Assessment (PISA) atau
Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) sejak 2000.
Untuk terjaminnya keberlanjutan pengembangan ilmu pengetahuan di
Indonesia pada masa mendatang butuh solusi yang harus dipikirkan hari ini.
Walau mungkin terlambat, kebijakan dan peta rencana jangka panjang (30 tahun)
bagi generasi mendatang perlu disiapkan sekarang.
Citra
Pengertian bahwa kekuatan ekonomi negara pada masa sekarang dan
mendatang bergantung pada tingkat kepandaian para pemudi-pemudanya terkait
penguasaan ilmu pengetahuan umumnya sudah disadari. Artinya, orang kebanyakan
telah meyakini pengertian bahwa ilmu pengetahuan berguna serta dibutuhkan
dalam pembangunan negara. Hal ini juga sudah jamak ditekankan banyak pemimpin
dan politisi dalam berbagai pernyataan.
Malah, karena penekanan pada sisi kebergunaan ini sering
berlebihan dan tak utuh, masyarakat luas kerap berpandangan bahwa tujuan
belajar ilmu pengetahuan untuk kebergunaannya semata. Kenyataannya sekarang,
anak belajar ilmu pengetahuan terbatas karena terpaksa. Alasan murid
berilmu-pengetahuan menjadi sekadar karena akan diujikan. Akibatnya,
kesungguhan belajar atau penguasaan ilmu pengetahuan direduksi menjadi
sekadar alasan karier dan ekonomi.
Lebih merisaukan, pemahaman para politisi pada teori belajar dan
pengalaman berilmu-pengetahuan mungkin kurang cukup. Akibatnya, beberapa
pernyataan pemimpin dan politisi terkait pengembangan ilmu pengetahuan ini
kerap kontraproduktif.
Pernyataan mereka malah kerap menempatkan murid dan anak sebagai
pekerja atau hambanya, bukan sebagai subjek pengembang ilmu pengetahuan.
Pernyataan di media kerap tak bijak dan tak berpihak pada pengembangan
kepribadian anak, seperti "Pilih mana ada 100 orang stres atau 10 juta
anak bodoh?" Aromanya macho, keras, dan jauh dari suasana keibuan yang
sejatinya mengayomi, mengajak, merangkul, dan melibatkan. Akibatnya, tertanam
citra di anak bahwa belajar ilmu pengetahuan merupakan keharusan dan beban
yang dipikul menyusahkan, jauh dari citra kenikmatan.
Kecuali itu, seperti pernyataan di atas, kebijakan terkait
pendidikan dan ilmu pengetahuan kerap hanya berdasarkan mitos yang belum
tentu benar. Hampir tak pernah melibatkan teori belajar. Ke depan, perlu
penyadaran bahwa kepandaian utuh anak akan efektif tercapai hanya jika
menyala gairah belajar dari dorongan diri, bukan pemaksaan dari luar.
Anak-anak sejatinya memandang belajar ilmu pengetahuan sebagai berkat, bukan
beban. Mendengar kata sains dan matematika sejatinya membuat mata anak
berbinar-binar, bukan helaan napas panjang.
Keberhasilan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan tak cukup
disokong pekerja terampil semata, tetapi harus digerakkan oleh anak-anak yang
percaya diri, gemar bernalar, dan "menggilai" ilmu pengetahuan,
sampai kasmaran berilmu-pengetahuan.
Keindahan-kebermainan
Pandangan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan dari sudut
kebergunaannya semata perlu dilengkapkan. Sisi kebergunaan, keindahan, dan
kebermainan dari ilmu pengetahuan perlu disemaikan kepada anak secara
berimbang. Dalam sejarahnya, justru pada mulanya ilmu pengetahuan dipelajari
karena keindahannya. Jauh sebelum ilmu pengetahuan berguna, dimanfaatkan, dan
punya nilai komersial, manusia mempelajarinya untuk memuaskan hasrat ingin
tahu dan merasakan keindahannya.
Bahkan, dalam peradaban lebih dari 2.000 tahun silam sampai era
Pencerahan, di Timur ataupun di Barat, keindahan seni dan ilmu pengetahuan
menyatu. Yang mengembangkan ilmu pengetahuan juga mengembangkan kesenian.
Terlebih upaya seseorang mengembangkan ilmu pengetahuan menyatu dengan
pengembangan spiritualitas diri. Pengembangan jiwa dan karakter pelajar pada
masa itu tidak dipertentangkan dengan pengembangan ilmu pengetahuan, apalagi
dengan peningkatan kecakapan kognitifnya.
Citra ilmu pengetahuan lain yang juga penting disemaikan ialah
unsur kebermainan. Hampir semua ilmuwan sejujurnya sedikit banyak kegiatan
berilmu- pengetahuannya dipicu oleh hasrat bermain. Bahkan, matematika yang
kerap dianggap disiplin paling kaku dan dingin, sejatinya merupakan lelucon
(Bellos, 2014). Citra ilmu pengetahuan
yang sudah sempurna, formal, kantoran, dan elite harus dilengkapi dengan
citra kembarnya sebagai kegiatan yang masih berkembang, lucu, konyol,
manusiawi.
Bermain dalam berilmu-pengetahuan merupakan sikap yang baik.
Melalui bermain, manusia sungguh-sungguh melakukan kegiatannya berdasarkan
dorongan intrinsik sejati, berintegritas penuh, dan tanpa pamrih. Justru
rasanya ketiadaan unsur kebermainan ini yang menanduskan tradisi
berilmu-pengetahuan hari ini. Untuk itu, tepat saatnya dalam usia yang ke-25,
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia bersama Kemdikbud, Kemenristekdikti, LIPI,
dan lembaga nirpemerintah membincangkan rangkaian kebijakan serta kampanye
yang bersahabat dengan anak. Langkah ini menjamin keberlanjutan pengembangan
ilmu pengetahuan di beberapa generasi mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar