Makroprudensial
dan Stabilitas Sistem Keuangan
Firmanzah ; Rektor Paramadina dan
Guru Besar FEUI
|
KORAN
SINDO, 02 Maret 2015
Otoritas moneter dan fiskal di banyak negara tengah diuji untuk
merumuskan kebijakan yang tepat menghadapi membanjirnya dana jangka pendek
dan risiko ketika dana tersebut keluar dalam tempo yang singkat dari
negaranya.
Tuntutan untuk semakin menerapkan kebijakan makroprudensial
sebagai langkah mitigasi dampak mobilitas penempatan dana jangka pendek
semakin penting bagi banyak negara. Di pasar modal kita, aksi net-buy
investor asing perlu kita waspadai mengingat dana ini bersifat jangka pendek.
Dana itu sewaktu-waktu bisa keluar mendadak (sudden reversal) dan berisiko membahayakan stabilitas pasar
keuangan Indonesia.
Terlebih investor asing sedang menunggu kepastian kapan The Fed akan mengumumkan kenaikan suku
bunga yang sempat tertunda sekian kali. Meskipun tertunda, hal tersebut telah
memicu kecemasan pelaku pasar sehingga rupiah kita pada perdagangan Jumat(
27/2) ditutup menyentuh level terendah selama lima tahun di mana di pasar
spot menyentuh angka Rp12.932 per dolar Amerika Serikat (AS).
Divergensi antara pergerakan nilai tukar rupiah dan indeks harga
saham gabungan (IHSG) sebenarnya telah terjadi pada pertengahan2011lalu.
Anomaliinimerupakan respons dari perilaku pasar yang berbeda ketika sebelum
krisis 2008 dimana nilai tukar dan indeks sahamsuatunegara berhubungan secara
positif dan linear. Situasi pasar pascakrisis 2008 relatif berbeda ketika
negara-negara maju secara hamper bersamaan mengalami perlambatan dan
kontraksi.
Situasi ini kemudian mendorong berbagai kebijakan fiskal dan
moneter yang tidak lazim digunakan oleh banyak negara maju untuk mengatasi
kontraksi ekonomi di negaranya. Salah satunya dengan menggunakan instrumen quantitative easing dan pemberlakuan
suku bunga ultrarendah. Keputusan The Fed untuk tetap memberlakukan suku
bunga murah hingga April 2015 telah mendorong para investor global untuk
memaksimalkan penempatan dananya di negara-negara yang masih menjanjikan spread.
Ini tentunya bersifat sangat sementara dan jangka pendek sebelum
The Fed mengakhiri rezim bunga murah. Di lain sisi, Bank Sentral Eropa (ECB)
telah mengumumkan program stimulus moneter besar-besaran melalui kebijakan Expanded Asset Purchase Program (EAPP)
mulai Maret 2015 hingga September 2016. Nilai stimulus moneter yang
direncanakan mencapai sekitar 1 triliun euro (atau sekitar 60 miliar euro per
bulan) selama periode tersebut.
Hampir bersamaan dengan itu, Bank Sentral Jepang juga
mengumumkan peningkatan stimulus moneternya dari 60 triliun-70 triliun yen
per tahun menjadi 80 triliun yen per tahun. Pada saat yang sama Eropa dan
Jepang juga mempertahankan suku bunga murah di level 0,05% (Eropa) dan 0,10%
di Jepang. Kebijakan stimulus dari Bank Sentral Eropa dan Jepang telah
menyebabkan melimpahnya likuiditas di pasar global dan berimbas pada
pasar-pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Melimpahnya likuiditas global akibat peningkatan stimulus
moneter dan suku bunga ultramurah ini kemudian mendorong tingginya permintaan
terhadap obligasi baik yang diterbitkan pemerintah maupun swasta. Selain itu
investor akan terus berburu saham di pasar- pasar yang masih menjanjikan
dalam kurun waktu yang pendek ini sebelum The Fed menaikkan suku bunga.
Hal ini termasuk yang sedang terjadi di Indonesia dalam beberapa
waktu terakhir di mana IHSG terus meningkat dan neraca pembayaran mengalami
surplus. Sebaliknya nilai tukar rupiah tertekan akibat menguatnya nilai tukar
dolar AS untuk hampir sebagian besar mata uang di negara berkembang. Di saat
bersamaan kebutuhan dolar AS di dalam negeri cukup besar baik untuk
investasi, pembelian bahan baku maupun pembayaran utang.
Lonjakan IHSG dan surplus neraca pembayaran merupakan imbas dari
besarnya likuiditas global yang mendorong permintaan yang tinggi pada
instrumen investasi baik jangka pendek maupun panjang. Jika diamati, surplus
neraca pembayaran banyak dikontribusi portofolio investasi di surat-surat
berharga baik yang diterbitkan pemerintah maupun swasta. Kementerian Keuangan
mencatat hingga 24 Februari 2015, pembelian asing pada SBN terus meningkat
mencapai Rp 507 triliun atau 40,18% dari total SBN yang diperdagangkan.
Sementara di pasar saham, investor asing juga terus melakukan
aksi beli yang sangat agresif sehingga mendorong kenaikan IHSG yang begitu
tinggi. BEI mencatat nilai transaksi beli saham sepanjang Februari mencapai
Rp10,6 triliun yang 60% di antaranya didominasi aksi beli investor asing.
Secara agregat hingga pertengahan Februari, Bank Indonesia
mencatat adanya aliran dana masuk ke pasar saham dan pasar obligasi mencapai
Rp53 triliun atau hampir dua kali lipat dari periode yang sama tahun lalu
yang hanya mencapai Rp30 triliun. Persoalan yang kemudian muncul dari
realitas di atas adalah bagaimana antisipasi ketika terjadi sudden reversal.
Hal ini tentu tidak dapat dihindari sebagai siklus arus masuk-keluar yang
terjadi di pasar, terlebih ketika ekonomi Amerika Serikat menunjukkan kinerja
yang semakin baik (menjelang kenaikan suku bunga The Fed).
Investor akan kembali melakukan relokasi investasinya dari
negaranegara berkembang, termasuk Indonesia, kembali ke Amerika. Dalam
konteks ini, pemerintah dan Bank Indonesia perlu menyiapkan respons kebijakan
yang tepat untuk menghindari efek sudden reversal yang tentunya akan
menghambat target pertumbuhan sebesar 5,7% tahun ini.
Selain perlambatan ekonomi, efek yang paling penting untuk
dicermati adalah dampaknya ke sektor riil ketika terjadi inflasi yang tidak
dapat dikendalikan dengan baik. Kebijakan makroprudensial yang telah diambil
Bank Indonesia seperti loan to value (LTV) untuk kredit rumah dan kebijakan
DP untuk kredit kendaraan, giro wajib minimum (GWM) berdasarkan LDR, dan
transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SDBK) sulit diharapkan dapat mengatasi
sudden reversal yang dapat meningkatkan eskalasi risiko.
Diskusi bersama dengan Prof Iwan Jaya Azis beberapa waktu lalu
di Bimasena (Jakarta) juga disarankan pentingnya otoritas moneter di
Indonesia menerapkan kebijakan selain suku bunga. Salah satu kebijakan
makroprudensial yang perlu dipertimbangkan Bank Indonesia adalah penggunaan levy on non-core liabilities (foreign exchange related measures)
atau pungutan atas dana asing. Hal ini ditujukan untuk meminimalkan efek
pembalikan arus modal keluar ketika terjadi perubahan kebijakan di
negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat.
Kebijakan levy ini telah digunakan oleh banyak negara untuk
memitigasi risiko sistemik dari pembalikan arus modal keluar seperti Jerman,
Prancis atau Korea. Ambil contoh Bank Korea yang telah mengimplementasikan
kebijakan levy on non-core liabilities ini sejak 2010 hingga saat ini. Mereka
dapat mengendalikan dan menjaga stabilitas di pasar saham, obligasi, dan
pasar uang sehingga ancaman keluarnya arus modal jangka pendek dapat
diminimalkan untuk menghindari risiko sistemik yang lebih besar.
Pertimbangan penggunaan kebijakan levy on non-core liabilities ini juga sangat membantu untuk
mendorong stabilitas tidak hanya di sektor keuangan, tetapi juga sebagai
bantalan bagi sektor riil, khususnya di tengah kerentanan kedua sektor ini.
Instrumen levy sangat membantu tidak hanya dalam konteks reaktif, tetapi juga
proaktif sehingga membanjirnya dana asing yang masuk ke Indonesia dapat
dimanfaatkan dengan lebih optimal oleh pemerintah.
Hal ini juga akan bermanfaat untuk menghindari tekanan eksternal
yang diperkirakan dihadapi dalam waktu dekat ketika The Fed mengumumkan kenaikan suku bunga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar