O
Goenawan Mohamad ; Esais, Mantan
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO,
23 Maret 2015
Aku
mau bebas dari segala
Merdeka
Juga
dari Ida
Chairil Anwar, 14 Juli
1943
Tapi tak semua orang
seperti Chairil Anwar.
Tujuh puluh dua tahun
setelah sajak itu ditulis, tampak bahwa ada yang tak mau merdeka, yang takut
merdeka, yang lelah merdeka, dan yang menyesali manusia merdeka.
Kini samar-samar mulai
tampak apa yang bisa disebut sebagai "simtom O".
Setengah abad lebih
sebelum terbit novel yang boyak tapi laris itu, Fifty Shades of Grey, dunia
buku disemarakkan (atau dihebohkan) sebuah cerita erotik yang seru, Histoire
d'O. Dalam segala segi "kisah O" karya Pauline Reage melebihi fiksi
E.L. James, meskipun keduanya berkisah tentang sadomasokhisme, tentang jiwa
dan tubuh yang menikmati hilangnya kemerdekaan dan merasa asyik disakiti dan
dibelenggu.
Kini kisah kebahagiaan
dalam takluk dan menyerah itu bisa jadi sebuah perumpamaan untuk kasus yang
lain. Dalam Soumission, novel baru Michel Houellebecq, seorang rektor
universitas bernama Rediger membujuk tokoh utama novel ini, François, untuk
membaca Kitab Suci dalam bayang-bayang Histoire d'O. "Puncak kebahagiaan
manusia," kata Rediger, "ditemukan dalam sikap menyerah secara
mutlak."
Rediger ingin agar François
masuk Islam. Dan François akhirnya mengikuti jalan itu.
Novel ini terbit 7 Januari
2015, ketika sebelas orang di kantor mingguan Charlie Hebdo sekaligus dibunuh
dua bersaudara yang mengibarkan bendera Islam. Seperti banyak yang lain,
Soumission adalah bagian dari pergulatan orang Prancis dengan agama yang
merisaukan mereka sejak Voltaire menulis lakon Le fanatisme ou Mahomet pada
1736.
Sebelum Soumission,
Houellebecq menulis Plateforme (2001), sebuah novel yang tokohnya, Michel,
menyebut turisme seks layak diterima sebagai "pembagian kerja
internasional". Nasibnya kemudian dientakkan secara mengerikan:
Valérie, pacarnya, tewas berkeping-keping bersama 116 pelacur ketika
sejumlah pemuda muslim meledakkan mereka dengan bom.
Dan novel ini pun menampilkan
percakapan dua orang Mesir yang mengecam kalimat syahadat sebagai
"nonsens".
Orang Islam marah. Tapi
seperti kemudian kita temukan dalam Soumission, novel ini bukan semata-mata
kisah kebrutalan Islam sebagai dilihat orang "Barat". Houellebecq
bahkan mengecam "Barat" dengan alasan yang sering dipakai orang
dari dunia Islam. "Aku tak merasa benci kepada Barat," kata si
narator Plateforme. "Paling-paling aku memandangnya dengan sikap
menghina. Aku hanya tahu, tiap-tiap kita penuh dengan egoisme, masokhisme,
kematian...."
Bagi Houellebecq,
"Barat" telah salah jalan sejak Zaman Pencerahan. Sejak abad ke-19
itu, manusia melihat diri sendiri sebagai makhluk yang merdeka, dan dengan
mengandalkan nalarnya lepas dari pangkuan agama. Baik Plateforme maupun Soumission
menghadirkan tokoh yang tak lagi memekik "aku mau bebas dari
segala". Michel dan François justru hidup dalam keadaan letih
kebebasan. Mereka menyesali manusia merdeka.
François seorang profesor
kesusastraan di Universitas Sorbonne yang hidup menyendiri. Ia tak berteman.
Tiap hari ia hanya pulang ke kamarnya di apartemen tinggi untuk menyantap
makanan dingin, menonton TV dan film porno. Ia merasa kehampaan yang rutin di
sekitar. Para pelacur yang ditidurinya tak menutup kekosongan itu.
Di saat itu, Prancis
berubah: sebuah partai Islam, sejenis Al-Ikhwan al-Muslimun yang moderat,
menang pemilu. Lambang bulan sabit keemasan dipasang tinggi di gerbang
Sorbonne. Perdana Menteri Ben Abbes membiarkan partai-partai koalisi
mengambil kursi kementerian lain, tapi meletakkan seorang Al-Ikhwan
al-Muslimun sebagai menteri pendidikan. Sejak itu tak ada kebinekaan budaya.
Yang ada: disiplin.
Kehidupan Prancis pun
pelan-pelan jadi lain. François melihat di masyarakat tumbuh ketertiban dan
ketenangan. Adakah Islam sebuah jalan keluar?
Itukah yang hendak
ditunjukkan?
Houellebecq tak dikenal
simpatinya kepada Islam. Tapi seperti dikatakan Mark Lilla ketika membahas
novel ini dalam The New York Review of
Books, ada yang tak disangka-sangka dalam Soumission. Sasaran kecaman
Houellebecq bukanlah Islam, melainkan Eropa yang memilih untuk memperluas
kemerdekaan manusia dengan asumsi dunia akan lebih berbahagia.
Bagi Houellebecq, justru
itulah awal kemerosotan.
Ia tentu melihat nasib O
dalam novel Pauline Reage bukan keadaan yang ideal. Tapi ia tak hendak
menyalahkan mereka yang kini dijangkiti "simtom O"—dengan memeluk
Islam, atau kembali ke dalam agama apa pun, rela terikat, rela takluk.
Mungkin Chairil perlu
dilupakan.
Tapi saya ingat Iqbal,
pemikir Islam terkenal itu. Ia yakin Tuhan menciptakan manusia sebagai
khalifah- di bumi. Maka manusia merdeka -- meskipun tak niscaya
berbahagia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar