Hukum tanpa Rasa Keadilan
Agus Riewanto
; Dosen
Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana
UNS
|
KORAN
JAKARTA, 24 Maret 2015
Publik baru
saja dikejutkan tragedi keadilan dalam
kasus hukum nenek Asyani (63) di Kab
Situbondo, Jawa Timur. Nenek buta
hukum itu telah ditahan atas tuduhan mencuri tujuh batang kayu milik PT
Perhutani yang dibantahnya. Kayu diambil dari tanah milik sendiri.
Meski sudah
memperlihatkan bukti kepemilikan tanah dan diperkuat keterangan kepala
desa, Asyani tetap dilanjutkan ke pengadilan. Demikian
pula kasus yang menimpa kakek Harso
Taruno (67), petani di Kab Gunungkidul
Yogyakarta. Dia ditahan gara-gara
dituduh menebang pohon di hutan Swakamargasatwa Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)
Paliyan, Gunungkidul.
Lokasi lahan
kakek Harso berdampingan dengan kawasan konservasi. Berbagai fakta dibeberkan
di persidangan untuk menangkis tudingan miring itu. Mata kakek Harso
berkaca-kaca setelah majelis hakim yang diketuai Yamti Agustina
membebaskannya (Koran Jakarta, 19 Maret
2015).
Kasus hukum
dua orang lanjut itu hanyalah serpihan kecil dari ratusan, bahkan ribuan
kasus serupa, namun tak terekspos media (sosial). Inilah tragedi dan ironi penegakan hukum negeri
bersendikan sila kelima Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Maknanya, seluruh rakyat diperlakukan adil dalam bidang hukum, politik, ekonomi,
kebudayaan dan kebutuhan spiritual rohani sehingga tercipta masyarakat yang adil
dan makmur.
Namun
realitasnya tidak demikian. Hukum
sangat diskriminatif karena
hanya tajam menghunjam ke bawah
dan tumpul saat diayunkan ke atas. Inilah fakta hari-hari ini. Bagi para pelaku kejahatan
berkantong tebal dan berjejaring kekuasaan politik kuat, nyaris hukum tak mampu menyentuhnya.
Sebaliknya, saat berhadapan dengan
kaum lemah, papa, miskin secara kultural maupun sosial karena tak punya jaringan kekuasaan dan politik, hukum
menjadi garang melebihi serigala.
Lihat fakta
terpidana rekening gendut 1,5 triliun
rupiah dalam kasus pembalakan liar (illegal logging) dan penimbunan BBM
yang dilakukan Aiptu Labora Sitorus di
Papua. Dia dengan mdudah keluar LP Sorong dan berbulan-bulan tidak
diketahui.
Begitu pula
dalam kasus korupsi yang menimpa sejumlah pejabat di Kemendagri dalam kasus
korupsi milirian rupiah dalam proyek percontohan KTP elekronik berbasis nomor
induk kependudukan (NIK). Mereka telah disidik sejak tahun 2010, namun tak
satu pun ditahan. Kasus korupsi penyelewengan dana haji ratusan miliar rupiah
yang menimpa bekas Menteri Agama
Suryadarma Ali dkk kendati telah ditetapkan tersangka sejak tahun 2013, hingga kini tak satu pun ditahan.
Mencoreng
Ketimpangan
inilah yang makin mencoreng wajah hukum yang kian menjauh dari rasa keadilan.
Hukum yang direpresentasikan dalam penegakan undang-undang telah menjauhkan dari esensinya, keadilan. Sejak dulu jagat hukum meyakini kebenaran pernyataan
Gustav Radbruch (1949), asas hukum
ialah keadilan, selain kemanfaatan dan kepastian.
Namun dalam
praktiknya, hukum dan keadilan seperti
bertolak belakang. Hukum seperti berjumawa meninggalan rasa keadilan. Memang hukum dirancang tidak
mungkin dapat menjalankan tiga asas itu secara bersamaan. Akan tetapi, bagi Gustav Radbruch bila tidak mampu melaksanakan asas kepastian dan
kemanfaatan, seharus keadilan adalah
yang lebih diutamakan. Gustav Radbruch menyatakan ”rechct ist wille zur
gerechtigkeit” (hukum adalah kehendak demi
keadilan).
Kini aparatur
hukum telah kehilangan kreativitas
dalam mewujudkan cita keadilan universal. Memang aparatur hukum kini tak
berpihak pada kekuasaan politik rezim tertentu, namun mereka telah memihak pada uang. Maka yang terjadi, keadilan telah beralih pada pemilik uang yang
mampu membeli keadilan.
Sedangkan
kaum miskin, maka keadilan tak pernah berpihak. Persis seperti disindir Marc Galanter (1995) dalam bukunya Why The haves Come out Ahead: Speculations
on The Limit of Legal Change.
dengan tegas dinyatakan, hukum
lebih berpihak pada orang kaya
karena memang dijalankan oleh
aparat, bukan oleh komitmen
menegakkan asas keadilannya.
Hukum tak
lagi dapat dipercaya untuk menyelesaikan aneka konflik perdata, pidana,
maupun administrasi. Pikiran aparat hukum menyatakan, menjalankan hukum bukan untuk
menegakkan keadilan, tapi lebih
ditekankan pada prosedur yang kaku dan rigid sepanjang terdapat pasal dalam
KUHP. Dengan kaca mata kuda, hukum dijalankan tanpa mempertimbangkan aspek
sosiologis terdakwa, seperti kasus
nenek Asyani dan Harso taruno yang papa dan renta.
Itulah
sebabnya dunia hukum sangat asing dan
jauh dari jangkauan nalar rakyat kecil untuk memahaminya baik dari aspek:
bahasa, logika, bahkan putusan hukum. Semua hadir dalam ruang yang sulit di
mengerti dan dan dipahami. Jadilah hukum menjadi sesuatu yang elitis. Inilah
yang mendorong rakyat kian
meminggirkan hukum negara sebagai cara utama
menyelesaiakan konflik.
Hampir semua
kasus hukum yang coba diselesaikan lewat litigasi pengadilan selalu mengecewakan dan melahirkan keputusasaan. Sesuatu yang
seharusnya diputus bebas, malah dihukum. Sebaliknya, sesuatu yang seharusnya
dihukum, justru dibebaskan.
Hukum kini
tidak lagi hitam putih, tapi menjadi abu-abu. Lebih licin permainan hukum
ketimbang politik. Tak jelas lagi
antara putusan hukum dan putusan politis. Anehnya, belakangan aneka
kasus megakorupsi yang melibatkan elite politik selalu berdalih diselesaikan
dan dipercayakan pada mekanisme hukum. Padahal sebenarnya tak pernah benar-benar
ada mekanisme hukum itu. Yang ada adalah mekanisme politis. Politik
selalu mengalahkan hukum. Jadilah
politik sebagai panglima. Hukum harus tertawan dan tunduk pada politik.
Budaya
kekerasan masyarakat dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum, seperti membakar
pencuri dan begal dalam keadaan hidup, sungguh memprihatinkan. Tapi
barangkali itu ungkapan kekecewaan pada aparat hukum. Atau juga sebagai cermin
kekerasan yang disumbangkan
sistem hukum itu sendiri.
Hukum kini
berwatak “minimalis.” Artinya,
aparatur (polisi, jaksa, dan
hakim) merasa telah menjalankan hukum bila peraturan-peraturan sudah
diterapkan sebagaimana tercantum dalam UU. Inilah cermin dari menjalankan hukum sebagai
teknologi saja.
Seharusnya
hukum dijalankan dalam watak idealis dan progresif, tidak sekadar menerapkan teks-teks peraturan begitu saja. Dia harus juga
memimikirkan nilai-nilai dan rasa keadilan.
Hukum bukan
semata-mata teknologi, tapi sarana
untuk mengekspresikan nilai dan moral. Untuk mewujudkan hukum yang berwibawa
dan memperoleh kepercayaan publik, maka saatnya kini menempatkan sistem hukum
untuk kian sensitif dalam mewujudkan rasa keadilan dan berpihak pada nilai
moral. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar