Biennale,
Banal, dan Kita di Sirkuit Dunia
Suwarno Wisetrotomo ; ( Tanpa
Penjelasan )
|
KOMPAS,
22 Maret 2015
Di
manakah batas puas? Tentu sulit mengukurnya karena begitu relatif. Dalam
berkesenian, sering kali diserukan: jangan cepat berpuas diri. Makna yang
dihasratkan sebenarnya baik, yakni agar sang seniman terus berada dalam
dahaga kreativitas, tak cepat menepuk dada, dan tanpa sadar diselimuti
kecongkakan. Dalam frasa ”jangan cepat berpuas diri” terkandung sikap
reflektif dan kerendahhatian; bahwa apa yang dicapainya—sebutlah keberhasilan
artistik, estetik, dan ekonomi—hanyalah sekadar ”bonus”. Bukan segala-galanya
karena di atas langit masih ada langit. Karena itu, seniman yang ”berhasil”
justru semestinya semakin jelas sikap keseniannya, jelas keberpihakannya, dan
mengupayakan agar semakin berguna bagi banyak orang.
Bersikap
semakin rendah hati tanpa kehilangan sikap kritis. Sebaliknya, ketika seniman
atau siapa pun masih sibuk dengan dirinya sendiri, menepuk- nepuk dada karena
merasa sukses, patut diduga ia masih jauh dari berhasil. Pendeknya, rasa puas
terkait dengan rasa syukur. Semakin pelit bersyukur, semakin sulit menemukan
kepuasan.
Namun,
ketidakpuasan juga bisa diproduksi untuk kepentingan banyak orang. Jika
keberhasilan (sukses) diri sudah dicapai, sudah saatnya untuk tidak puas
dengan keadaan; saatnya protes dan komplain. Sampai hari ini, setelah 60
tahun merdeka, kita masih tidak puas dengan kondisi seni rupa kita. Tidak
puas dengan gagasannya, dengan gerakannya, dengan publikasinya, dengan peran
dan kontribusi kita di sirkuit dunia. Secara individu, sejumlah perupa kita
mulai moncer di panggung internasional. Namun, hal itu belum cukup.
Pemerintah harus mulai sungguh-sungguh memikirkan seni rupa (kesenian) dalam
kerangka kebudayaan yang menyeluruh. Ke dalam (negeri) masih sangat banyak
yang perlu ditata, ke luar (negeri) apalagi.
Bagaimana
memberikan perhatian yang sistemik pada ruang, program, dan akuisisi koleksi
Galeri Nasional Indonesia; berbagai peristiwa biennale (Yogyakarta, Jakarta,
Sumatera, Jawa Timur, Bali), peristiwa seperti ArtJog (Yogyakarta), Pasar
Seni ITB (Bandung), dan lain-lainnya. Bagaimana memberikan dukungan yang
sistemik dan proporsional pada kemungkinan partisipasi di pameran
internasional (Venice Biennale, Singapore Biennale, Beijing International Art
Biennale, di Amerika dan Eropa) dan lain-lain. Perlu dipikirkan bersama,
bagaimana kita tetap bisa hadir pada peristiwa seni rupa internasional, tanpa
harus melewati kekacauan proses, anggaran, pemilihan tim atau seniman.
Bagaimana mendorong partisipasi banyak pihak untuk membangun bangsa-negara
lewat kesenian secara bermartabat.
Sirkuit seni rupa dunia
Ketika
saya menyusuri Arsenale pada Venice Biennale 2013 (La Biennale di Venezia),
menuju ke paviliun Indonesia, mata dan kaki saya tertahan, sementara di
sebuah bangunan (masih di kompleks Arsenale); gedung bercat putih, dilengkapi
tangga berjalan (escalator) untuk memasuki ruang pameran. Saya segera tahu,
itulah paviliun Unit Emirat Arab (UAE) yang berpartisipasi dalam peristiwa
dua tahunan penuh gengsi itu. UAE perlu membangun eskalator, menyiapkan
minuman di depan pintu, dan brosur/katalog yang sangat memadai. Kurator Reem
Fadda dibantu enam asisten, didukung penuh oleh promotor pribadi (Sheika
Salama bint Hamdan Al), Nahyan Foundation, dan Ministry of Culture, Youth and
Community Development. Pada saat yang sama, berjarak beberapa ratus meter,
terdapat paviliun Indonesia yang menghadirkan perupa Albert Yonathan
Setyawan, Entang Wiharso, Eko Nugroho, Titarubi, Sri Astari, dan Rahayu
Supanggah.
Soal
kualitas karya dan seniman yang dipilih/dipamerkan, setiap orang bisa
memperdebatkannya. Namun, bagaimana Pemerintah UAE mengukur kepantasan tampil
dalam sirkuit seni rupa dunia itu, dapat dijadikan pelajaran (tanpa bermaksud
membandingkan). Paviliun, seniman yang dipilih, cara mempresentasikannya,
kelengkapan pameran, adalah bagaikan ”etalase iklan” yang menempel pada mobil
yang dipacu oleh sang pebalap. Pebalap, mobil, stiker/iklan yang menempel di
sekujur pakaian yang dikenakannya, di sekujur bodi mobil, para pemayung, dan
tim yang berada di ruang kendali, adalah ”etalase” yang mewakili negara dan
para pendukungnya.
Negara
hadir di sirkuit melalui sebuah tim yang solid. Sebuah event seni rupa—dalam
skala apa pun, di mana pun—memang merupakan sirkuit; arena berpacu
(kontestasi) untuk merebut ”panggung perhatian” dari banyak pihak atau banyak
orang. Seorang atau tim pebalap (=perupa) akan mendapatkan ”panggung
perhatian” jika didukung tim yang solid (kurator, organizer, pemerintah,
swasta). Tim akan solid jika ditentukan oleh mekanisme yang tertata, terbuka,
dan karenanya memiliki kredibilitas. Pemerintah berperan sebagai fasilitator,
yang memfasilitasi terpilihnya kurator, dengan mandat serta otoritas penuh
untuk memilih seniman dan karyanya yang akan dibawa dalam sirkuit tersebut.
Apakah
kondisi demikian itu mungkin terwujud? Jika semua pihak berpikir dan
berkepentingan ”melampaui kepentingan dirinya sendiri”, semuanya menjadi
mungkin.
Ketidakpuasan produktif
Rasa
tidak puas dengan keadaan, dengan pilihan, dengan pemenang, dengan keputusan,
dan sebagainya tidak perlu menggumpal menjadi komplain tanpa ujung.
Ketidakpuasan hanya sebatas menggugat tanpa solusi, sungguh kontraproduktif.
Ketidakpuasan akan produktif kalau berhasil dikonversi menjadi
langkah-langkah solusi dengan sejumlah pilihan.
Usulan
saya: pemerintah perlu segera memfasilitasi sebuah forum yang mempertemukan
berbagai pihak (kurator, kritikus, akademisi, event organizer, sponsor, staf
kedutaan, staf bea cukai, kementerian luar negeri, para kepala dinas/direktur
kebudayaan/kesenian) untuk membicarakan standar prosedur operasional (bagi
pemerintah dan mitra) pada setiap pemberian dukungan kegiatan seni rupa (juga
kesenian pada umunya). Dukungan itu bisa dilakukan setelah terlebih dahulu
dipetakan, misalnya level kegiatan, dampaknya bagi wacana, negara dan bangsa,
atau bagi keberhasilan ekonomi.
Dampak
semacam itu tak bisa dipisah-pisahkan secara rigid, tetapi bisa disusun
urutan dampaknya. Misalnya, pameran biennale (nasional dan internasional),
urutan dampaknya, prioritasnya, nilai pentingnya bagi wacana, bagi
negara-bangsa, dan seterusnya. Peristiwa art fair/pasar seni, dampak ekonomi,
pasar, wacana, industri budaya, dan seterusnya. Demikian pula pameran
tunggal, pameran kelompok, pameran komunitas, dengan melihat reputasi dan
prestasi seniman, kelompok, atau komunitasnya, digunakan sebagai dasar
dukungan oleh pemerintah.
Dari
forum semacam itu dapat disusun panduan bagi pemerintah, termasuk para mitranya,
untuk pegangan dalam memberikan dukungan. Dengan demikian, dalam setiap
merancang aktivitas seni rupa (dalam skala dan level apapun) tak lagi
terkesan improvisasi yang berujung kisruh.
Venice
Biennale merupakan biennale tertua di dunia (2013 penyelenggaraan yang ke-55
tahun) yang memiliki wibawa tersendiri. Meski bukan satu-satunya,
berpartisipasi pada peristiwa tersebut penting, untuk hadir dalam sirkuit
dunia, untuk menyuarakan isu dan pesan ”penting” agar didengar dan
diperhatikan oleh warga (seni) dunia, dan meluas menjangkiti warga masyarakat
dunia. Isu dan pesan ”penting” semestinya menjadi pegangan setiap kurator.
Bersikap
dan bertindak banal—dalam pikiran, ucapan, tindakan, berkarya seni rupa—hanya
akan merendahkan diri sendiri. Banalitas hanya menunjukkan kepentingan
praktis yang bermuara pada kedangkalan. Juga jangan membiasakan diri merawat
konflik dan intrik; jangan berharap terdapat keputusan yang independen serta
bebas kepentingan. Itu utopia kalau bukan omong kosong.
Tak
ada yang sepenuhnya independen, tak ada yang bebas kepentingan. Selalu
tersembunyi hasrat kontestasi atau kepentingan pragmatis lainnya. Tak apa.
Persoalannya, semua pilihan sikap jangan dikuasai hasrat untuk mengooptasi,
kemudian membuat keputusan dengan plintat-plintut, yang dituntun oleh
kepentingan pribadi atau kelompoknya. Sejauh semua diputuskan melalui
mekanisme sistemik, terbuka, ditujukan untuk kepentingan banyak orang,
apalagi demi bangsa-negara, kita (semestinya) bisa menerima, tentu tetap
disertai dengan catatan kritis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar