Kelalaian
dan Perlindungan Konsumen
Rizal E Halim ; Pengajar
dan Peneliti FEUI
|
KOMPAS,
05 Maret 2015
Berita meninggalnya dua pasien-satu pasien operasi caesar,
satu lagi tindakan urologi-di Rumah Sakit Siloam, Karawaci, 12 Februari 2015,
menjadi catatan suram perlindungan konsumen di Indonesia. Kedua pasien
mendapatkan injeksi anestesi Buvanest Spinal 0,5 persen yang diproduksi PT Kalbe Farma. Setelah
injeksi, kedua pasien kejang-kejang dan akhirnya meninggal. Menurut RS
Siloam, injeksi Buvanest Spinal itu ternyata berisikan Asam Tranexamat (biasa
digunakan untuk mengatasi pendarahan).
Dugaan yang berkembang adalah tertukarnya label kemasan
produk antara Buvanest Spiral dan Asam Tranexamat. Buvanest Spinal merupakan
injeksi anestesi yang mengandung bupivacaine untuk pembiusan, sementara Asam
Tranexamat merupakan obat untuk mengatasi pendarahan. Keduanya merupakan obat
injeksi dalam bentuk ampul atau vial.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah meminta semua
rumah sakit di Indonesia untuk menghentikan sementara penggunaan kedua jenis
injeksi tersebut hingga proses investigasi selesai (Kompas, 17 Februari 2015).
Atas kasus ini, PT Kalbe Farma tanggal 12 Februari 2015
menarik semua obat injeksi Buvanest Spinal 0,5 persen Heavy 4 ml dan Asam
Tranexamat Generik 500 mg/Amp 5 ml dengan nomor batch 629668 dan 630025.
Penggunaan anestesi yang menyebabkan kematian pasien telah
banyak terjadi. Namun, penyebab kematian pasien biasanya lebih diakibatkan
sensitivitas pasien yang mendorong gagalnya fungsi jantung, kesalahan manusia
(human error) akibat teknik tidak
tepat atau kurangnya pengalaman sang anaesthetists, kegagalan peralatan, atau
persoalan kegagalan saraf atau detak
jantung semakin cepat (Saukko P &
Knight B, 2004; Rao, 2010).
Kelalaian
Sangat ironis apabila pasien meninggal gara-gara
tertukarnya label kemasan produk. Hal ini masuk kategori kelalaian yang
memunculkan pertanyaan.
Pertama, apakah proses produksi tidak ada kendali mutunya?
Kedua, dalam proses distribusi, apakah tidak ada mekanisme uji sampel dari
otoritas yang berwenang (misalnya BPOM)? Ketiga, apakah pihak distribusi,
bukan manufaktur, seperti rumah sakit, apotek, dan perantara lain, tidak
menguji ulang?
Keempat, sejauh mana tanggung jawab produsen dan
distributor terhadap kelalaian yang tidak hanya merugikan, tetapi juga
mengancam nyawa konsumen?
Dalam domain akademis dan hukum, tanggung jawab produk
dijelaskan melalui empat teori, negligence,
warranty, misrepresentation, dan strict liability (Gifis,
1975; Morgan dan Avrunin, 1982; Morgan, 1982). Apakah kasus meninggalnya
dua pasien di RS Siloam yang diduga akibat tertukarnya label kemasan obat
injeksi masuk dalam domain negligence atau misrepresentation?
Misrepresentation merupakan doktrin tanggung jawab produk
yang banyak terkait dengan pemberian informasi yang tidak sesuai, biasanya
tecermin dari kegiatan promosi. Dalam doktrin ini, misrepresentation dapat
terjadi ketika mengiklankan produk serta memberi informasi pada label,
kemasan, dan lain sebagainya tidak sesuai dengan fakta (kualitas, kegunaan,
risiko, dan lain-lain). Misalnya, agen menyatakan barang elektronik yang
dijualnya tahan lama. Ternyata dipakai sebentar lalu panas dan meledak.
Contoh lain adalah ketika produk menampilkan ingredient
yang tidak sesuai dengan kandungan dalam produk. Dalam kasus ini, prinsip
misrepresentation menjadi menonjol mengingat kemasan Buvanest Spinal, tetapi
isinya Asam Tranexamat. Namun, tertukarnya label (jika benar ini yang
terjadi) tentunya tidak untuk mendorong penjualan sehingga konteks misrepresentation menjadi tidak
relevan.
Tertukarnya label kemasan akibat kelalaian dan kecerobohan
yang berdampak fatal seperti kasus Bunavest Spinal kemudian lebih tepat
dikelompokkan pada doktrin negligence. Dalam doktrin negligence, produk
bertanggung jawab dan berkewajiban sesuai dengan aturan atau standar
yang berlaku. Jadi, jika terjadi risiko akibat pelanggaran (terutama akibat
kelalaian), produsen dapat dituntut
secara hukum (Prosser, 1971).
Dalam hukum
negligence, produsen (perusahaan) dan semua rantai distribusinya
berkewajiban dan bertanggung jawab menguji dan memastikan produk yang
dihasilkan benar-benar aman bagi konsumen. Artinya, dalam doktrin ini,
perantara (middleman) juga memiliki
porsi tanggung jawab apabila informasi dari perusahaan produsen (manufaktur)
dipandang belum memadai. Proses kerugian dan kerusakan yang disebabkan
kelalaian produsen (manufaktur) atau wholesalers atau retailers perlu
diinvestigasi oleh yang berwenang.
Contoh kasus produsen mobil Ford Motor Company yang disidangkan 1977 akibat
sistem rem yang tidak sempurna dan mengakibatkan kecelakaan pada konsumennya
(Morgan, 1982). Ford Motor Company didakwa oleh pengadilan telah lalai
memasang sistem rem yang tidak aman.
Korban adalah James Hasson (19) tahun 1970 yang tur
bersama teman-temannya dan meminjam mobil ayahnya berjenis Lincoln
Continental buatan 1966 produksi Ford. Dalam perjalanan, mereka kecelakaan
akibat sistem rem tidak berfungsi sempurna. Walaupun tidak ada korban jiwa,
James Hasson lumpuh permanen dan sistem otaknya rusak (Hasson v Ford, 1977).
Produk farmasi
Kembali ke kasus di atas, persoalan ini perlu mendapat
perhatian besar pemerintah mengingat produk-produk kesehatan (farmasi) saat
ini membanjiri pasar. Pada konteks ini, konsumen perlu mendapatkan
perlindungan memadai mengingat informasi (termasuk aksesnya), kapasitas, dan
kemampuan konsumen terbatas dalam menilai layak tidaknya, aman tidaknya
produk.
Bisa dibayangkan ada berapa banyak merek yang sebagian
besar bebas dibeli masyarakat meski pada
labelnya tertulis "harus dengan resep dokter".
Perlindungan konsumen menjadi tema yang saat ini banyak
diabaikan tidak hanya produsen, tetapi juga pemasar, bahkan pihak regulator.
Konsumen kerap menjadi korban akibat praktik bisnis yang tidak beretika.
Pemerintah perlu mendorong optimalnya peran BPOM dan
institusi pemerintah lain untuk memperketat pengawasan sejumlah produk
kesehatan, termasuk makanan dan minuman. Seberapa aman produk-produk tersebut
dikonsumsi? Seberapa adil penawaran produsen ke konsumen? Jika terjadi
pelanggaran (malapraktik) penjualan atau pemasaran, ke mana konsumen akan
mengadu?
Apakah pemerintah telah melindungi konsumen secara memadai
dengan undang-undang yang ada? Kita berharap kejadian di RS Siloam mendorong
pemerintah memberikan perlindungan yang adil bagi konsumen dan masyarakat
secara luas. Pemerintah dapat menuntut dan mengadili produsen, distributor,
dan rantai distribusi lainnya jika membahayakan konsumen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar