Di
Situ Saya Kadang Merasa Sedih
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 01 Maret 2015
Itulah ungkapan dari seorang polwan, Brigadir Dewi Sri Mulyani,
yang tiba-tiba menjadi fenomenal dan menarik perhatian jago speech composing Eka Gustiwana.
Ungkapan itu pun jadi speech
composing yang makin menarik untuk disimak. Termasuk antara lain, ”Lagi enak-enak makan, tiba-tiba lidah
kegigit... di situ kadang saya merasa sedih” atau ”Saat buka ciki, tapi cikinya tumpah semua ... di situ kadang saya
merasa sedih” atau ini yang paling seru, ”Pas udah pup, pas mau cebok gak ada air .... di situ kadang saya
merasa sedih”.
Eka mengunggahnya di media sosial pertama kali pada tanggal 22
Februari 2015. Empat hari kemudian, waktu saya menulis artikel ini, sudah
di-like oleh 1.363 orang dan 23 dislike serta ditonton oleh 42.967 viewer.
Saya sendiri sudah agak lama menonton ungkapan Brigadir Dewi itu, sebagai
bagian dari iklan acara 86 (Operasi Polisi) di salah satu stasiun TV. Tapi
fenomena Brigadir Dewi bukan yang pertama, apalagi satu-satunya.
Pada tahun 2011 kita juga pernah dihebohkan oleh fenomena Brigadir
Satu (Briptu) Norman, anggota Brimob di Gorontalo, yang tiba-tiba mencuat
menjadi penyanyi dangdut yang sangat terkenal hanya gara-gara dia lipsing
lagu India Chaiyya... chaiyya di pos jaga dan diunggah oleh temannya ke
Youtube. Dari sanalah dia mendapat sambutan luar biasa dari pengguna Youtube
sehingga akhirnya dia diundang ke Jakarta untuk perform di Jakarta.
Mula-mula masih izin atasan, tampil berseragam Brimob,
didampingi perwira-perwira atasannya yangikutgembira karena ada polisi yang
bisa menghibur masyarakat. Tapi lamalama Briptu Norman tidak betah dikawal
atasan terus, maka dia ke Jakarta untuk rekaman tanpa izin sehingga dia kena
ganjaran dipecat dan sekarang jadi tukang bubur manado di kawasan Kalibata,
Jakarta Selatan, dan hampir tidak ada lagi yang kenal, apalagi ingat sama
dia.
Brigadir Dewi suatu saat sudah pasti akan dilupakan juga
walaupun dia tidak akan terjebak dalam kasus desersi yang bisa memutus
kariernya. Namun yang sebenarnya saya ingin cerita bukan tentang polisi,
karier polisi atau bahkan oknum polisi. Juga bukan soal polisi versus KPK.
Yang ingin saya bahas di sini adalah tentang fenomena meme di media sosial.
Suatu gejala yang baru tahun-tahun terakhir ini saja terkenal
dan dipakai meluas mulai dari kaum elite masyarakat papan atas sampai ke
tukang gorengan, anak sekolah, PRT (pembantu rumah tangga), dan siapa saja
yang bisa punya HP yang sekarang harganya hanya lebih mahal sedikit dari
gratis.
Zaman dulu sekali, diawalRepublik Indonesia baru berdiri, setiap
tanggal 17 Agustus Bung Karno berpidato di Istana Negara dan disiarkan
melalui radio ke seluruh Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, pidatonya bisa
sampai tiga jam dan orang pun tekun mendengarkan dan selama setahun
berikutnya, apa yang dipidatokan itu akan menjadi arahan atau pedoman hidup
seluruh bangsa Indonesia.
Di zamannya Pak Harto sudah ada TV yang mulai beroperasi sejak
masa akhir pemerintahan Bung Karno. Tapi TV waktu itu dikelola oleh satu
stasiun saja, yaitu TVRI yang merupakan TV pemerintah. Jadi informasi masih
terpusat di tangan pemerintah. Setiap ada masalah, Menteri Penerangan Harmoko
menghadap Presiden Soeharto ke Istana atau Binagraha. Keluar dari Binagraha,
Menteri Harmoko akan mengumumkan melalui TVRI petunjuk Bapak Presiden yang
selanjutnya akan dijadikan pedoman oleh segenap lapisan masyarakat.
Jadi sampai di situ pemerintah masih jadi penentu terpenting
dalam pembentukan opini masyarakat. Situasi berubah ketika Indonesia mulai
mengenal TV swasta dan radio-radio swasta. Bersama dengan koran-koran dan
majalah yang sudah lebih dahulu ada, media baru ini disebut media massa yang
bisa menyebarluaskan berita dan opini di luar pemerintah, tetapi masih
dikendalikan oleh beberapa institusi tertentu (Dewan Pers, Persatuan Wartawan
Indonesia, asosiasi jurnalis, asosiasi TV swasta, Persatuan Radio Siaran
Swasta Nasional Indonesia, perusahaan-perusahaan pemilik media massa, UU,
Kementerian Kominfo, dll).
Tapi situasi betul-betul berubah setelah media sosial berkembang
melalui teknologi internet. Media ini adalah media komunikasi lewat internet
yang terbuka, siapa saja bisa berhubungan dengan siapa saja, ngomong tentang
apa saja. Di sini pemerintah sudah hampir tidak punya kendali sama sekali di
bidang informasi. Pendapat publik yang dulu mengerucut pada arahan Presiden
atau pemerintah sekarang sangat simpang siur. Apa saja bisa jadi opini.
Di situlah Brigadir Dewi dan Briptu Norman bisa seketika naik
daun, tetapi juga cepat hilang turun lagi. Apalagi media massa selalu
membutuhkan sumber berita, maka apa pun yang tersiar di media sosial cepat
sekali diunggah ke media massa. Begitu sudah masuk media masa, fenomena itu
cepat ditularkan dari satu orang ke orang lain, dari satu kelompok ke
kelompok lain.
Itulah yang disebut meme, yaitu gagasan, ide, mimik atau gerak
yang cepat tersebar dan ditiru melalui jalur komunikasi budaya. Ketika jalur
itu berevolusi makin cepat, perubahan sosial, politik, dan budaya lewat meme
ini pun bertambah cepat. Bukan hanya cepat, tetapi juga tak terkendali
arahnya, dia bisa lari ke mana saja.
Penyanyi-penyanyi yang ngetop hari ini banyak yang mengawali
debutnya melalui Youtube. Para koordinator lapangan aksi-massa mengerahkan
massanya cukup lewatWhatsapp dengan menggunakan berbagai bentuk pesan melalui
media sosial, termasuk meme.
Tapi kawanan geng motor, begal, ISIS, dan teroris juga
menggunakan meme yang disebar melalui berbagai media sosial seperti Facebook,
website, blog, Twitter, BBM, Path, Instagram, dan entah apa lagi untuk
memengaruhi pikiran publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar