Maaf, Saya Mengumpat
Ali Kusno ; Cerpenis dan Pengkaji Bahasa di Kantor
Bahasa Kalimantan Timur
|
JAWA
POS, 02 April 2015
MASIH ingat dengan rapat mediasi 5 Maret 2015 yang diadakan
Kemendagri untuk menengahi kisruh antara Pemprov dan DPRD DKI Jakarta? Selain
masih berlarut-larutnya masalah itu sampai sekarang, masih ada penggalan
cerita di akhir mediasi. Rapat berakhir buntu. Beberapa oknum yang diduga
anggota DPRD DKI melontarkan umpatan "Gubernur goblok..!",
"Ahok dan SKPD anjing..!", "Anjing! Bangsat!" Sangat
memalukan.
Terbaru, muncul kasus yang menyenggol sastrawan Saut Situmorang.
Saut ditangkap polisi karena mengeluarkan kata-kata kasar di Facebook,
"Jangan mau berdamai dengan bajingan". Saat itu Saut mengomentari
sebuah tautan tentang polemik buku 33 Sastrawan Paling Berpengaruh. Terlepas
dari kasus-kasus tersebut, siapa yang benar, siapa yang salah, menarik bagi
kita membahas umpatan-umpatan tersebut.
Sejarah
Umpatan Anjing, Bangsat, dan Bajingan
Kemarahan sewaktu-waktu bisa hinggap pada diri seseorang. Ketika
marah dan tidak dapat mengontrol kemarahan, orang berpeluang besar untuk
mengumpat. Mengumpat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring berarti
mengeluarkan umpat(an); memburuk-burukkan orang; mengeluarkan kata-kata keji
(kotor) karena marah (jengkel, kecewa, dsb); mencerca; mencela keras;
mengutuk orang karena merasa diperlakukan kurang baik; memaki-maki. Di antara
sekian banyak umpatan, rupanya umpatan anjing, bangsat, tahi, dan bajingan
sedang naik daun.
Menurut Hendri F. Esnaeni, anjing kerap dianggap sebagai
binatang piaraan yang patuh, setia, dan disayang. Kebiasaan memelihara anjing
sudah berlangsung lama, termasuk di Nusantara. Di Aceh, Meurah Silu, pendiri
Kerajaan Samudera Pasai, memiliki anjing kesayangan bernama Pasai. Pasai
kemudian dipakai untuk melengkapi nama kerajaan, yang semula hanya Samudera
menjadi Samudera Pasai.
Anjing sebagai umpatan bermula ketika Kongsi Dagang Hindia Timur
(VOC) menyamakan Raja Mataram Sultan Agung dengan "seekor anjing yang
telah mengotori Masjid Jepara". Begitu pula terhadap kaum pribumi, orang
Belanda menyamakannya dengan anjing. Di tempat-tempat keramaian yang hanya
untuk kalangan Belanda, Eropa, dan Jepang, biasa tertulis Verboden voor
Inlanders en Honden (Pribumi dan Anjing Dilarang Masuk). Para politikus dan
rakyat Belanda pun mengecap Soekarno sebagai "anjing piaraan
Jepang". Kaum pergerakan mendamprat orang-orang yang bekerja sama dengan
Belanda sebagai anjing Belanda.
Anjing sebagai umpatan mengalami perluasan pemakaian. Di
beberapa tembok rumah-rumah kosong, biasanya ada tulisan Dilarang kencing di
sini kecuali anjing. Di tanah-tanah kosong ada plang bertulisan Dilarang
buang sampah di sini kecuali anjing.
Bangsat dalam KBBI berarti kutu busuk atau kepinding; orang yang
bertabiat jahat (terutama suka mencuri mencopet dsb). Dalam bahasa Jawa,
bangsat disebut tinggi, yakni kutu busuk yang bisa ditemukan di kursi anyaman
atau tempat tidur. Bangsat meminum darah manusia dan hewan berdarah panas
lainnya. Meski demikian, dalam kehidupan sehari-hari, istilah bangsat ini
mengalami pergeseran makna sebagai sebuah umpatan kekecewaan.
Bajingan dalam KBBI berarti penjahat, pencopet, kurang ajar
(kata makian). Mengutip Merdeka.com, umpatan bajingan awalnya merujuk pada
pengendara gerobak sapi. Konon, pada 1940-an, istilah bajingan tersebut kali
pertama muncul di daerah Banyumas. Pada saat itu sarana transportasi sulit
ditemukan. Sarana transportasi alternatif yang paling banyak adalah gerobak
sapi. Masalahnya, kedatangan bajingan itu bisa dibilang suka-suka. Terkadang
pagi, siang, sore, bahkan terkadang malam hari. Yah, mungkin sapinya lelah.
Masyarakat yang tidak bertemu dengan bajingan, mau tidak mau, ya
jalan kaki. Seiring dengan waktu, banyak warga yang tanpa sengaja melontarkan
kalimat-kalimat ketidakpuasan terhadap bajingan. Sejak itulah istilah
bajingan ngetren sebagai umpatan karena keterlambatan seseorang, misalnya
"Bajingan, ditunggu-tunggu tidak datang?" Sekarang umpatan itu pun
berkembang luas dan umum.
Kalau iseng-iseng kita pikir, sebenarnya apa salah anjing? Apa
salah bangsat? Apa salah bajingan? Kasihan nama mereka tercemar. Untung,
mereka tidak pernah mengajukan tuntutan pencemaran nama baik. Tidak terhitung
lagi orang yang dapat terjerat. Lha, hampir tiap hari orang menggunakannya
sebagai umpatan.
Penyebab
Ketidaksantunan
Luncuran umpatan saat bertutur dianggap sebagai bentuk
ketidaksantunan. Pranowo mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang
mengakibatkan tuturan menjadi tidak santun. Penyebab ketidaksantunan itu antara
lain: menyampaikan kritik secara langsung (menohok mitra tutur) dengan kata
atau frasa yang kasar, didorong rasa emosi, penutur protektif terhadap
pendapatnya, sengaja ingin memojokkan mitra tutur, dan menyampaikan tuduhan
atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur.
Sekarang ini yang dikhawatirkan, umpatan yang dituturkan pejabat
negara maupun figur publik di media massa maupun media sosial akan ditiru
anak-anak. Kita, yang katanya memegang adat ketimuran, diharapkan
memperhatikan kesantunan dalam tuturan. Lebih penting dari itu, anak –selain
diajari santun bertutur– perlu diajari santun berperilaku.
Etika bertutur harus didukung dengan perilaku. Ada orang yang
etika tuturannya santun, tetapi perilakunya sebaliknya. Orang seperti itulah
yang memancing Ahok mengumpat untuk kali kesekian. Ahok menjuluki orang-orang
seperti itu dengan "tahi". Menurut dia, kata yang paling cocok dan
halus untuk orang-orang yang ngembat uang rakyat ya tahi .
Ada juga orang yang mengumpat orang lain, tetapi tidak sadar sebenarnya
dialah yang lebih pantas mendapat umpatan itu. Mengumpat orang lain anjing,
padahal dirinya yang lebih pantas mendapat umpatan anjing. Mengumpat orang
lain bangsat, padahal dirinya sendiri bangsat. Mengumpat orang lain bajingan,
padahal dirinya yang lebih pantas disebut bajingan. Kok saya jadi ikutan
mengumpat. Maaf.
Hendaklah kita pandai-pandai menjaga lidah, termasuk tidak
mengumpat. Jangan sampai orang berprasangka buruk karena lidah kita ringan
mengumpat. Jangankan mengumpat sesama, mengumpat nyamuk saja Rasulullah
melarang.
Dalam hadis riwayat Ahmad, Al Bukhari dalam "Al-Adab
Al-Mufrad", Al-Bazzar, At-Thabrani, dan Al-Baihaqi dalam "Su'bul
Iman"; dari Anas bin Malik, sesungguhnya Rasulullah mendengar seorang
lelaki mengumpat nyamuk. Lalu beliau bersabda, "Jangan kauumpat nyamuk
(itu). Karena sesungguhnya ia membangunkan seorang nabi dari para nabi untuk
melakukan salat fajar!"
Bapak dan ibu terhormat yang memegang amanah rakyat biasanya
santun bertutur. Semoga santun pula perilakunya. Kalau bahasanya santun,
tetapi ternyata korupsi, itu sih memaksa rakyat berbuat dosa untuk berkata,
"Dasar pejabat perilaku bangsat!" Aduh, maaf saya mengumpat lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar