Negara
Goenawan Mohamad ; Esais, Mantan Pemimpin
Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO,
02 Maret 2015
Ke depan sebuah gerbang
seseorang datang dari udik dan berkata kepada lelaki tegap yang ia duga
bertugas sebagai penjaga: "Saya datang untuk melihat Negara. Saya ingin
masuk ke dalam."
Orang yang ia duga petugas itu
(dengan pakaian hitam yang mungkin baju seragam) menatapnya sejenak, lalu
menjawab, "Maaf. Ada prosedur."
Ketika ditanya bagaimana
prosedur itu, si penjaga hanya menggeleng. "Tak begitu jelas,
sebenarnya-kalau saya boleh berterus terang. Maksud saya, Saudara harus
menunggu."
Maka orang dari udik itu pun
menunggu. Sejenak ia waswas bahwa ia akan di sana lama sekali, menanti,
duduk, berbaring, tidur, bangun, dan seterusnya, sampai entah kapan-ia waswas
bahwa ia sedang berperan dalam sebuah cerita Kafka.
Tapi kemudian ia lihat orang
yang ia duga sebagai penjaga itu tak ada lagi. Tempat itu kosong. Mungkin di
sini tak perlu ada konsistensi. Sekarang terpasang sebuah maklumat:
"Silakan masuk."
Tamu itu pun masuk.
Dua meter ia melangkah, di
hadapannya, agak ke kanan, terukir sebuah tulisan lain: "Dilarang
membawa hal-hal yang dilarang."
Tak ada penjelasan apa yang
dimaksud dengan "hal-hal" itu. Maka tamu itu menyimpulkan bahwa
maklumat itu hanya kata-kata yang tak akan punya efek. Ia pun berjalan terus.
Ia memasuki sebuah gang kecil yang berkelok-kelok. Ada bau sigaret. Toilet.
Makanan kecil. Kertas-kertas.
Ia sebenarnya terkejut. Ia
semula menyangka Negara sebuah arsitektur berbentuk bujur sangkar. Tapi yang
ditemuinya sebuah terowongan, mirip labirin, dengan dinding yang dipasangi
beribu-ribu cermin yang, sebagaimana halnya cermin di kamar kita, tak
transparan dan memantulkan semua hal terbalik.
Sejenak, orang dari udik itu
terpekur. Di mana ia sebenarnya: dalam sebuah cerita Kafka tentang laki-laki
yang entah sabar entah putus asa menunggu terus di depan Hukum dan Kekuasaan
yang tak pernah terbuka? Ataukah ia seperti si Alice yang memasuki dunia
ganjil dalam novel Lewis Carroll, Through
the Looking-Glass?
Mendadak seseorang muncul di
tepi terowongan dan berkata: "Dilarang membawa kata dari luar."
"Kata? Dilarang membawa
kata? Bapak siapa?"
"Saya pegawai
negara." Ia tak menyebut nama. Hanya nomor. Wajah orang itu rata.
Tingginya rata. Kostumnya tak berwarna.
"Saya dari bagian
wastasing, kantor BLTR."
Sang tamu dengan segera tahu,
"wastasing" yang baru didengarnya itu pasti sebuah akronim. Tapi ia
tak merasa perlu menebak apa artinya, juga tak mencoba menduga kata apa yang
diringkus dalam singkatan "BLTR" itu. Ia merasa tafsir apa pun tak
ada gunanya.
Di belakang pegawai itu ada
sebuah pintu yang terkuak ke sebuah kamar. Di dalam kamar itu tampak ada yang
berdesak-desak: ratusan akronim dan singkatan. Beberapa bertampang keren dan
bergas, tapi sebagian besar mulai kuning dan layu.
"Negara," kata tamu
dari udik itu dalam hati, "tampaknya dibuat dari ribuan akronim."
Ia mencoba mengingat-ingat: Kabag. Kadin. Waka. BPKP. Sudin. BKST. Subdit.
TBK. Karo. PKLN. Tupoksi. Raker. Rusid. Pokja. Ranmor. Miras. Bareskrim.
Ia mulai melihat, dalam labirin
itu akronim dan singkatan itu berbaris dari lorong ke lorong, dari bilik ke
bilik. Tampaknya mereka saling bisik -- ya, mereka berbisik dalam kombinasi
kosakata yang tak bersentuhan dengan percakapan yang datang dari luar.
Maka yang terdengar adalah
sebuah bahasa yang tak ingin dimengerti dan dirasakan, yang tak bisa dipakai
untuk menganalisis dan bercanda, yang tak dapat melahirkan puisi atau
melontarkan lelucon-sebuah bahasa yang jadi berarti bagi penghuni Negara
karena secara rutin datang dan pergi dari SK ke SK, dari dokumen ke dokumen,
dari kamar rapat yang satu ke kamar rapat yang lain. Pendeknya, sebuah bahasa
yang cocok dengan sebuah labirin: bahasa yang berhati-hati dan membingungkan.
Tamu itu pun melangkah terus
melalui kamar-kamar dengan pintu tertutup. Pada jam ketiga ia merasa pegawai
negara dari bagian "wastasing, kantor BLTR" itu berjalan
mengikutinya.
"Bapak tidak sibuk?"
sang tamu bertanya.
"Kita harus bergerak
maju," terdengar jawab. Wajah itu rata, suara itu rata.
Ketika tamu itu mengernyitkan
jidat, pegawai itu pun menunjuk ke dinding, ke deretan cermin-cermin.
Seketika itu semuanya jadi jelas: seperti sudah disebut di atas, cermin itu
tak transparan dan menampilkan semua hal terbalik. Kiri adalah kanan. Maju
adalah mundur. Gerak adalah mandek. Tujuan adalah prosedur. Sebab adalah
akibat. Peraturan yang rapi adalah peraturan yang ruwet. Tertib adalah chaos.
Sanksi adalah promosi. Mengamankan adalah membuat rasa tidak aman. Menjaga
adalah memperlemah.
Ketika tamu itu melihat lebih
jauh ke dalam cermin, labirin raksasa itu ternyata mirip sebuah papan catur
besar. Di atasnya bidak-bidak hanya mengikuti kotak dua warna: hitam-putih.
Gerak mereka sudah ditentukan.
Menatap itu dengan agak sedih
dan takjub, tamu kita pun mulai merasa ganjil: ia bukan sedang memasuki
sebuah cerita Kafka. Ia sedang dalam buku Through
the Looking-Glass. Lewis Carroll berkisah bahwa dalam mimpinya Alice naik
ke sebuah papan catur yang absurd, dan bidak Ratu berkata: "HERE, you see, it takes all the
running YOU can do, to keep in the same place."
Jika di papan catur ini orang harus
berlari sebanyak-banyaknya agar dapat berada di tempat yang sama, berarti
Negara tak punya arah, demikian tamu kita berpikir. Berarti tak seperti yang
selama ini dibayangkan di luar.
Di luar, Negara memang
dibayangkan sebagai alat-untuk menindas atau sebaliknya untuk melindungi.
Tapi ketika tamu dari udik itu keluar dari dalamnya ia menyimpulkan,
"Saya tak tahu buat apa sebenarnya labirin itu." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar