Jokowi
dan Kriminalisasi Pers
Sabam Leo Batubara ; Wakil Ketua Dewan Pers 2007-2010
|
KORAN
TEMPO, 18 Maret 2015
Pada
era reformasi ini, sebagai institusi yang berfungsi melindungi kemerdekaan
pers, Dewan Pers selalu berkepentingan agar presiden yang baru atau sedang
memerintah tetap berkomitmen melindungi kemerdekaan pers. Untuk
melindungi kemerdekaan pers, Dewan Pers berharap penegasan kebijakan pers
presiden dalam menyikapi perkara pers tetap berpedoman pada Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan tidak kembali mengacu pada KUHP, produk
hukum warisan penjajah Belanda.
Menyikapi
laporan meningkatnya kecenderungan penegak hukum mengkriminalkan pers, Jokowi
menyatakan berkomitmen mendukung kebebasan pers yang bertanggung jawab. Namun
pers juga harus menghormati hukum.
Pernyataan
normatif itu menunjukkan Jokowi belum memiliki kebijakan pers yang jelas,
harus mengacu pada UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang tidak
mengkriminalkan pers dalam pekerjaan jurnalistik untuk kepentingan umum, atau
berpedoman pada KUHP, yang 37 pasalnya mengkriminalkan pers?
Pernyataan
Jokowi tersebut berbeda benar dengan pernyataan SBY. Tiga setengah bulan
setelah pelantikannya menjadi Presiden RI keenam, SBY menegaskan, "Penyelesaian
masalah berita pers ditempuh pertama dengan hak jawab. Kedua, bila masih dispute diselesaikan dengan Dewan
Pers. Ketiga, bila masih dispute
penyelesaian dengan jalur hukum tidak ditabukan sepanjang fair, terbuka, dan
akuntabel."
Dewan
Pers menilai pernyataan Presiden SBY itu sesuai dengan UU Nomor 40 tahun 1999
tentang Pers dan menggunakannya sebagai bahan dalam sosialisasi UU Pers.
Pada awal masa
pemerintahan Presiden Jokowi, berkembang lingkungan strategis yang
pengaruhnya dapat mengancam kemerdekaan pers. Pertama, kriminalisasi terhadap pers meningkat.
Ketua Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia, Fauzan Rachman, melaporkan majalah
Tempo ke polisi. Beritanya, tertanggal 25 Januari 2015 berjudul "Bukan
Sekadar Rekening Gendut", dituduh melanggar UU Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan. Dewan Pers telah mengingatkan bahwa Kepolisian seyogianya
terlebih dulu mengadukan Tempo ke Dewan Pers.
Pengadilan
Negeri Jayapura, pada 24 Oktober tahun lalu, memvonis dua wartawan Prancis
dengan hukuman 2 bulan 15 hari penjara karena menyalahgunakan visa kunjungan
dengan meliput investigasi di Papua.
The
Jakarta Post, 3 Juli 2014, memuat karikatur yang diambil dari media Al-Quds
yang beredar di Palestina. Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Korps Mubalig
Jakarta, Edy Mulyadi, dalam pengaduannya ke Kepolisian menilai media itu
melakukan penistaan terhadap Islam. Dewan Pers di Kantor Polda Metro Jaya, 6
November 2014, memberi penjelasan karena persoalan itu semata-mata merupakan
perkara jurnalistik. Berdasarkan nota kesepahaman Dewan Pers dan Kepolisian
pada 9 Februari 2012, seyogianya perkara itu diselesaikan di Dewan Pers.
Namun Kepolisian tetap mendakwa Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, Meidyatama, melanggar Pasal 156 KUHP dengan
ancaman pidana di atas 5 tahun penjara.
Kedua, kebijakan pers Presiden Jokowi belum
jelas. Jokowi akan melanjutkan kebijakan pers mantan Presiden SBY atau mundur
dengan mengikuti kebijakan pers mantan Presiden Megawati? Pada era
pemerintahannya, Megawati tercatat mengadopsi kebijakan pers yang bukan saja
membiarkan, tapi juga mendukung kriminalisasi pers. Contohnya, kasus majalah
Tempo soal berita "Ada Tomy di Tenabang" (3/3/03), kasus harian
Rakyat Merdeka yang diadukan Ketua Umum Golkar Akbar Tanjung, dan dalam
kaitan dengan berita "Mulut Mega Bau Solar".
Adapun
Presiden SBY dalam pemerintahannya selama 10 tahun selalu berusaha menghadiri
acara puncak Hari Pers Nasional pada 9 Februari. Dalam sambutannya, SBY
selalu menunjukkan sikap melindungi kemerdekaan pers. Sikap SBY itu berdampak
positif, yakni perubahan sikap petinggi polisi, jaksa, dan hakim dari
sebelumnya gemar "meng-KUHP-kan" pers menjadi memberi kepercayaan
kepada Dewan Pers untuk menyelesaikan sengketa pers. Mereka juga bersedia
menindaklanjuti pertimbangan Dewan Pers terkait dengan media yang dinilai
terindikasi melanggar UU Pers dan/atau KUHP.
Ketiga, kriminalisasi
terhadap pegiat anti-korupsi juga mengancam pers. Pimpinan dan
penyidik KPK kini terancam dikriminalkan. Akhir-akhir ini, pegiat
anti-korupsi dilaporkan oleh berbagai kalangan ke Kepolisian.
Presiden
Jokowi sudah berkali-kali meminta Kepolisian menghentikan kriminalisasi
terhadap pegiat anti-korupsi tersebut. Persoalan bertambah setelah Wakil
Presiden Jusuf Kalla menyuarakan pernyataan yang terkesan mendukung
kriminalisasi itu.
Dalam
kondisi sebagaimana dikemukakan, untuk melindungi kemerdekaan pers, Presiden
Jokowi sangat diharapkan melanjutkan kebijakan pers Presiden SBY yang
mempedomani UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Jika Presiden Jokowi justru
memilih kebijakan pers yang membiarkan kriminalisasi pers, apalagi
mendukungnya, dampaknya bukan saja melemahkan pers dalam melakukan fungsi
kontrol sosial dan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan kepentingan umum. Hal itu juga membuat media
berkualitas gentar dan terancam saat melakukan jurnalisme investigasi untuk
mengungkap praktek-prektek bad
governance, seperti pelanggaran HAM dan tindak korupsi oleh penyelenggara
negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar