Kecanduan
Radikalisme
Sudirman Nasir ; Pengajar di Fakultas Kesehatan
Masyarakat
Universitas Hasanuddin; Alumnus
Program Doktoral Melbourne School of Population and Global Health Universitas
Melbourne
|
REPUBLIKA, 13 April 2015
Beberapa waktu terakhir ini publik kembali ramai membicarakan
masalah radikalisme, khususnya radikalisme agama yang dipicu pemberitaan
gencar Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Pro dan kontra terus membesar
setelah pemerintah memblokir sejumlah situs internet yang dianggap
menyebarkan radikalisme.
Masalah radikalisme, fenomena individu maupun kelompok yang
melekatkan diri pada paham eksklusif (keagamaan maupun nonkeagamaan/sekuler)
yang menihilkan hak orang lain yang berbeda pandangan merupakan masalah
kompleks. Kompleksitas radikalisme itu membuat kita memerlukan banyak alat
bantu berbagai disiplin ilmu dalam upaya memahami lebih baik faktor pembuat
seorang individu atau sekelompok orang tertarik menganut paham radikalisme.
Ilmu-ilmu kesehatan bisa ikut menyumbangkan sudut pandang
bermanfaat dalam memahami dan mencari jalan keluar mengatasi patologi
radikalisme ini. Apalagi sejak beberapa tahun terakhir masalah kekerasan
dianggap juga wilayah kesehatan masyarakat mengingat besarnya korban,
kesakitan, kecacatan, dan kematian akibat tindak kekerasan (Haegerich "Violence as a public
health risk", 2011). Salah satu sudut pandang yang ditawarkan oleh
disiplin ilmu kesehatan dalam melihat masalah radikalisme ini menggunakan
kerangka konsep "kecanduan" (addiction)
atau "ketergantungan" (dependence).
Beberapa prinsip dasar mengenai "kecanduan" relevan
dipakai menganalisis masalah radikalisme secara lebih dalam. Pertama,
"kecanduan" adalah sesuatu yang dipelajari, bukan yang muncul
alami. Salah satu contoh sederhana adalah radikalisme atau dalam bentuk
paling dasar berupa kebencian terhadap yang berbeda (warna kulit, ras, jenis
kelamin, orientasi seksual, agama, ideologi, pandangan politik kelas sosial
maupun tingkat ekonomi) hampir tidak pernah ditemui pada anak-anak. Anak-anak
mulai mengenali perbedaan dan bersikap positif maupun negatif terhadap
perbedaan terutama setelah mendapat intervensi atau manipulasi dari orang
dewasa.
Kedua, "kecanduan" tidak terjadi seketika, tapi
akumulasi dari proses mencoba berkali-kali sampai mendapatkan dampak
menyenangkan (pleasure) dari suatu
zat atau stimuli termasuk paham keagamaan dan ideologi. Alasan mencoba-coba
ini sangat beragam dari pemenuhan rasa penasaran, kecenderungan meniru,
mencari identitas baru, hingga kompensasi dari kehampaan hidup yang dialami.
"Kecanduan" atau "ketergantungan" tidak selalu terjadi
pada zat (material seperti rokok/tembakau, alkohol, maupun narkoba), tapi
juga pada nonzat (seperti kecanduan judi maupun paham seperti
fundamentalisme/ radikalisme).
Setelah berulang kali mendapatkan dampak menyenangkan dari
zat/stimuli, secara bertahap seseorang akan "kecanduan". Dalam
kasus radikalisme, seseorang akan mendapatkan dampak menyenangkan berupa
"kepastian semu" (false
certainty) akibat "penyederhanaan masalah" (oversimplification) yang ditawarkan
paham ini. "Kepastian semu" hanya ajaran atau penafsiran kita yang
benar dan orang lain yang berpaham berbeda dengan sendirinya salah. Tentu
kenyataan sosial sehari-hari jauh lebih kompleks daripada ilusi
"kepastian semu" dan "penyederhanaan masalah" yang
ditawarkan oleh radikalisme itu.
Ketiga, ketika memasuki tahap "kecanduan" atau
"ketergantungan", para pecandu ini akan sangat sulit melepaskan
diri dari zat atau stimuli/paham itu. Hidup para pecandu selalu difokuskan
pada pemenuhan hasrat terhadap zat atau stimuli/paham itu.
Pada orang yang kecanduan radikalisme, ketakutan terhadap
perbedaan segera menjadi sikap tidak toleran bahkan mengesahkan atau
melakukan tindakan kekerasan terhadap pihak yang berbeda itu. Dunia dan masyarakat
disederhanakan dalam kutub "kami" (us) dan "mereka" (them/others).
Padangan dunia menjadi sangat sempit dan dikotomis seakan-akan peluang untuk
hidup bersama dan saling memperkaya akibat perbedaan itu sama sekali tidak
mungkin.
Pandangan dunia menjadi serbamenihilkan dan memusnahkan. Sering
kali secara tidak disadari mereka menjadi penganjur kebencian dan kematian
(sesuatu yang dalam ilmu kesehatan dan psikologi disebut sebagai gejala
"nekrofilia" atau kecanduan dan kegandrungan pada kematian, khususnya
kematian pihak lain yang berbeda). Diperlukan upaya rehabilitasi yang
intensif untuk mengurangi atau meninggalkan "kecanduan" atau
"ketergantungan" yang telanjur dialami. Diperlukan pula pemutusan
hubungan dengan sesama pecandu (deattachment/deradicalization)
dan peleburan kembali (reintegration)
dalam kelompok yang lebih sehat (yang siap secara mental dan praktis hidup
berdampingan dengan orang dan kelompok sosial berbeda).
Kompleksitas kecanduan radikalisme/kebencian membuat kita harus
berendah hati mengakui tidak ada satu pun obat mujarab (panacea). Namun, terdapat kumpulan pendekatan yang berdampak
positif yang meliputi pencegahan—mencegah orang-orang masuk atau mengalami
cuci otak menjadi penganut radikalisme—dan upaya rehabilitatif bagi mereka yang
telanjur kecanduan radikalisme.
Tindakan pencegahan berupa penguatan faktor pelindung seperti
penguatan tradisi berpikir kritis sejak usia dini (di rumah maupun di
sekolah) dan penghormatan terhadap kenyataan keberagaman adalah tindakan
preventif. Pemberian contoh nyata sejak usia dini betapa perbedaan adalah
sesuatu yang tak terhindarkan dan sebenarnya bisa membuat hidup menjadi
semakin kaya adalah sangat penting. Pemberian sebanyak mungkin alternatif
pemikiran mengenai kenyataan sosial yang akan membuat daya kritis menguat
juga akan membuat anak-anak/remaja memiliki kemampuan memilah informasi dan
menghindarkan diri dari para demagog penganjur radikalisme/kebencian. Hanya
orang-orang yang tidak kritis dan berpandangan sempit yang rentan menjadi
korban.
Upaya lain yang bersifat lebih struktural adalah pengurangan
lingkungan berisiko bagi tumbuhnya paham radikalisme termasuk pengurangan
kesenjangan ekonomi dan frustrasi sosial yang sering kali dieksploitasi para
demagog penganjur radikalisme dan kebencian. Bagi mereka yang telanjur
mengidap kecanduan radikalisme dan kebencian, program rehabilitasi/ deradikalisasi
dan reintegrasi perlu berkelanjutan meskipun jauh lebih rumit.
Program berkelanjutan dan komprehensif seperti ini jauh lebih
berpeluang berhasil dibanding tindakan represif seperti pemblokiran situs
internet penganjur radikalisme agama/kebencian (tanpa melalui proses
pengadilan). Tindakan terpadu (preventif dan rehabilitatif) sangat diperlukan
dalam mencegah orang terjerat kecanduan radikalisme/kebencian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar