Tantangan
Badan Ekonomi Kreatif
Aris Setiawan ; Pengajar
di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta
|
KOMPAS,
05 Maret 2015
Presiden Joko Widodo telah membentuk Badan Ekonomi
Kreatif—yang dikepalai oleh Triawan Munaf—pada 26 Januari 2015. Sejak pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono, industri kreatif digadang-gadang mampu meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Bahkan, pada 2009, secara khusus SBY membentuk
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Namun, sayang, kementerian ini
seolah berjalan di tempat. Tak mampu memberikan sumbangan berarti bagi sektor
perekonomian bangsa.
Kementerian ini pada 2010 hanya menyumbang 6 persen dari
produk domestik bruto (PDB) dan pada 2014 naik tipis menjadi 7 persen dari
PDB. Sebagai kementerian anyar memang masih terlihat kurang pengalaman.
Kementerian ini justru sibuk menggelar lomba, pameran, dan lokakarya
karya-karya seni. Tak jauh berbeda dengan kegiatan yang dilakukan lembaga,
badan, dan instansi seni lain. Walhasil, kementerian ini hanya sebatas
mengandalkan program-program yang dirasa usang alias tanpa warna baru.
Bahkan, terkesan menghabiskan anggaran semata.
Presiden Jokowi berusaha membenahi sektor ini. Namun, jika
kegiatan yang dimunculkan Badan Ekonomi Kreatif (BEK) masih meniru dan
mengulang program lembaga sebelumya, dapat diperkirakan badan ini tak akan
memberikan kontribusi yang signifikan. Dibutuhkan sentuhan kreatif agar
program yang dimunculkan mampu menarik simpati pasar.
Maklum, industri kreatif di Indonesia dewasa ini
berhadapan dengan masalah pelik, terutama pembajakan. Sebutlah industri
musik, misalnya, hari ini satu karya dibuat, besok ribuan karya bajakannya
tersebar. Internet menjadi salah satu ruang yang mempermudah praktik
pembajakan karya ini. Setiap orang dapat langsung mengunduh gratis dengan
hanya sekali sentuh. Akibatnya, banyak rumah produksi rekaman gulung tikar
karena terus merugi. Musisi yang karyanya dikenal luas tak mendapat royalti
sepadan. Pajak yang harusnya dialokasikan untuk negara makin berkurang
jumlahnya.
Di satu sisi, hal tersebut jadi pekerjaan rumah yang tak
kunjung usai bagi BEK. Di sisi lain, kini anggaran yang didapatkan lembaga
ini hanya Rp 1 triliun, jauh di bawah lembaga dan institusi terdahulu. Dengan
minimnya dana, otomatis program yang akan digelar haruslah matang dan
terencana baik, serta jelas tolok ukur keberhasilannya.
Kita tentu dapat berguru pada negara-negara lain yang
telah mampu mengembangkan industri kreatifnya. Sebutlah Singapura dan
Malaysia dengan pariwisatanya, Jepang dan Thailand dengan restorannya yang
tersebar di banyak negara di Eropa, serta Korea Selatan dengan industri film
dan musiknya.
Dari segi kesenian, hampir setiap daerah memiliki ragam
seni yang unik dan khas. Namun, tak mampu dipromosikan secara baik. Selama
ini yang dikenal hanya Bali, di luar itu masih belum tersentuh. Dari segi
mode, batik memiliki peluang yang besar, tinggal bagaimana mengemas dan
mengolahnya agar lebih dikenal masyarakat dunia. Itu semua tidak akan
berjalan tanpa keseriusan dan dukungan besar dari Presiden Jokowi.
Yang ditekankan dari industri kreatif adalah kreativitas.
Membuat sesuatu yang sudah ada menjadi lebih istimewa. Sayangnya, selama ini
yang dihargai hanya aspek kekaryaan berupa hasil karya. Di bidang kesenian,
misalnya, seniman sebagai kreator jarang sekali mendapatkan penghargaan
lebih. Perhatian pemerintah berupa perlindungan terhadap seniman masih angin-
anginan. Seniman dilirik sejauh mampu menghasilkan karya bermutu. Selebihnya,
pemerintah sama sekali tak terlibat dalam proses dan perjalanan panjang dalam
membuat karya itu.
Makelar seni
BEK idealnya tidak hanya bertindak sebagai makelar atau
cukong seni, menimbun dan mengumpulkan karya seni kreatif kemudian menjualnya
dengan harga selangit. Akan tetapi, juga turut terlibat dalam merangsang atau
membangun sisi kreatif seniman. Salah satunya dengan memperhatikan nasib
mereka.
Dengan demikian, industri kreatif adalah proyek jangka
panjang yang akan senantiasa berkelanjutan, bukan hasil instan. Bukan pula
musiman: hari ini dibentuk, besok sudah mampu memajang dan menjual banyak
karya, seolah hanya menjadi tengkulak barang dagangan.
Kreativitas tak dapat ditentukan oleh waktu. Dibutuhkan
kesabaran dan ketekunan untuk menghasilkan karya yang baik dan unggul. Paling
penting adalah kesadaran menghargai proses yang baik dan jujur. Contohnya,
jangan semata melihat keberhasilan industri musik dan film Korea yang
digandrungi dunia saat ini, tetapi lihatlah bagaimana proses dan jejak
sejarah panjang pemerintah ataupun pihak terkait dalam membangun industri itu.
Intinya, tirulah kesungguhan proses, bukan hanya hasil.
Ironisnya, selama ini kita justru semata meniru hasil,
bukan laku proses. Akibatnya, Indonesia menjadi bangsa peniru alias
penjiplak. Mustahil kita dapat bersaing dengan negara lain jika hanya membajak
karya mereka tanpa sentuhan karya kreatif sama sekali. Sementara banyak karya
kreatif bermutu hasil anak negeri yang selama ini luput dari perhatian
pemerintah.
Kita bisa melihat bagaimana musik karinding dan wayang
tafip di Bandung yang mulai dilirik pasar. Banyak rumah sakit jiwa dan
penjara di Inggris serta Perancis yang berbondong-bondong memesan gamelan di
Bekonang, Jawa Tengah, sebagai sarana terapi psikologis pasien dan narapidana
(lembaga yang bergerak di bidang ini bernama Good Vibrations). Festival musik
etnik yang mampu menyedot ribuan penonton dan penampil dari luar negeri. Jika
BEK tanggap, semua itu dapat jadi lahan yang berpotensi untuk digarap. Salah
satunya dengan membuat regulasi sertifikasi bagi produk-produk yang dianggap
layak.
Namun, bagaimanapun, dengan terbentuknya lembaga ini
mengharuskan karya seni diukur dengan hitung-hitungan angka untung-rugi.
Karya seni sebagai bagian penting dari kebudayaan menjadi begitu komersial
dengan dilabeli banderol harga. Ekonomi kreatif kemudian semata berbicara
tentang harga sebuah karya. Muaranya adalah kapitalistik.
Hal ini menjadi tantangan BEK, tak semata menjual, tetapi
juga menjaga keseimbangan iklim kebudayaan negeri ini. Itu semua dapat
berjalan jika kepengurusan BEK tidak semata berpikir kapitalis alias mengejar
setoran. Dalam setiap kegiatan yang hendak digelar dapat didiskusikan
terlebih dahulu dengan semua elemen dan pihak-pihak yang memiliki
kepentingan. Dengan demikian, BEK tak hanya menjadi lembaga yang mampu
memayungi karya-karya kreatif, tetapi juga para kreator seperti seniman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar