Kelembagaan
Pangan yang Terabaikan
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat;
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik
Indonesia (AEPI)
|
MEDIA INDONESIA, 14 April 2015
BELUM genap empat bulan 2015
berjalan, negeri ini kembali dirundung soal pangan. Setelah gonjang-ganjing
harga beras yang melejit tinggi, kini hal serupa terjadi pada harga kedelai.
Sebaliknya, peternak ayam menjerit karena harga jatuh. Dalam beberapa bulan
ke depan, gonjang-ganjing bakal terjadi juga pada harga gula, daging, cabai,
dan entah apa lagi. Rutinitas itu seperti penyakit menahun yang
timbul-tenggelam dan bergantung pada momentumnya.
Sejumlah hal bisa diajukan
sebagai penjelasan sahih. Mulai kebijakan berorientasi pasar, penyerahan
semua urusan pangan ke daerah, ketergantungan impor pangan yang nyaris tak
tersentuh, konsentrasi distribusi di segelintir pelaku, hingga peran
stabilisasi Bulog yang kian lemah. Tanpa mengesampingkan kelima faktor
tersebut, sesungguhnya penjelasan itu belum mencukupi untuk mengurai akar
masalah pangan kita. Ada satu sumbu utama yang membuat pangan acak adul, yakni ketiadaan kelembagaan
pangan.
Kelembagaan merupakan aturan
main, baik bersifat struktural maupun kultural. Kelembagaan lebih luas
daripada sekadar organisasi. Secara struktural, saat ini tidak ada
kelembagaan (baca: organisasi) pangan. Setelah dibentuk pada 1993, menteri
negara urusan pangan dibubarkan pada 1999. Sejak itu hingga kini tak ada lagi
lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan, dan mengarahkan
pembangunan pangan.
Akibatnya, bukan saja tidak
sinergi dengan pemda (provinsi, kabupaten/ kota), 14 kementerian dan lembaga
yang terkait urusan pangan menjadi tidak fokus, jalan sendiri-sendiri,
dan--yang memprihatinkan--justru kebijakan masing-masing saling menegasikan.
Harga beras yang melejit tinggi merupakan contoh betapa buruknya manajemen
kelembagaan pangan kita. Jika plan-do-check-action
dilakukan konsisten, penaikan harga beras dapat diantisipasi dengan baik
sejak dini tanpa ada kegaduhan, baik berulangnya budaya melempar batu
sembunyi tangan maupun tudingan kambing hitam `mafia beras'.
Tahun lalu, BMKG jauh-jauh hari
telah merilis kemarau akan mundur 1-1,5 bulan. Karena usaha tani padi amat
bergantung pada iklim dan cuaca, tanam dan panen pun mundur 1-1,5 bulan.
Artinya, musim paceklik yang biasanya berakhir tiap Januari akan mundur
hingga Februari, bahkan Maret. Harga gabah/beras yang naik tajam saat
paceklik berpotensi kian mendaki. Celakanya, informasi yang amat terang
benderang dan telah diketahui dari pengalaman berpuluh-puluh tahun itu tidak
diim bangi langkah yang cukup.
Pertama, informasi pasokan
beras yang menipis di pasar dibiarkan berminggu-minggu. Indikatornya mudah,
jumlah beras yang masuk ke Pasar Beras In duk Cipinang ber minggu-minggu
berjumlah 1.500 ton/ hari, atau hanya separuh dari kondisi normal.Kedua,
jumlah beras operasi pasar tidak memadai.Jumlah beras operasi pasar yang
dilakukan Bulog dari Desember 2014-Januari 2015 yang menggandeng PT Food
Station hanya 75 ribu ton. Jumlah itu `tidak nendang' karena tidak dapat
menutup tipisnya pasokan beras di pasar akibat paceklik.
Apalagi, pada
November 2014 hingga Januari 2015 raskin tak dibagikan. Jumlahnya 700 ribu
ton. Stok beras yang menipis di pasar jadi rebutan. Sebagai makhluk ekonomi,
amat lumrah jika pedagang lantas memanfaatkan celah (baca: peluang) itu untuk
meraih keuntungan.
Jika kemudian mismanajemen itu
berbuah harga beras melonjak tinggi, itu merupakan keniscayaan. Selama
bertahun-tahun, strategi stabilisasi harga di negeri ini mengajarkan agar
bisa berlangsung dengan baik, strategi tersebut memerlukan integrasi
hulu-hilir, dari kebijakan produksi, referensi harga gabah/beras, penyaluran
raskin, operasi pasar hingga sistem tata niaga beras secara keseluruhan.
Ternyata langkah organisasi pangan pemerintah (Kementan, Kemendag, dan Bulog)
tersebut tambal sulam. Wacana penggantian raskin dengan voucher/emo ney oleh
Kementerian BUMN makin memperkeruh suasana.
Keberadaan kelembagaan pangan
penting karena dua hal. Pertama, pemerintah bisa dinilai melanggar UU jika
kelembagaan pangan tak dibentuk. Sesuai dengan Pasal 151 UU No 18/2012
tentang Pangan, lembaga pemerintah yang menangani pangan harus terbentuk
paling lambat tiga tahun sejak UU ditetapkan alias paling lambat Oktober 2015.
Kedua, kelembagaan pangan jadi keniscayaan guna mengisi kevakuman.
Kelembagaan yang ada saat ini tidak memadai sebagai penggerak dan dirigen
pangan karena powerless.
Tantangan pangan ke depan kian
berat bukan hanya karena menurunnya kapasitas pangan domestik dalam berbagai
aspek, melainkan juga ancaman geopolitik pangan global yang dikontrol secara
monolitik oleh segelintir korporasi multinasional. Dengan sistem rantai
pangan (agri-food chain), korporasi
multinasional dapat mengontrol rantai pangan dari gen sampai rak-rak di
supermarket tanpa ada titik-titik penjualan (Eagleton, 2005). Konsekuensi arsitektur pangan seperti itu,
pertama, instabilitas jadi keniscayaan. Krisis pangan 2008 dan 2011 jadi
bukti, harga pangan pada saat itu bergerak bak roller coaster. Kedua, krisis pangan berulang. Celakanya, krisis
pangan selalu bersentuhan dengan instabilitas politik.
Dalam berbagai kesempatan,
Jokowi-JK bertekad menempatkan sektor pertanian pada posisi penting guna menggapai
kedaulatan pangan. Itu ditempuh lewat sejumlah langkah, yakni membagikan 9
juta ha lahan ke petani, menambah kepemilikan lahan dari 0,3 ha menjadi 2 ha
per keluarga petani, perbaikan irigasi di 3 juta ha sawah, membangun 25
bendungan, mencetak 1 juta ha sawah baru, dan 1 juta ha lahan pertanian
kering baru di luar Jawa-Bali. Itu termasuk mendirikan bank pertanian,
mendorong industri pengolahan, 1.000 desa berdaulat benih dan 1.000 desa go organic. Tentu hal tersebut bagus.
Namun, itu semua tidak cukup. Tanpa kelembagaan pangan yang powerfull, rutinitas masalah pangan
akan tetap berulang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar