Kurikulum
2015 Juga Oke
Nazla Maharani U ; Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia
Universitas PGRI Semarang (UPGRIS)
|
SUARA
MERDEKA, 18 Maret 2015
Dua
konsep pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Perndidikan (KTSP atau
kurikulum tahun 2006) dan Kurikulum 2013 (K13) sebenarnya memiliki kesamaan
tujuan, yaitu mencapai standar pendidikan nasional. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 menyebut kurikulum merupakan rencana dan pengaturan guna mendukung
proses pembelajaran guna mencapai tujuan pendidikan.
Berarti
dua kurikulum itu masih mengacu undangudang yang sama. Hampir bisa dipastikan
tak akan ada penilaian/evaluasi terhadap KTSP seandainya K13 tidak lahir dan
kemudian diberlakukan, demikian sebaliknya.
Kita
bisa mencontohkan terkait dengan pembelajaran Bahasa Indonesia pada tingkat
SMA. Dalam KTSP yang diberlakukan mulai 2006, berkait kemampuannya
mendengarkan, siswa diminta memahami siaran atau cerita yang disampaikan
secara langsung dan tidak langsung.
Kompetensi
dasar yang ingin dicapai adalah siswa itu mampu memahami dan mengidentifikasi
siaran/cerita. Adapun dalam K13, siswa diminta memahami, menerapkan,
menganalisis pengetahuan terhadap semua hal, sesuai bakat dan minatnya.
Kompetensi
dasar yang ingin dicapai adalah siswa itu mampu memahami, membandingkan,
menganalisis, mengevaluasi dan mengomunikasikan hal tersebut melalui lisan
dan tulisan. Jadi, sebenarnya ada kesamaan kompetensi yang ingin dicapai,
yaitu membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara. Perbedaannya, pada KTSP hal
itu disampaikan secara terpisah.
Namun
karena antara rancangan dan praktik sulit disesuaikan, hal itu mengakibatkan
guru dan siswa kesulitan melakukannya. Anggaplah K13 sebagai kurikulum yang
terbaik maka batas waktu untuk menilainya pada satu tingkat tahapan, dan
dimulai dari yang paling dasar, yaitu SD. Tuntas dulu pada masa studi enam
tahun, baru dibuktikan secara bertahap.
Adapun
untuk jenjang SMP dan SMAdan selanjutnya, biarkan berjalan dengan kurikulum
sebelumnya. Untuk mapel Bahasa Indonesia misalnya, bila saat ketuntasan pada
tahun pertama (SD), murid bisa menyajikan pengetahuan faktual dan mencapai
kompetensi dasar membuat teks diagram (sesuai K13) maka barulah sah dan bisa
dilanjutkan murid yang sama di tahun kedua.
Hal
itu diikuti murid generasi baru/berikutnya, yang memasuki tahun pertama SD.
Demikian pula dengan tingkat pencapaian di tahun ke-6. Artinya, bila murid
kelas VI SD sudah bisa menyajikan pengetahuan faktual dan mencapai kompetensi
dasar dengan mengolah/menyajikan teks cerita fiksi sejarah maka baru terbukti
dan sah untuk dilanjutkan.
Berkelanjutan
Lewat
cara itu, perubahan dan perbaikan dari hasil evaluasi kurikulum tiap tahunnya
dapat diterima oleh pengguna. Nama kurikulum boleh saja tiap tahun berganti
tapi penerapan konsepnya tetap berkelanjutan, sesuai hasil pencapaian
sebelumnya.
Kita
bisa menyebutnya itu konsep kurikulum 2015, dan tahun depan bisa berganti
jadi kurikulum 2016 dan seterusnya. Misal dalam praktik, murid kelas VI SD
diharapkan mampu membuat teks cerita fiksi sejarah. Padahal faktanya
(berdasarkan K13) ia belum mampu bercerita secara lisan, dan teman-temannya
pun ‘’belum terbiasa’’mendengarkan rekannya bercerita.
Hal
itu mengakibatkan mereka tak tertarik mendengarkan karya cipta teman dan juga
kurang memiliki kemampuan menulis cerita. Dalam konteks itu, konsep
kompetensi yang disepakati dalam KTSP (membaca, menulis, berbicara, dan
mendengarkan) bisa menjadi input kombinasi. Inilah yang dimaksud konsep
berkelanjutan. Jika penggabungan itu terjadi tahun 2016 maka kita bisa
menyebutnya Kurikulum 2016.
Penggabungan
KTSP (kurikulum 2006) dengan K13, ditambah hasil evaluasi penerapan kurikulum
hingga 2015 bisa kita sebut kurikulum baru. Seandainya penggabungan itu
terjadi pada tahun ini, kita bisa menyebutnya sebagai Kurikulum 2015 dengan
mempertimbangkan tingkat kesejajaran pada tiap jenis dan satuannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar